Politik

Info Haji

Parlemen

Hukum

Ekbis

Nasional

Peristiwa

Galeri

Otomotif

Olahraga

Opini

Daerah

Dunia

Keamanan

Pendidikan

Kesehatan

Gaya Hidup

Calon Dewan

Indeks

Jasa daripada Presiden Soeharto di Balik Pilot Project MAN Program Khusus

Oleh: Faried Wijdan Al-Jufry
Senin, 10 November 2025 | 13:41 WIB
Presiden Soeharto memberikan gelar Bintang Mahaputera Adipradana kepada Munawir Sjadzali di penghujung masa tugasnya sebagai Menteri Agama | Foto: fuadnasar.wordpress.com
Presiden Soeharto memberikan gelar Bintang Mahaputera Adipradana kepada Munawir Sjadzali di penghujung masa tugasnya sebagai Menteri Agama | Foto: fuadnasar.wordpress.com

RAJAMEDIA.CO - Presiden ke-2 RI Soeharto resmi ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional dalam upacara kenegaraan di Istana Negara, Jakarta, Senin, 10 November 2025, melalui Keputusan Presiden Nomor 116/TK/2025 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional. Pengangkatannya memantik pro kontra. Suara keras penolakan berasal dari para aktivis HAM, tokoh ormas, dan pegiat demokrasi.


Meskipun Soeharto dianugerahi pahlawan nasional di bidang Perjuangan Bersenjata dan Politik, ada legasi berharga lainnya dari pemimpin Order Baru ini di bidang Pendidikan Islam.


Ketika Kementerian Agama dipimpin oleh Munawir Sjadzali (1983-1993), berdasarkan dorongan penuh Soeharto, cukup banyak kebijakan monumental dilakukan, salah satunya adalah proyek percontohan Madrasah Aliyah Negeri Program Khusus (MAN PK), pesantren negeri pencetak santri progresif, moderat, dan berwawasan keindonesiaan. Tentu tak menafikan terobosan lain Munawir, seperti Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan pembentukan UU Nomor 7/1989 tentang Peradilan Agama.


'Hijrah' Politik Pak Harto


Jika dilihat dalam spektrum yang lebih luas tentang politik pendidikan Orde Baru, kemunculan MANPK merupakan kelanjutan dari paket kebijakan politik akomodasi Islam Soeharto. Jika pada awal Orde Baru, Soeharto menerapkan depolitisasi Islam, yakni mengempiskan dan mempersempit ruang Islam politik melalui serangkaian kebijakan fusi partai-partai Islam pada 1973 dan pengarusutamaan Pancasila sebagai asas tunggal organisasi sosial politik (orsospol) pada 1984, maka pada akhir dekade 1980-an dan awal 1990-an, Soeharto mengubah kebijakannya lebih “pro ijo”.


Perubahan ini ditandai dengan perginya Soeharto dan Ibu Tien ke Mekkah untuk menunaikan haji pada 1991, pendirian ICMI pada 1992 di Universitas Muhammadiyah Malang, ribuan masjid Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, Bank Muamalat pada 1992, dan juga susunan kabinet yang mayoritas berlatar Muslim pada 1992-1997 dan 1997-1998.


Dalam konteks inilah, dukungan politik dan finansial Soeharto pada pendirian MAPK di berbagai daerah, dapat dibaca sebagai buah dari strategi politik Orde Baru yang ramah pada pemakmuran Islam kultural, bukan Islam politik. Dalam hal ini, strategi dakwah atau islamisasi dari dalam (islamization from within) yang dilakukan oleh salah satu birokrat Muslim seperti Munawir Sjadzali tampaknya cukup berhasil.


Secara lebih luas, hasil dari strategi Islam kultural ini juga ditandai dengan semakin ramai dan semaraknya masjid-masjid, lautan jilbab di sekolah dan universitas selain di ruang publik seperti pasar dan pusat perbelanjaan modern, serta terus membludaknya jumlah jemaah haji dari tahun ke tahun.


Bahkan, Robert Hefner dalam Civil Islam (2000),  Andrée Feillard dan Remy Madinier, dalam La Fin de l’innocence (2007) dan sarjana lainnya menganggap Soeharto berjasa besar pada islamisasi masyarakat Indonesia, terutama dengan menerapkan mata pelajaran agama di sekolah negeri dan reformasi atau modernisasi sistem pendidikan madrasah, salah satu praktiknya adalah MANPK.


ACC Presiden Soeharto


Pada akhir 1985, Munawir melapor kepada Presiden Soeharto bahwa murid-murid lulusan Madrasah Aliyah Negeri (MAN) yang berdasarkan atas Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri tahun 1975, di mana 70% dari kurikulumnya adalah pengetahuan umum dan 30% pengetahuan agama yang dalam kenyataannya lebih siap untuk memasuki perguruan tinggi umum daripada perguruan tinggi keagamaan seperti lAIN.


Dengan pengetahuan agama yang hanya 30% tersebut, tidak cukup memadai bagi mereka untuk mengikuti mata-mata kuliah keagamaan dalam buku-buku baku yang berbahasa Arab. Kepada Presiden Soeharto, Munawir mengusulkan untuk mengadakan satu pilot proyek Madrasah Aliyah Negeri dengan perbandingan kurikulum yang dibalik, yakni 70% pengetahuan agama dan 30% pengetahuan umum. Dengan kurikulum demikian, siswa-siswa tamatan Madrasah Aliyah Negeri tidak dapat meneruskan pendidikan ke perguruan tinggi umum, tetapi sebaliknya mereka lebih siap dan mampu untuk mengikuti pendidikan keagamaan Islam di perguruan-perguruan tinggi keagamaan seperti IAIN.


Gagasan Munawir langsung disetujui Presiden Soeharto. Sementara kehadiran Madrasah Aliyah Negeri SKB Tiga Menteri masih tetap diperlukan. Presiden waktu itu meminta agar Menteri Agama pada waktunya nanti mempertimbangkan untuk mengubah atau untuk juga mengadakan madrasah-madrasah Tsanawiyah dengan pola yang sama (70% pengetahuan agama dan 30% pengetahuan umum). MAN Program Khusus merupakan suatu usaha dan terobosan kebijakan untuk menghasilkan  bibit unggul untuk mahasiswa Institut Agama Islam Negeri (IAIN).


Pada akhir tahun 1987 MAN Program Khusus yang dicetuskan Menteri Agama Munawir Sjadzali dibuka di lima daerah, yaitu  Yogyakarta, Padang Panjang (Sumatera Barat),  Ujung Pandang (Sulawesi Selatan), Jember (Jawa Timur), dan Ciamis (Jawa Barat).  Beberapa tahun kemudian, ditambah lima lagi, yaitu di Banda Aceh, Lampung, Solo, Banjarmasin dan Mataram. MAN Program Khusus dikembangkan dengan standar kurikulum keagamaan yang padat serta penekanan pada penguasaan bahasa Arab dan Inggris.


Salah satu keberhasilan MAN Program Khusus, pada tahun 1991 Departemen Agama mengirim 48 anak lulusannya ke Universitas Al-Azhar Mesir, semua diterima masuk. Sedangkan sebelumnya calon mahasiswa dari Indonesia mengalami kendala dalam hal persamaan dengan Madrasah Tsanawiyah Mesir.


Dokumentasi Perpustakaan Soeharto


Dikutip dari Soehartolibrary.id, dan ditulis di buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku IX (1987), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 675-676, dalam pidato peresmian, Menteri Munawir mengatakan, MANPK  itu dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan di lAIN, karena selama ini keluaran lAIN belum mampu mengisi kekosongan hakim-hakim agama, Kepala KUA (Kantor Urusan Agama) dan Kanwil Agama di seluruh Indonesia serta mubaligh yang berkualitas.


“Suatu kenyataan, banyak keluaran lAIN tidak dapat membaca buku/kitab berbahasa Arab, pengisian hakim agama atau KUA terbentur penguasaan bahasa Arab para pelamar yang sangat minim, sehingga mereka yang diterima sedikit sekali, jauh dari kebutuhan,” kata Munawir.


MAN-PK itu selain mendidik para siswa untuk menjadi muslim yang taqwa, menjadi manusia pembangunan yang berjiwa Pancasila, juga untuk mempersiapkan atau memberi bekal pengetahuan dasar ilmu-ilmu agama dan Bahasa Arab kepada siswa yang akan melanjutkan pendidikannya ke lAIN.


Penyelenggaraan MAN-PK itu akan dikembangkan terus ke seluruh Indonesia, sehingga diharapkan setiap tahun bertambah, sedang tahun depan diharapkan dapat membangun lima MAN-PK lagi, tambahnya.


Kurikulum MAN-PK ini 35 persen umum dan 65 persen agama dengan sistem kredit, mulai dari kelas I sampai III setiap siswa beban mata pelajaran yang harus diselesaikan sebanyak 300 kredit.


Kurikulum kelas I sampai III ini antara lain menekankan bahasa Arab 44 kredit, Tafsir dan ilmu tafsir 28 kredit, hadits dan ilmu hadits 28 kredit, fiqih 24 kredit, ushul fiqih 24 kredit dan mata pelajaran sisanya di bawah 20 kredit.


Direktur Pembinaan Perguruan Islam Ditjen Pembinaan Kelembagaan Islam Depag Drs. Aya Sofia, M.ED mengatakan, setiap MAN-PK dalam tahun pertama ini hanya menerima 40 siswa/siswi dengan ketentuan lulus testing dan persyaratan lain yang harus dipenuhi, seperti kemampuan mempelajari ilmu agama berbahasa Arab.


Sistem pendidikan ini sama dengan MAN yang sudah ada, ialah klasikal, namun para siswa/wi diasramakan. Dalam asrama itu juga masih diberikan pelajaran/pengajian, terutama belajar menggali ilmu-ilmu agama dari bahasa aslinya atau bahasa Arab.


Setiap MAN-PK dilengkapi perpustakaan, laboratorium bahasa, musholla dan tempat mengaji.


Di penghujung, sebagai 'disclaimer', saya kutip perkataan Imam Abu Hanifah, salah satu tokoh idola Menteri Munawir," Apa yang baru saja saya katakana (tuliskan-red) (hanyalah) suatu pendapat, dan inilah yang terbaik yang dapat saya berikan. Kalau kemudian ada orang lain yang datang dan memberikan pendapat (tulisan-red) yang lebih baik dari pendapat (tulisan-red) saya, maka pendapat (tulisan-red) dialah yang lebih tepat untuk dianggap sebagai yang benar.”


Faried Wijdan Al-Jufry, Alumni MAPK Surakartarajamedia

Komentar: