Politik

Info Haji

Parlemen

Hukum

Ekbis

Nasional

Peristiwa

Galeri

Otomotif

Olahraga

Opini

Daerah

Dunia

Keamanan

Pendidikan

Kesehatan

Gaya Hidup

Calon Dewan

Indeks

94 NASYIATUL AISYIYAH

4 Ancaman Peradaban di Era Digital: Matinya Kepakaran hingga Hilangnya Rasa Malu!

Laporan: Halim Dzul
Sabtu, 31 Mei 2025 | 15:21 WIB
Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah sekaligus Mendikdasmen RI, Abdul Mu’ti - Foto: Dok Muhammadiyah -
Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah sekaligus Mendikdasmen RI, Abdul Mu’ti - Foto: Dok Muhammadiyah -

RAJAMEDIA.CO - Jakarta, Ancaman Era Digital – Kompleksitas zaman dan derasnya arus informasi tak hanya membawa kemajuan, tetapi juga menghadirkan tantangan serius bagi peradaban dan keadaban manusia.
 

Hal itu ditegaskan oleh Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah sekaligus Mendikdasmen RI, Abdul Mu’ti, saat memberikan refleksi atas tema Milad ke-94 Nasyiatul Aisyiyah, "Perempuan Tangguh, Cerahkan Peradaban", Sabtu (31/5/2025) di Gedung Dakwah Muhammadiyah, Jakarta.
 

Dalam pidatonya, Mu’ti menguraikan empat fenomena kritis yang kini mengancam ketahanan moral, intelektual, dan spiritual masyarakat Indonesia di tengah revolusi digital.
 

1. Matinya Kepakaran (The Death of Expertise)
 

Fenomena pertama adalah the death of expertise, atau matinya otoritas keilmuan sebagaimana dipopulerkan oleh Tom Nichols. Menurut Mu’ti, internet memang memudahkan akses informasi, namun juga mereduksi penghormatan terhadap pakar.
 

“Sekarang orang lebih percaya Google ketimbang guru. Bahkan dalam urusan agama pun, masyarakat lebih sering tanya ke internet dibanding bertanya ke ulama,” kata Mu’ti.
 

Ia menyoroti kehadiran Artificial Intelligence (AI) yang kian menggantikan manusia, termasuk dalam produksi konten dakwah dan fatwa keagamaan.
 

2. Matinya Akal Sehat (The Death of Mind)
 

Fenomena kedua adalah the death of mind, di mana manusia kehilangan kemampuan berpikir kritis dan mendalam. Mu’ti mengutip karya Franklin Foer yang menyebutkan bahwa manusia modern hanya berpikir berdasarkan judul berita.
 

“Banyak orang cukup baca judul saja, lalu merasa tahu segalanya. Mereka tidak tertarik lagi pada isi, konteks, dan logika,” tegas Mu’ti.
 

Ia mengkritik cara pikir instan ini karena menciptakan masyarakat yang hanya ingin mendengar apa yang ingin mereka dengar, bukan kebenaran yang objektif.
 

3. Matinya Keadaban Digital
 

Fenomena ketiga adalah digital incivility atau menurunnya keadaban di ruang digital. Berdasarkan survei Microsoft pada 2020, Indonesia menempati peringkat terburuk dalam indeks keadaban digital di ASEAN.
 

“Netizen kita mudah sekali memaki, menghina, dan menyebarkan fitnah, lalu menyebutnya kritik. Padahal kritik itu perlu ilmu dan akal sehat,” tegas Mu’ti.
 

Ironisnya, menurut Mu’ti, tak sedikit pejabat publik yang justru mengambil kebijakan hanya berdasarkan suara netizen, bukan berdasarkan data atau kajian akademik.
 

4. Matinya Rasa Malu
 

Fenomena keempat adalah hilangnya rasa malu. Mu’ti menyebut banyak orang kini tak lagi merasa malu saat berbuat salah, bahkan saat berbuat dosa di depan umum.
 

“Mereka tidak hanya tidak malu, tapi malah bangga. Ini tanda kehancuran keadaban,” ucapnya dengan nada prihatin.
 

Mu’ti mengutip pepatah Jawa “sing salah seleh”, yang berarti kesalahan harus diakui dan dibereskan. Tapi kini, kata Mu’ti, ungkapan itu justru tak lagi berlaku.
 

Nasyiatul Aisyiyah Harus Jadi Penjaga Peradaban
 

Menutup refleksinya, Abdul Mu’ti mendorong kader Nasyiatul Aisyiyah untuk menjadi garda depan dalam membangun keadaban berbasis ibadah, dan peradaban berbasis ilmu.
 

“Ketangguhan perempuan bukan sekadar fisik atau mental, tapi juga spiritual dan intelektual. Inilah saatnya Nasyiah hadir menjadi suluh dalam gelapnya zaman digital,” pungkasnya.rajamedia

Komentar: