Kurban dan Jiwa yang Belum Sembuh

RAJAMEDIA.CO - TIAP tahun kita sembelih kambing dan sapi. Tapi sayangnya, nafsu kita tetap berkeliaran.
Tiap Iduladha kita disuguhi khutbah tentang keikhlasan Nabi Ibrahim dan ketaatan Nabi Ismail. Tapi setelah salat selesai dan daging dibagi, jiwa kita kembali ke kebiasaan lama: mencintai dunia secara berlebihan, rebutan kekuasaan, dan alergi terhadap keadilan.
Saya jadi ingat wejangan Abah Anom nama dari KH. Syaikh Ahmad Shohibulwafa Tajul Arifin, tokoh kharismatik TQN Suryalaya yang dikenal dengan ajaran "membersihkan hati" dan makna pengorbanan batiniah dalam laku spiritual:
"Kurban yang paling utama adalah menyembelih hawa nafsu dan keinginan duniawi yang menghalangi dekat kepada Allah."
Jleb. Dalam sekali.
_1749254845.jpg)
Penulis bersama imam salat Iduladha Syeikh Tawafiq (tengah). -
Bangsa yang Enggan Menyembelih Nafsu
Bangsa ini sebenarnya tidak kekurangan hewan kurban. Tapi sangat kekurangan orang-orang yang bersedia mengorbankan kepentingan diri demi kemaslahatan bersama.
Kita terlalu sibuk dengan ritual—tapi lupa bahwa yang lebih penting dari menyembelih hewan, adalah menyembelih rasa serakah, angkuh, dan tamak yang merusak bangsa ini dari dalam.
Daging kurban itu hanya simbol. Yang nyata adalah:
Apakah setelah hari raya ini, kita lebih jujur, lebih ikhlas, dan lebih adil?
Pemimpin Harus Rela Dikurbankan
Kita butuh pemimpin yang bisa meneladani Nabi Ibrahim—bukan hanya lewat simbol, tapi lewat tindakan. Bukan hanya menyembelih sapi 1 ton, tapi berani menyembelih ambisi dan ketamakan kekuasaan.
Kata Abah Anom lagi:
"Orang yang bersih hatinya tidak takut kehilangan jabatan, karena ia yakin kemuliaan sejati hanya datang dari Allah."
Saya kira, itu tamparan halus tapi dalam—untuk pejabat-pejabat kita yang masih menempel di kursi kekuasaan seolah-olah hidupnya tergantung pada jabatan.

Kurban Sosial Kita Masih Jauh
Di luar masjid, jutaan rakyat masih berjuang untuk makan. Harga sembako naik. Lapangan kerja terbatas. Tapi elite politik malah sibuk rebutan proyek dan jabatan.
Iduladha bukan sekadar waktu membagi daging. Tapi saatnya kita bertanya:
Apa yang bisa kita korbankan, agar bangsa ini sembuh secara batin dan sosial?
Kata Gus Mus:
“Yang tidak bisa melepas, tidak akan pernah memiliki.”
Dan Abah Anom mengajarkan, hanya orang yang rela melepas dunia yang bisa benar-benar memiliki cahaya ketenangan batin.
Akhirnya...
Kurban tidak berakhir di meja potong. Tapi berlanjut di dalam hati, di meja keputusan, di ruang-ruang kekuasaan, dan di dapur rumah tangga rakyat kecil.
Bangsa ini butuh lebih banyak pengorbanan sejati, bukan basa-basi simbolik. Butuh lebih banyak pembersihan hati, bukan pencitraan media.
Jika Iduladha tahun ini bisa membuat satu orang saja lebih jujur, satu pejabat saja lebih ikhlas, satu pengusaha saja lebih dermawan, maka kurban kita tidak sia-sia.
Tapi kalau tidak?
Maka... sapi tetap disembelih.
Tapi jiwa kita tetap hidup dalam kebinatangan.
Penulis: Pimred Raja Media, Wail Bendahara Umum IKALUIN Jakarta, Ketu DPP PJS*
Daerah 5 hari yang lalu

Dunia | 6 hari yang lalu
Opini | 6 hari yang lalu
Politik | 5 hari yang lalu
Politik | 5 hari yang lalu
Keamanan | 3 hari yang lalu
Info Haji | 6 hari yang lalu
Politik | 2 hari yang lalu
Hukum | 3 hari yang lalu
Dunia | 5 hari yang lalu