Politik

Info Haji

Parlemen

Hukum

Ekbis

Nasional

Peristiwa

Galeri

Otomotif

Olahraga

Opini

Daerah

Dunia

Keamanan

Pendidikan

Kesehatan

Gaya Hidup

Calon Dewan

Indeks

Birokrasi di Era Algoritma - Akal Budi dan Masa Depan Administrasi Publik

Oleh: Eko Supriatno
Kamis, 06 November 2025 | 10:52 WIB
Foto: Ilustrasi - iStoc/TarikVision -
Foto: Ilustrasi - iStoc/TarikVision -

RAJAMEDIA.CO - SAYA berkesempatan mengikuti Stadium General Smart Governance and Policy yang diselenggarakan Program Pascasarjana FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta pada Sabtu, 25 Oktober 2025. Narasumbernya, Prof. Seunghwan Myeong dari Inha University, menyampaikan pandangan tajam tentang arah tata kelola digital di era kecerdasan buatan.


Prof. Seunghwan Myeong adalah profesor di Departemen Administrasi Publik, Inha University, Korea Selatan, dengan keahlian utama dalam e-Government, Kebijakan Publik, dan Manajemen Publik. Ia dikenal luas melalui berbagai publikasi di jurnal bereputasi internasional seperti Government Information Quarterly, Sustainability, Smart Cities, Applied Sciences, dan IEEE Access. Salah satu karyanya yang berpengaruh adalah buku berjudul Smart Governance and Policy. Selain itu, Prof. Myeong juga aktif sebagai editor akademis dan anggota berbagai forum kebijakan publik di Korea.


Kritik Digitalisasi


Dalam paparannya, Prof. Myeong mengkritik keras praktik birokrasi digital yang terlalu terpesona pada evaluasi kuantitatif seperti yang terjadi di Korea Selatanhingga melupakan empati, inovasi, dan nilai kemanusiaan. Birokrasi yang diukur hanya dengan angka berisiko melahirkan kinerja kosong tanpa makna sosial, tegasnya. Ia menambahkan, kecerdasan buatan tanpa etika hanya akan memperbesar ketimpangan dan bahaya baru dalam pengambilan keputusan publik.


Karena itu, perlu dibangun sistem akuntabilitas manusiamesin agar smart governance benar-benar bermakna dan berkelanjutan. Tanpa arah moral, inovasi digital bisa berubah menjadi alat dominasi, bukan pemberdayaan.


Pemberdayaan Rakyat


Tugas utama pemerintah bukan membuat rakyat bergantung pada bantuan, melainkan membebaskan potensi rakyat. Negara harus menciptakan sistem ekonomi yang sehat, infrastruktur yang adil, serta pendidikan dan kesehatan yang berkualitas agar rakyat mandiri secara ekonomi dan bermartabat secara sosial.


Pola pikir pemerintah sebagai pemberi bantuan harus bergeser menjadi pemerintah sebagai pemberdaya. Sebab, ketergantungan adalah bentuk kolonialisme barubukan dari bangsa asing, tetapi dari kebijakan yang melemahkan daya rakyat sendiri.


Pemimpin sejati bukan yang memberi ikan setiap hari, melainkan yang memastikan rakyat bisa memancing di kolam yang adil, dengan alat yang sama, tanpa harus mengemis pada kekuasaan.


Koperasi Merah Putih adalah contoh sistem pembangunan berbasis nilai-nilai lokal yang berhasil menciptakan keseimbangan antara ekonomi, sosial, dan moralitas publik. Di masa lalu, koperasi ini menjadi jantung ekonomi rakyat, menghubungkan produksi desa dengan distribusi nasional melalui asas gotong royong dan keadilan. Ironisnya, ketika Indonesia menyingkirkannya, Korea Selatan justru datang belajar dan menirunya. Koperasi Merah Putih bukan sekadar lembaga ekonomi, tetapi laboratorium moral pembangunan, di mana rakyat belajar mengelola, berpartisipasi, dan berdaya bersama.


Kini, saat kita bicara smart governance, semangat koperasi ini perlu dihidupkan kembalibukan untuk nostalgia, tetapi untuk mengembalikan nilai empati dan kebersamaan dalam pembangunan digital yang kehilangan ruh sosial.


Empati, Literasi, Kedaulatan Digital


Seperti dikritik Prof. Myeong, birokrasi digital di Korea kini menghadapi paradoks: semakin efisien, tetapi semakin kehilangan empati. Kinerja publik diukur lewat angka, bukan dampak. AI dijadikan alat ukur, bukan alat bantu. Peringatan ini relevan bagi Indonesia. Jika digitalisasi tidak dibarengi etika, literasi, dan moralitas publik, kita hanya akan mengganti wajah korupsidari manipulasi manusia ke manipulasi algoritma. Smart governance tanpa human governance hanyalah otomatisasi tanpa akal budi.


Di era AI, manusia berisiko menjadi korban algoritma jika literasi digital tidak dibangun dengan kuat. Penulis berpendapat, euforia teknologi sering menutupi kenyataan: kemampuan berpikir kritis, membaca data, dan memilah informasi justru menurun. Banyak orang percaya mesin tanpa mempertanyakan bias dan kesalahan yang melekat pada algoritma.


Fenomena ini sejalan dengan teori literasi digital: literacy gapkesenjangan kemampuan memahami informasidan tech dependencyketergantungan berlebihan pada teknologidapat menyebabkan cognitive decline, penurunan kemampuan analitis dan kritis. Tanpa penguatan literasi digital, AI bukan alat pemberdayaan, tetapi justru memperluas kesenjangan pengetahuan dan memperbudak kesadaran manusia.


Reskilling dan literasi digital menjadi benteng kedaulatan baru. Sama seperti militer menjaga batas fisik negara, literasi menjaga batas kesadaran bangsa dari manipulasi data, informasi palsu, dan pengendalian algoritma. 

Masyarakat yang melek literasi digital tidak hanya menggunakan AI, tetapi mampu mengawasi, mengkritisi, dan memanfaatkannya secara etis. Digitalisasi tidak boleh sekadar efisiensi. Ia harus memperkuat akal budi, menjaga manusia tetap sebagai pusat pembangunan, dan memastikan teknologi menjadi instrumen keadilan sosial, bukan penguasa baru atas kognisi manusia. Literasi digital adalah logika kemanusiaan di era algoritmatanpanya, kemajuan hanyalah statistik tanpa makna.


Komunikasi publik juga menjadi cermin kepemimpinan. Sayangnya, banyak pejabat publik gagal berempatikata-katanya kering, arogan, dan tidak berdasar data. Kepemimpinan modern tidak hanya diukur dari kebijakan, tetapi juga dari kemampuan berbicara dengan hati dan mendengar dengan akal sehat. Negara kehilangan sensitivitas sosial ketika pejabatnya lebih sibuk menata citra daripada menata rasa.


Kita hidup di negeri yang mudah mengucurkan anggaran besar untuk proyek mercusuar, tetapi lambat merespons anak-anak yang keracunan MBG, sekolah roboh, dan gizi buruk. Negara yang tidak berpihak pada anak-anak sejatinya sedang mewariskan ketidakadilan lintas generasi. Pertanyaannya sederhana: untuk siapa pembangunan ini? Jika perut anak bangsa kosong, semua jargon kemajuan hanyalah ilusi.


Birokrasi di Era Algoritma


Di tengah gelombang digitalisasi dan kecerdasan buatan, birokrasi Indonesia menghadapi ujian serius: teknologi memang menjanjikan kecepatan, data instan, dan keputusan otomatis, tetapi tanpa akal budi, empati, dan nilai kemanusiaan, inovasi itu bisa berubah menjadi alat dominasi, bukan pemberdayaan. Pembangunan yang hanya mengejar angka dan mesin tanpa hati bukan sekadar rapuh, tetapi berisiko merusak masa depan publik.


Oleh karena itu, menyeimbangkan kecanggihan teknologi dengan integritas moral, literasi digital, dan kepedulian sosial bukan pilihan, melainkan syarat mutlak agar smart governance benar-benar bermakna dan berkelanjutan.


Dari perspektif penulis, ada tiga langkah strategis yang harus ditempuh:

Pertama: Kekuatan Kemanusiaan. Di tengah arus otomatisasi dan kecerdasan buatan, ada kekuatan yang sering terlupakan: keramahan dan resiliensi publik. Mesin dapat menggantikan pekerjaan, tetapi tidak bisa menggantikan ketulusan. Nilai-nilai ini bukan sekadar moralitas, melainkan aset strategis bangsa. Infrastruktur keras tanpa infrastruktur lunakkarakter, empati, dan daya juang masyarakatadalah pembangunan setengah hati yang cepat lapuk.


Kedua: Etika AI. AI bukan ancaman, melainkan cerminan kecerdasan manusia. Bahaya muncul saat manusia kehilangan etika. Seperti ditegaskan Prof. Myeong, teknologi harus dijalankan oleh nilai, bukan sebaliknya. AI seharusnya menjadi alat pemberdayaan sosial, bukan alat eksploitasi data atau kontrol opini publik. Kecerdasan tanpa hati hanya akan memperkuat ketimpangan dan mereduksi demokrasi menjadi algoritma yang steril.


Ketiga: Human Governance. Pembangunan masa depan bukan tentang siapa tercepat mengadopsi teknologi, tapi siapa paling bijak menggunakan teknologi untuk kemanusiaan. Smart governance harus menjadi human governance: berbasis data namun berpihak pada nurani, digital tapi berjiwa sosial, efisien tanpa kehilangan empati. Desa harus kembali menjadi laboratorium peradaban, di mana gotong royong dan partisipasi menjadi fondasi tata kelola digital yang adil. Dari Koperasi Merah Putih ke AI, pesan yang sama tetap berlaku: pembangunan sejati berpusat pada manusia.


Modernitas sejati bukan diukur dari mesin pintar, tetapi kemampuan menjaga akal sehat publik. Tanpa manusia yang beradab, teknologi hanyalah alat tanpa arah. Tanpa etika, pembangunan hanyalah statistik kosong.


Mari kembalikan pembangunan kepada logika kemanusiaan: birokrasi cerdas dan berperasaan, digital tapi berakhlak, modern namun tetap berakar. Sebab, kemajuan tanpa akal budi hanyalah ilusi yang dipoles algoritma.


Tentang Penulis:

Eko Supriatno, Mahasiswa S3 Administrasi Publik UMJ, Dosen FISIP UNMA, Peneliti BRIMA.rajamedia

Komentar: