Politik

Info Haji

Parlemen

Hukum

Ekbis

Nasional

Peristiwa

Galeri

Otomotif

Olahraga

Opini

Daerah

Dunia

Keamanan

Pendidikan

Kesehatan

Gaya Hidup

Calon Dewan

Indeks

Keturunan Rawa di Tanah Haram, Syekh Muhammad Yasin

Oleh: H. Dede Zaki Mubarok
Minggu, 03 Agustus 2025 | 15:53 WIB
Syekh Muhammad Yasin Al-Fadani - Repro -
Syekh Muhammad Yasin Al-Fadani - Repro -

RAJAMEDIA.CO - SAYA kira tidak ada orang Sunda yang jadi ulama besar di Mekah. Apalagi ahli hadis. Apalagi yang sanadnya paling lengkap se-dunia.
 

Ternyata saya keliru.
 

Bahkan sangat keliru.
 

Namanya Syekh Muhammad Yasin Al-Fadani. Ia lahir di Mekah tahun 1916. Tapi darahnya, setengahnya, berasal dari kampung di Tasikmalaya. Dari sebuah desa yang sejuk dan sunyi: Rawa Linggawangi, Kecamatan Leuwisari.
 

Ia adalah anak dari pasangan Muhammad Isa Al-Fadani, ulama asal Padang, dengan seorang perempuan Sunda yang dulu pernah nyantri di pesantren Rawa Girang.
 

Nama perempuan itu: Emuk Maemunah.
 

Cerita ini seperti benang merah yang baru ketemu ujungnya sekarang.
 

Awalnya saya hanya mendengar bahwa di kampung Rawa, Tasikmalaya, ada pesantren tua. Salah satu pendirinya adalah Ajengan Kizwini. Santri tua zaman kolonial. Istrinya, Ibu Emuk, tidak mau dimadu. Maka saat sang ajengan berpoligami tahun 1913, ia memilih pergi. Cerai.
 

Ia tidak pulang ke orangtuanya. Ia malah pergi lebih jauh: hijrah ke Mekah, bersama H. Siroj, ayah dari KH. Engkin Zaenal Muttaqien—atau yang kita kenal sebagai K.H. E.Z. Muttaqien.

 

Dari pernikahan pertama, Emuk Maemunah punya anak lelaki: H. Basuni Abdul Jabbar—kakek saya. Dan dari pernikahan keduanya di Tanah Haram, dari rahim perempuan Sunda itulah lahir Syekh Yasin—yang kelak dikenal sebagai musnid ad-dunya, pemilik sanad ilmu paling lengkap di abad ke-20.
 

Berarti, saya dan Syekh Yasin… berakar pada rahim yang sama.

 

Saya membayangkan: satu perempuan Sunda, yang luka karena dimadu, justru melahirkan tokoh besar di Tanah Haram.
 

Kadang memang, luka justru membuka jalan bagi berkah yang lebih luas.
 

Saya tidak tahu seperti apa wajah Ibu Emuk. Tapi keturunannya masih ada.

Hj Tin Rahmatin (paling kiri) dan Alm. Hj. Tiah Fauziyah (tengah depan) - Foto Keluarga -

 

Ada dua anak beliau:

 

1. Hj. Tin Rohmatin (masih hidup), yang kini mengasuh Pesantren Ar-Rosyifah di Peuntas, Rawa Kalieung.
 

2. Hj. Tiah Fauziah (almarhum).

 

 - Saya sendiri adalah anak dari Hj. Tiah Fauziah -
 

Berarti saya ini cicit dari Ibu Emuk, dan—secara nasab—masih satu darah dengan Syekh Yasin Al-Fadani.
 

Bagi saya, itu bukan soal kebanggaan, tapi soal tanggung jawab:
 

Bahwa ilmu dan jejak para leluhur tidak boleh putus begitu saja.

Nadia dan Abdul Fattah anak Ummi Zaynab, adik dari Syeikh Muhammad Yasin - Istimewa -
 

Saya masih ingat cerita keluarga: menjelang akhir hayatnya, tahun 1984, Syekh Yasin sempat bertemu dengan ahli waris keluarga dari Rawa. Pertemuan itu digelar di rumah K.H. E.Z. Muttaqien, di Bandung.
 

Setelah ramah tamah, Syekh Yasin. Seolah punya firasat: “Pertemuan, mungkin yang terakhir.”
 

Dan betul saja.
 

Beberapa tahun setelah itu, pada tahun 1990, Syekh Yasin wafat. Dipanggil ke hadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala.
 

Haulnya tak pernah putus. Sebagai bentuk ta’dzim, Syekh Yasin senantiasa diperingati oleh murid-muridnya. Salah satunya: K.H. Abdul Hamid Abdul Halim Ad-Daary, serta para santri lainnya yang pernah belajar di Perguruan Darul Ulum, Mekah—lembaga yang beliau pimpin sendiri.

 

Bersamaan dengan itu, saya juga selalu teringat sosok KH. E.Z. Muttaqien, tokoh besar Islam dari Jawa Barat. Ia lahir di Desa Linggawangi, Tasikmalaya pada 4 Juli 1925 dan wafat pada 27 April 1985 di Bandung. 
 

Ia adalah mantan Ketua MUI Jawa Barat, bahkan sempat pula menjadi Ketua MUI Pusat. Selain itu, ia juga salah satu pendiri dan Rektor Universitas Islam Bandung (UNISBA).
 

Beliau ulama, intelektual, dan penggerak.
 

Tapi lebih dari itu, ia adalah bagian dari jaringan keilmuan yang diam-diam berakar di kampung kami.

 

Kita ini sering kali silau oleh pusat.
 

Mengira ulama besar hanya lahir di Timur Tengah, atau dari kota-kota besar. Padahal sering, sejarah itu justru tumbuh di tempat sepi.
 

Di tanah-tanah sunyi.
 

Di kampung-kampung seperti Rawa Linggawangi.
 

Saya tidak sedang membesar-besarkan kampung saya. Tapi kadang, kampung tidak perlu dibesar-besarkan. Ia hanya perlu diingat—karena dari sanalah lahir jejak-jejak besar yang sering kita lupakan.
 

Kalau nanti Anda ke Mekah, mampirlah ke Ma’la. Bacakan Al-Fatihah untuk Syekh Yasin, dan untuk Ibu Emuk.
 

Perempuan Sunda yang jejaknya sampai ke langit ilmu.
 

Dan kalau Anda sempat berkunjung ke Rawa, Tasikmalaya, mampirlah juga ke Pesantren Ar-Rosyifah. Di sana, sejarah masih dijaga.
 

Ilmu masih diwariskan.
 

Dan doa-doa lama masih menggantung di langit-langit kamar para santri.
 

Mungkin dari sana, kita bisa percaya lagi:
 

Bahwa kampung kecil pun bisa melahirkan sejarah besar.
 

Asal ada ilmu. Dan keberanian.

 

Penulis: Pimred Raja Media, Ketua DPP PJS, Wabendum IKALUIN Jakarta*rajamedia

Komentar: