Politik

Info Haji

Parlemen

Hukum

Ekbis

Nasional

Peristiwa

Galeri

Otomotif

Olahraga

Opini

Daerah

Dunia

Keamanan

Pendidikan

Kesehatan

Gaya Hidup

Calon Dewan

Indeks

DPR: Pembatasan Pembayaran Pensiun Bentuk Perlindungan Hukum

Laporan: Halim Dzul
Kamis, 23 Oktober 2025 | 05:10 WIB
Anggota Komisi III DPR RI Soedeson Tandra - Humas DPR RI -
Anggota Komisi III DPR RI Soedeson Tandra - Humas DPR RI -

RAJAMEDIA.CO - Jakarta, Legislasi - Anggota Komisi III DPR RI Soedeson Tandra menegaskan bahwa pembatasan pembayaran manfaat pensiun secara sekaligus (lump sum) dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK) bukanlah bentuk pembatasan hak, melainkan perlindungan hukum bagi peserta dana pensiun.
 

Hal ini disampaikan Soedeson secara virtual menanggapi sidang Pengujian Materiil UU P2SK di Mahkamah Konstitusi RI, sebagaimana tercantum dalam surat nomor perkara 139/PUU-XXIII/2025 dan 164/PUU-XXIII/2025, Rabu (22/10/2025).
 

“Pembayaran manfaat pensiun pada prinsipnya dilakukan secara berkala, kecuali dalam keadaan tertentu yang diatur secara limitatif oleh peraturan perundang-undangan,” jelas Soedeson di Ruang Puspanlak, Gedung Setjen DPR RI.
 

Hanya Kondisi Tertentu yang Diperbolehkan Lump Sum
 

Menurutnya, Pasal 164 UU P2SK dan Pasal 44 POJK 27/2023 secara tegas mengatur pengecualian pembayaran pensiun secara sekaligus hanya dalam kondisi tertentu.
 

“Antara lain, ketika peserta meninggal dunia sebelum usia pensiun, besaran manfaat pensiun yang sangat kecil, pembayaran kepada pihak yang ditunjuk, atau kondisi lain yang ditetapkan OJK,” papar Soedeson.
 

Mahkamah Konstitusi sendiri, lanjutnya, telah menegaskan hal tersebut melalui pertimbangan hukum dalam Putusan MK Nomor 152/PUU-XXII/2024.
 

“Tata cara pembayaran manfaat pensiun bukan merupakan pilihan bebas antara peserta dan lembaga dana pensiun,” tegas politisi Fraksi Golkar itu.
 

Cegah Risiko Penyalahgunaan dan Kerentanan Ekonomi
 

Soedeson menilai, jika pembayaran pensiun diberikan sepenuhnya tanpa batasan, tujuan dasar dana pensiun sebagai instrumen perlindungan sosial akan berkurang.
 

“Bahkan, bisa menimbulkan risiko penyalahgunaan dan kerentanan ekonomi bagi peserta di masa depan,” ujarnya.
 

Karena itu, pembatasan dan persyaratan pembayaran lump sum dinilai justru sebagai wujud kehati-hatian dan tanggung jawab negara dalam menjaga keberlanjutan sistem dana pensiun.
 

“Ini bukan pembatasan hak, tapi bentuk perlindungan hukum bagi peserta,” imbuhnya.
 

Delapan Pekerja Ajukan Uji Materi ke MK
 

Sebelumnya, delapan pekerja dari berbagai perusahaan besar seperti PT Freeport Indonesia, PT Kuala Pelabuhan Indonesia, dan PT Unilever Indonesia mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi.
 

Mereka mempermasalahkan Pasal 161 ayat (2), Pasal 164 ayat (1) huruf d, dan Pasal 164 ayat (2) UU P2SK yang dianggap membatasi hak untuk menerima manfaat pensiun secara sekaligus.
 

Para pemohon, yang terdiri atas pekerja aktif dan pensiunan, mengaku dirugikan karena tidak dapat mengambil manfaat pensiun secara lump sum. Kuasa hukum pemohon, Zen Mutowali, berpendapat bahwa aturan ini menyamakan dana pensiun swasta dengan jaminan pensiun publik, padahal keduanya memiliki karakter berbeda.
 

“Program jaminan pensiun publik bersifat wajib (mandatory), sementara dana pensiun swasta bersifat pelengkap (complement). Pembatasan lump sum di sektor swasta seharusnya tidak diberlakukan secara kaku,” tegas Zen.
 

DPR Pastikan Prinsip Perlindungan Tetap Diutamakan
 

Menanggapi hal ini, Soedeson memastikan DPR RI tetap berpijak pada prinsip perlindungan peserta dan keberlanjutan dana pensiun nasional.
 

“Yang kita jaga bukan hanya kepentingan hari ini, tapi juga keamanan ekonomi peserta di masa depan. Prinsip kehati-hatian harus tetap dijaga,” pungkasnya.rajamedia

Komentar: