Bahlilisasi UI

RAJAMEDIA.CO - "Ketika gelar dijual murah, intelektualitas ikut dilelang."
KITA dulu percaya, universitas adalah mata air akal sehat. Di sanalah ilmu tak hanya diajarkan, tapi dipertaruhkan. Integritas tak cukup dirayakan, namun dijaga dengan hormat. Di sana, generasi pemikir tumbuh bukan oleh kemewahan bangunan, melainkan oleh *disiplin, etika, dan keberanian melawan arus.
Tapi kini, dengan getir saya bertanya: apakah Universitas Indonesia masih mengenal dirinya sendiri?
UI, yang digadang sebagai puncak piramida intelektual negeri, lebih sibuk melayani protokoler kekuasaan ketimbang menjaga martabat akademis.
Rumah pemikir berubah jadi ruang tunggu pencari status.
Saya tak menulis untuk membakar, tapi demi menyalakan cahaya kecil: ada yang sunyi, retak dalam sistem yang kita anggap sakral. Dan retakan itu tidak di luar, tapi di inti moralnya.
Gelar Murahan
Kita hidup di era ketika gelar doktor bisa lahir bukan dari pemikiran, melainkan dari kedekatan struktural. Toga jadi akses jalan cepat ke panggung kekuasaan. UI, yang dulu jadi mercusuar akal sehat, kini redup: seminar sunyi, baca pun sepi, tergantikan kabut birokrasi dan aroma kedekatan kekuasaan.
Saya datang ke UI membawa mata penuh harapan. Bayar Rp1,6 juta bukan untuk produk, tapi untuk keyakinan: proses seleksi akan bermartabat dan transparan. Namun yang saya temui: lorong kebingungan, jadwal berpindah-pindah, dan komunikasi yang retak. Di era digital, kami ditelepon jam dua siang untuk wawancara setengah lima—tiga jam tanpa waktu persiapan, seolah pemanggil lupa bahwa peserta punya kehidupan lain.
Ruang megah UI seolah memaksa gelar menjadi barang konsumsi cepat. Bukan prestasi yang diuji, melainkan kemampuan beradaptasi dengan arus birokrasi. Gelar terasa ringan, bukan karena ilmu diremehkan, tetapi karena prosesnya dipermainkan.
Akademia Bobrok
Saya datang berharap sistem rapi, mendapat labirin tanpa peta. TIU diam, dosen saling lempar, dan kami jadi figuran di reality show ala akademik. Wawancara berlangsung, tapi bukan penuh gagasan—lebih mirip audisi sinetron: satu pewawancara gondrong tak rapi; lainnya bertanya seperti cari calon mantu, bukan calon doktor. Kalau sang kandidat terpukau oleh gaya ketimbang gagasan, apakah UI kini hanya panggung pencitraan?
Pengumuman? Dijanjikan keesokan hari, ditunda ke magrib, bergeser terus tanpa kejelasan—seperti menunggu adzan tanpa juru imam. Sebuah institusi akademik paling dasar menghormati waktu; UI dalam hal ini, lemah. Disiplin tidak diwariskan, tapi hanya diperagakan di proposal akreditasi.
Integritas Dijual
Bayangkan: disertasi seorang menteri—Bahlil Lahadalia—dicap cacat etik. Di kampus ideal, itu artinya gagal total. Di UI? Diselesaikan pasca sidang, melalui revisi dan “kasih jalan”. Tradisi akademik MUDAH dinego. Etika dapat ditawar. Gelar jadi komoditas tarik-menarik.
Inilah era Bahlilisasi akademik: gelar bukan diraih dengan pikiran tajam, tapi hubungan kuat. Tidak soal gagasan, tapi soal basis jaringan. UI, yang seharusnya jadi benteng integritas, kini ikut bermain.
Lebih menyedihkan, Rektor UI memunggungi rekomendasi Dewan Guru Besar. Alih-alih berani mempertahankan integritas, memilih kompromi terhadap gelar. UI berubah bukan menjadi rumah akal sehat, melainkan showroom pencitraan intelektual.
Kampus Absurd
Sejatinya, universitas adalah kuil pencarian, tempat gagasan diuji, status dilupakan. Namun hari ini, kampus lebih melindungi kuasa daripada memelihara gagasan. Menyembah status, bukan mendorong perdebatan. Akal sehat kalah oleh cipta pragmatis.
Saya menulis ini sebagai peringatan: jika kampus besar jadi pabrik gelar dan dosen jadi makelar akademik, kita tidak sedang membangun masa depan bangsa—melainkan mengukir kemundurannya dalam jargon kemajuan.
Pak Presiden, angka-angka di peringkat kampus dan indeks pembangunan manusia boleh membanggakan. Tapi jika kejujuran sudah terkikis, angka itu hanyalah mimpi semu: cetak biru bangsa kehilangan alam pikir.
Mari bertanya: kita masih punya universitas, atau cuma gedung glamor dengan prosedur kosong, namun jiwa yang hampa? Apakah masih ada keberanian akademik untuk mengatakan "tidak" pada kuasa?
Epilog – Mari Ngopi
Indonesia butuh kampus yang berani berdiri, bahkan saat sunyi. Menjadi penyeimbang kuasa, bukan penjilat kekuasaan. Kampus yang memprioritaskan gagasan, bukan gelar. Dan mahasiswa yang lebih memilih kebenaran, bukan posisi strategis.
Mari kita ngopi bersama—untuk mengingat: intelektualitas nyata lahir dari keberanian berkata benar, meski sendiri, meski sunyi. Itulah esensi universitas sejati.
Penulis adalah Dosen Universitas Mathla’ul Anwar Banten
Disclaimer:
Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis. Segala isi, pandangan, dan pendapat yang disampaikan sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mencerminkan sikap redaksi. Redaksi tidak bertanggung jawab atas segala akibat yang ditimbulkan dari tulisan ini.
Politik 6 hari yang lalu

Politik | 6 hari yang lalu
Nasional | 4 hari yang lalu
Parlemen | 4 hari yang lalu
Peristiwa | 4 hari yang lalu
Parlemen | 5 hari yang lalu
Info Haji | 5 hari yang lalu
Hukum | 4 hari yang lalu
Info Haji | 4 hari yang lalu
Parlemen | 6 hari yang lalu