Evolusi Politik PSI

RAJAMEDIA.CO - DI PANGGUNG politik Indonesia yang selalu bergerak, di mana setiap langkah seorang elite menjadi pantulan ritme bangsa, muncul peristiwa yang tak sekadar menarik—melainkan mengguncang.
Ahmad Ali, tulang punggung Partai NasDem, memilih menyeberang ke Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Bukan sekadar perpindahan partai. Ini adalah narasi tentang masa depan, tentang harapan yang berani berbeda, tentang politik yang tidak mau berhenti pada rutinitas lama.
Keputusan Ali bukanlah lompatan spontan; ia adalah refleksi strategi yang matang, filosofis, dan berani.
Ia menyebut PSI “partai masa depan”—sebuah kata sederhana yang sesungguhnya menyingkap perjalanan panjang seorang politikus yang memahami medan permainan: dari NasDem yang membesarkannya hingga kursi strategis di parlemen nasional, semua adalah batu pijakan, bukan tujuan akhir.
PSI hadir sebagai laboratorium politik baru, di mana energi, ide, dan visi berbaur, menciptakan politik yang bukan hanya ambisius, tetapi transformatif, memecahkan batas lama dan membayangkan kemungkinan baru.
Pertanyaan besar muncul: apakah loyalitas politik diukur dari institusi lama, atau dari visi yang lebih tinggi?
Ahmad Ali menegaskan, hubungan personal dan rasa hormat pada Surya Paloh tetap utuh—di situ tersirat kedewasaan politik, kemampuan membedakan prinsip dari institusi.
Politik, dalam kerangka ini, bukan tentang perpecahan, tetapi tentang evolusi yang elegan.
Sejarah bukan musuh; sebaliknya, ia menjadi fondasi untuk melangkah lebih cerdas, lebih visioner, lebih jauh.
Keberanian Ali meninggalkan zona nyaman terjadi di momentum yang sarat makna: PSI dipimpin Kaesang Pangarep, wajah muda yang membawa energi baru, simbol generasi yang siap menantang tatanan politik lama.
Bersama Ahmad Ali, PSI bukan hanya mengakuisisi pengalaman elite lama, tetapi juga merangkul integrasi lintas generasi: idealisme bertemu pragmatisme, pengalaman senior berpadu energi muda, membentuk kekuatan yang harmonis namun bergetar.
Pesan tersirat jelas: politik Indonesia kini bukan lagi soal tua atau baru, tapi soal kesiapan menanggapi perubahan dengan keberanian, inovasi, dan visi jauh ke depan.
Politik, pada hakikatnya, adalah drama. Di panggung Thamrin, di mana pelantikan Ali terjadi, drama ini bukan sekadar tontonan; ia adalah ruang refleksi bangsa, tempat di mana perubahan diwujudkan, bukan hanya diperbincangkan, tempat di mana masa depan politik bukan slogan, tapi hasil kerja cerdas, berani, dan beretika.
Langkah Ahmad Ali bukan sekadar pindah partai, ia adalah simbol dari politik masa depan: keberanian moral berpadu kesadaran sejarah, visi membimbing tindakan.
PSI, dengan energi muda dan integrasi elite berpengalaman, kini berdiri di persimpangan: antara janji dan kenyataan, antara harapan dan momentum.
Masa depan politik Indonesia sedang ditulis ulang, bukan oleh sejarah lama, tapi oleh mereka yang berani menafsir kemungkinan baru.
Angin Segar
Di tengah hiruk-pikuk politik Indonesia, kemunculan partai baru selalu seperti hembusan angin segar.
Sejak reformasi 1998, partai baru lahir sebagai respons kekecewaan publik terhadap yang lama. Pemilu 1999 menjadi awal: PDI Perjuangan dan PKB menyapu suara besar karena mereka menghadirkan harapan baru.
Demokrat dan Gerindra menegaskan pola ini di 2004 dan 2009. Ironisnya, meski regulasi ketat—jumlah partai peserta turun drastis—pemilih semakin rasional, siap bermigrasi ke “harapan baru” ketika janji lama tak terpenuhi.
PSI lahir di lanskap ini, 2014, sebagai partai milenial, janji oase bagi politik pragmatis. Tapi pertanyaan menggantung: apakah PSI bisa bertahan lama, atau sekadar fenomena sesaat, layaknya percikan cahaya yang cepat padam?
Migrasi Pemilih
Sejarah pasca-reformasi mengajarkan satu hal: partai baru sukses bukan karena regulasi longgar, tetapi karena kemampuan membaca kekecewaan publik.
Pemilih modern memberi reward, tapi juga menghukum. NasDem 2014 adalah contoh nyata: lahir sebagai alternatif, meraih 6,7% suara karena janji restorasi politik.
PSI menapaki pola serupa. Pemilu 2019 hanya 1,89%, gagal lolos ambang batas. Namun 2024 menandai lonjakan ke 2,81%, kursi DPRD provinsi melonjak dari 13 ke 33, tersebar di Jakarta, Papua, NTT, Banten.
Dukungan Jokowi menjadi faktor utama, Kaesang menjadi wajah baru, menarik perhatian pemilih muda dan penggemar filantrop politik.
Pragmatisme yang berlebihan berpotensi menenggelamkan idealisme, sebuah pelajaran nyata dalam perjalanan PSI. Partai yang dulu dengan tegas menolak dinasti dan politisi senior kini menerima Kaesang sebagai ketua, membuka pintu bagi elite lama, dan mengadopsi konsep “Partai Super Tbk” ala Jokowi.
Akibatnya, figur-figur ikonik yang selama ini menjadi simbol idealisme, seperti Tsamara Amany dan Guntur Romli, memilih hengkang.
Pertanyaannya menggantung di udara: apakah ini strategi cerdas untuk bertahan, ataukah tanda kehilangan jiwa?
Sebuah refleksi yang menuntut ketajaman, baik bagi partai maupun pengamatnya.
Evolusi Politik
Dalam menelaah perjalanan PSI, saya membaca tulisan Arya Fernandes tentang pragmatisme politik partai ini pasca-Jokowi, dan menemukan banyak kesesuaian dengan pengamatan saya sendiri.
Secara garis besar, PSI tampak bergerak melalui tiga fase perkembangan yang cukup jelas.
2014–2019: simbol idealisme anak muda; menolak korupsi, menentang intoleransi, basis urban kuat, suara nasional rendah, namun aura idealisme menjadi fondasi moral dan identitas.
2019–2024: fase pragmatis-strategis; membuka pintu elite lama, memperkuat koneksi dengan Jokowi, peningkatan suara dan kursi DPRD, konsekuensi: kehilangan tokoh idealisme.
2024–sekarang: mode bertahan hidup; ketergantungan pada figur sentral, Kaesang dipilih ulang via e-voting, visi “Partai Super” diadopsi, strategi efektif jangka pendek, namun rapuh tanpa figur utama—fenomena post-incumbency trap klasik mengintai.
Sejarah partai baru memperingatkan: pragmatisme tanpa diferensiasi nyata bisa menjebak partai menjadi fenomena sementara.
Dari pengamatan saya, sejalan dengan Arya Fernandes, PSI kini menghadapi tantangan besar: menemukan identitas mandiri, menjaga momentum, menyeimbangkan pragmatisme dengan akar idealisme, agar tidak sekadar menjadi bayangan popularitas figur sentral.
Jebakan Pragmatisme
Ketergantungan pada figur tunggal seperti Jokowi memberi efek elektoral instan, tapi risiko jebakan nyata. Swing voters (29%) dan party ID rendah (20–30%) membuat PSI rentan jika figur sentral mundur.
Basis urban kuat, tapi kelemahan infrastruktur di sub-urban dan rural membatasi ekspansi. Penunjukan pimpinan daerah top-down menghambat kaderisasi. Loyalis Jokowi bisa memilih partai lain. Isu SARA atau propaganda hitam bisa menyerang PSI sebagai “partai dinasti elit”.
Pragmatisme boleh, tapi harus cerdas dan mandiri. Tanpa akar idealisme, PSI bisa menjadi alat oligarki, kehilangan makna, dan meninggalkan generasi muda dengan janji kosong.
Harapan Baru
Sejarah menunjukkan resep jelas bagi PSI: diferensiasi, kepemimpinan karismatik, dan jaringan akar rumput yang kuat. PSI bisa mencontoh langkah NasDem atau Gerindra: demokratisasi internal lewat e-voting, pemilihan pimpinan daerah langsung oleh kader, serta ekspansi ke sub-urban dan rural untuk membangun basis nyata.
Platform progresif—anti-korupsi, lingkungan, ekonomi digital—harus diwujudkan nyata, bukan sekadar slogan semu. Dukungan Jokowi boleh penuh, tapi PSI harus menegaskan kemandirian politiknya.
Keputusan Ahmad Ali, tulang punggung NasDem, menyeberang ke PSI menjadi simbol penting: keberanian meninggalkan zona nyaman demi visi yang lebih besar, memperkuat integrasi lintas generasi, dan menegaskan bahwa PSI bukan sekadar ikut hembusan popularitas, tapi memimpin perubahan nyata.
Jika PSI mampu melepaskan diri dari jebakan pragmatisme, ia bisa menjadi harapan generasi baru: progresif, inklusif, anti- status quo, dan pembawa semangat demokrasi yang hidup.
Publik kini siap memberi kesempatan pada PSI, partai yang punya visi jelas, bukan bayangan figur lama.
Dengan langkah- langkah strategis dan keberanian moral seperti yang ditunjukkan Ahmad Ali, PSI berada di persimpangan: menjadi angin segar atau sekadar hembusan sesaat. Waktu akan menulis jawaban.
Tentang Penulis: Eko Supriatno, Mahasiswa program Doktoral (S3) Ilmu Administrasi Publik di Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) dan Peneliti pada Badan Riset dan Inovasi Mathla’ul Anwar (BRIMA).
Politik | 5 hari yang lalu
Pendidikan | 6 hari yang lalu
Peristiwa | 2 hari yang lalu
Nasional | 5 hari yang lalu
Hukum | 3 hari yang lalu
Hukum | 1 hari yang lalu
Politik | 6 hari yang lalu
Politik | 6 hari yang lalu
Politik | 5 hari yang lalu