Zohran Mamdani Tantang Trump
RAJAMEDIA.CO - BEBERAPA hari setelah pemilihan Wali Kota New York 2025 diumumkan, Zohran Kwame Mamdani berdiri di hadapan ribuan pendukungnya di Brooklyn Paramount Theater. Ia tidak berbicara tentang kemenangan pribadi, tidak menonjolkan agama, ras, atau ideologinya. Dengan suara tenang, ia berkata:
"Ini bukan hanya kemenangan saya, tapi kemenangan bagi semua komunitas yang selama ini terpinggirkan."
Nada kalimat itu terasa hangat—bukan dari strategi politik, melainkan dari hati yang tumbuh bersama rakyat kecil. Kemenangan Mamdani bukan sekadar berita tentang seorang Muslim pertama dan termuda yang memimpin New York City, melainkan tentang kebangkitan politik bernurani di tengah arus besar kapitalisme global. Ia menandai bahwa harapan belum pergi bahkan di tempat yang selama ini menjadi simbol dinginnya sistem ekonomi pasar bebas.
Wajah Baru
Mamdani lahir pada 18 Oktober 1991 di Kampala, Uganda, dari pasangan Mahmood Mamdani, seorang akademisi ternama asal Uganda-India, dan Mira Nair, sutradara film internasional yang terkenal karena karya humanisnya. Darah akademik dan seni sosial itulah yang membentuk karakter Zohran berpikir kritis, peka sosial, dan berani berdiri untuk nilai.
Sejak muda ia tumbuh di Queens, New York, kawasan multietnis yang menjadi miniatur dunia. Dari lingkungan inilah Zohran belajar bahwa keadilan sosial bukan teori, melainkan kebutuhan. Ia menyaksikan ketimpangan secara langsung harga sewa yang mencekik, transportasi publik yang usang, dan jurang sosial yang melebar antara kaya dan miskin.
Berangkat dari pengalaman itu, Mamdani menolak menjadi politisi tradisional. Ia lebih memilih menyebut dirinya organizer penggerak komunitas yang bekerja dari bawah. Sebelum terjun ke politik, ia adalah pengacara perumahan dan aktivis keadilan sosial yang memperjuangkan hak penyewa miskin di Queens.
Jantung Kapitalisme
New York City adalah simbol kapitalisme global. Di kota inilah Wall Street berdetak, menentukan arah ekonomi dunia. Namun ironinya, di balik kemegahan gedung-gedungnya, jutaan warga bergulat dengan kemiskinan, sewa mahal, dan gentrifikasi.
Dalam konteks itu, munculnya Mamdani seorang sosialis demokrat, Muslim, dan anak imigran adalah peristiwa politik yang nyaris mustahil. Namun sejarah membuktikan bahwa kadang yang tampak mustahil justru lahir dari kebutuhan moral zaman. Zohran Mamdani menegaskan hal ini melalui platform politiknya yang sederhana tetapi berani menantang logika politik tradisional.
Ia menuntut pembekuan harga sewa sebagai upaya nyata melawan gempuran gentrifikasi yang mencekik rakyat kota, menegaskan bahwa hunian layak adalah hak, bukan komoditas semata. Ia juga mendorong transportasi publik dan penitipan anak gratis, dua kebutuhan pokok yang selama ini menekan kehidupan kelas menengah bawah, sehingga mobilitas dan kesempatan ekonomi menjadi lebih adil.
Dalam ranah hukum dan keadilan sosial, Mamdani menyoroti perlunya reformasi sistem penjara, menghapus praktik yang menindas kaum miskin, sekaligus membebaskan negara dari siklus kriminalisasi yang tidak produktif. Lebih jauh lagi, ia menuntut penghapusan utang mahasiswa, sebuah langkah revolusioner yang menunjukkan bahwa pendidikan tidak boleh menjadi hak istimewa, tetapi harus menjadi sarana bagi semua warga untuk meraih martabat dan peluang.
Visi Politik Bernurani
Visi politik Mamdani bukan sekadar janji populis, melainkan manifestasi dari politik bernurani, yang menegaskan bahwa keadilan, empati, dan tanggung jawab negara terhadap rakyat dapat diwujudkan dalam kebijakan konkret, bahkan di tengah sistem kapitalisme global yang kerap membungkam suara minoritas. Ia menyerukan bahwa keadilan sosial adalah hak, bukan bonus, dan bahwa New York harus menjadi rumah bagi semua, bukan hanya bagi yang mampu membeli ruang.
Di hadapan rakyat, Zohran berbicara dengan gaya yang tidak biasa di politik Amerika. Ia tidak menjanjikan kemakmuran dengan jargon, tetapi menegaskan tanggung jawab negara untuk menegakkan keadilan.
Ketika mayoritas politisi berbicara tentang pertumbuhan, ia berbicara tentang pemerataan. Ketika banyak pemimpin bicara tentang efisiensi, ia bicara tentang empati.
Politik Nurani
Ada sesuatu dari Zohran yang mengingatkan pada Barack Obama muda, terutama dalam cara ia menyalakan harapan di tengah keputusasaan publik. Namun jika Obama adalah simbol integrasi rasial, Zohran adalah simbol kebangkitan moral minoritas di tengah sistem yang kehilangan jiwa.
Dalam setiap langkahnya, tampak warisan moral dari keluarga yang menanamkan kepedulian pada yang lemah. Ibunya, Mira Nair, adalah sineas yang sepanjang kariernya menyoroti wajah manusia dari pinggiran kisah-kisah kecil tentang perjuangan, martabat, dan kasih. Dari sang ibu, tampaknya Zohran belajar tentang empati sosial dan kesadaran lintas identitas bahwa kemanusiaan lebih besar dari sekat agama dan warna kulit.
Seperti halnya Ann Dunham membentuk cara pandang Obama terhadap kemiskinan dan multikulturalisme, pengaruh keluarga MamdaniNair memberi fondasi moral bagi Zohran untuk memandang politik bukan sebagai profesi, tetapi sebagai misi sosial. Ia menjadi wajah baru dari generasi pemimpin yang tidak malu berbicara tentang kasih di tengah dunia yang sinis.
Makna Kemenangan
Kemenangan Zohran Mamdani dengan 50,4% suara, mengalahkan politisi mapan seperti Andrew Cuomo, adalah revolusi senyap. Ini menandai pergeseran kesadaran di masyarakat Amerika: bahwa politik lama yang hanya menguntungkan elite mulai kehilangan daya hidupnya.
Di kota yang lebih banyak dihuni warga Yahudi dibanding Yerusalem, rakyat memilih seorang Muslim progresif anti-Zionis. Bukan karena agamanya, tetapi karena keberpihakan moralnya. Rakyat New York tidak memilih identitas, mereka memilih integritas.
Kemenangan ini sekaligus menjadi kritik bagi dunia politik global termasuk Indonesia. Bahwa pemimpin yang lahir dari rakyat, memahami penderitaan rakyat, dan bekerja untuk rakyat, selalu punya tempat di hati publik, meskipun tanpa dinasti dan modal besar.
Pelajaran Demokrasi
Kisah Zohran Mamdani memberi pelajaran penting bagi demokrasi modern. Pertama, politik tidak kehilangan makna jika dijalankan dengan niat tulus. Politik hanya menjadi kotor dan manipulatif bila ditinggalkan oleh orang-orang yang jujur dan berintegritas. Kedua, identitas bukanlah batas, melainkan jembatan.
Mamdani membuktikan bahwa seorang Muslim dapat memimpin dengan penuh kepedulian di kota multikultural tanpa menimbulkan polarisasi, menunjukkan bahwa keberagaman bisa menjadi kekuatan, bukan sumber konflik. Ketiga, harapan sosial tidak pernah mati. Ia hanya menunggu generasi baru yang berani memeliharanya dengan pemikiran kritis dan empati yang nyata.
Dalam dunia yang semakin terfragmentasi oleh kepentingan ekonomi dan konflik identitas, perjalanan Mamdani menegaskan bahwa politik dengan nurani masih mungkin dijalankan, dan keadilan sosial bisa menjadi fondasi nyata bagi pemerintahan yang memihak rakyat.
Tantang Trump
Segera setelah kemenangan, Walikota terpilih Zohran Mamdani menantang langsung Presiden Donald Trump, yang sebelumnya mengancam menahan dana federal jika Mamdani menang. Dengan tegas, Mamdani menyatakan:
"Jika ada yang bisa menunjukkan cara mengalahkan Donald Trump, kota inilah yang melahirkannya."
Ia menyerang akar kekuasaan tradisional dan ekonomi yang selama ini melindungi korupsi. Mamdani menekankan perlunya mengakhiri budaya yang memungkinkan miliarder seperti Trump mengeksploitasi penyewa dan menghindari pajak. Dukungan Mamdani terhadap serikat pekerja dan perlindungan tenaga kerja bukan sekadar retorika ini adalah peringatan nyata bahwa ketika pekerja diberdayakan, dominasi bos yang menindas runtuh.
Trump merespons dengan ancaman dan komentar ofensif di media sosial, mencoba mempertahankan hegemoni lama.
Namun, fenomena Mamdani justru memperkuat dukungan publik, menjadi simbol bahwa kepemimpinan moral bisa menantang kekuatan ekonomi dan politik yang mapan. Kemenangan ini bukan hanya tentang kursi walikota, tetapi tentang revolusi nurani di jantung sistem yang lama mengabaikan keadilan sosial. Publik terpukau, bukan karena sensasi, tapi karena politik dengan hati ternyata mampu menumbangkan dominasi yang selama ini dianggap tak tergoyahkan.
New York dan Harapan Baru
Di tengah hiruk pikuk kapitalisme global, kemenangan Zohran Mamdani adalah penegasan bahwa manusia masih mencari pemimpin yang jujur, bukan hanya pintar; yang peka, bukan hanya populer. Ia mengingatkan kita bahwa politik sejati bukan tentang memenangkan kursi, melainkan tentang memenangkan kemanusiaan.
Seperti halnya Ann Dunham membentuk Obama untuk memandang dunia dengan empati, Mira Nair dan Mahmood Mamdani membentuk Zohran menjadi politisi dengan hati bukan sekadar kepala. Dan dunia, yang lama haus akan kepemimpinan semacam itu, kini menatap New York dengan harapan baru.
Tentang Penulis:
Eko Supriatno, Mahasiswa S3 Administrasi Publik UMJ, Dosen FISIP UNMA, Peneliti BRIMA.![]()
Nasional 4 hari yang lalu
Parlemen | 5 hari yang lalu
Olahraga | 5 hari yang lalu
Olahraga | 1 hari yang lalu
Hukum | 5 hari yang lalu
Daerah | 4 hari yang lalu
Ekbis | 5 hari yang lalu
Nasional | 3 hari yang lalu
Nasional | 4 hari yang lalu
Hukum | 5 hari yang lalu
