Zohran Mamdani: Wali Kota Sosialis di Jantung Kapitalisme
RAJAMEDIA.CO - Ceritanya begini. Di kota yang katanya the capital of capitalism, yang setiap meter trotoarnya bisa disewakan dan setiap jendelanya punya nilai investasi, terjadilah kejutan kecil yang bikin para pengusaha properti tersedak latte mereka.
New York, kota yang tidak pernah tidur karena terlalu sibuk menghitung laba, kini punya wali kota baru yang, percayalah, bahkan tidak punya saham Starbucks satu lot pun. Namanya Zohran Mamdani.
Laki-laki ini bukan hanya muda, baru 34 tahun, tetapi juga miskin, kalau dibandingkan dengan para pesaingnya yang rekening banknya bisa bikin Bank Dunia minder.
Dalam daftar kandidat wali kota, dia satu-satunya yang tidak bisa menyumbang dana kampanye untuk dirinya sendiri.
Tidak ada gedung, tidak ada helikopter pribadi, bahkan jasnya kadang terlihat seperti hasil diskon Black Friday di Queens. Tapi siapa sangka, justru dia yang menang.
Lalu orang-orang pun bertanya, bagaimana bisa. Begini rahasianya. New York, kota yang terkenal gila uang itu, ternyata punya sistem pemilu yang agak anti-uang.
Namanya matching funds system. Prinsipnya sederhana tapi jenius, jika seorang warga menyumbang satu dolar kepada kandidat, kota akan menambahkan satu dolar lagi dari kas publik.
Jadi makin banyak sumbangan kecil, makin banyak dana yang masuk. Sebaliknya, kalau dana besar datang dari korporasi atau miliuner, negara tidak menambah sepeser pun. Ini semacam vaksin demokrasi untuk mencegah infeksi cukong.
Jadi jangan kaget kalau kampanye Mamdani bisa jalan dengan sumbangan-sumbangan kecil dari para pekerja bar, guru sekolah negeri, dan sopir bus.
Lima puluh dolar di tangan mereka bisa berubah jadi seratus. Politik di New York tiba-tiba terasa seperti crowdfunding for the people.
Dengan sistem itulah Mamdani melawan Andrew Cuomo, mantan gubernur dengan rambut licin dan dompet tebal. Cuomo maju sebagai kandidat independen setelah kalah di konvensi Demokrat.
Tapi seperti kata pepatah lama, orang besar dengan masa lalu besar biasanya juga punya ego besar. Ia yakin bisa membeli kepercayaan publik seperti membeli apartemen di Manhattan. Ternyata rakyat New York sudah kebal terhadap politik mahal.
Hasilnya, Mamdani menang 50,4 persen. Cuomo tertinggal di 41,6 persen. Curtis Sliwa, kandidat Republik, hanya mendapat 7 persen, yang bahkan tidak cukup untuk membeli sarapan Wall Street.
Dan begitulah, di kota dengan julukan the city that never sleeps, kini berdiri wali kota yang mungkin baru saja tidur nyenyak setelah menandatangani surat kemenangan.
Malam itu di Brooklyn, pesta kemenangannya seperti pesta rakyat. Tidak ada anggur mahal, tidak ada gaun couture. Yang ada hanya kerumunan orang yang bersorak sambil mengibarkan spanduk bertuliskan A City for All.
Mamdani berdiri di atas panggung kecil, mikrofon di tangan, suaranya agak serak tapi jelas, “Tonight you gave a mandate for change, a mandate for a new kind of politics, a city that’s affordable, and a government that can deliver it.”
Orang-orang meneteskan air mata, bukan karena terharu, tapi karena benar-benar ingin sekali punya kota yang affordable. Harga sewa apartemen di New York sekarang sudah 3.400 dolar per bulan, setara dengan gaji tiga bulan pekerja restoran.
Tingkat kekosongan hanya 1,4 persen. Artinya, kota ini penuh, tapi banyak yang tidak punya tempat tinggal. Ironi sekelas Broadway, panggung megah, tapi pemerannya kelaparan.
Mamdani datang dengan ide-ide yang, bagi para kapitalis, terdengar seperti ancaman terhadap peradaban. Ia mau membekukan sewa lebih dari sejuta apartemen bersubsidi.
Ia mau menjadikan bus kota gratis. Ia mau membuat penitipan anak universal, bahkan mau mendirikan lima toko bahan makanan milik kota agar harga pangan bisa dikontrol. Semua itu dibiayai dari pajak baru untuk orang kaya dan korporasi besar.
Bagi Wall Street, pidatonya terdengar seperti bunyi gergaji di leher. Tapi bagi warga Queens dan Brooklyn, pidato itu seperti lagu kebangsaan baru.
Kampanyenya pun ajaib. Seratus ribu relawan mengetuk tiga juta pintu rumah warga. Mereka datang tanpa jas formal, tanpa mobil mewah.
Kadang sambil bawa kopi dingin, kadang sambil digigit anjing. Tapi semangatnya seperti tentara tanpa seragam, tentara yang berperang demi tiket bus gratis.
Di bar Fort Greene, wajah Mamdani muncul di layar televisi. Orang-orang bertepuk tangan, bersorak, dan beberapa langsung memesan bir tambahan.
Seorang perempuan bernama Anita Brathwaite, pekerja bar yang gajinya sering tidak cukup untuk bayar sewa, berbisik lirih, “Living in New York is getting impossible. Maybe this guy can make it a little less cruel.”
Ah, kalimat itu seharusnya jadi tagline kampanye. Sementara Cuomo malam itu berpidato dengan nada seperti aktor yang lupa dialog.
Ia bicara tentang pengalaman, stabilitas, dan kebijakan jangka panjang, tiga kata yang hanya terdengar bagus di PowerPoint, tapi tidak di telinga orang yang sewa apartemennya naik tiap bulan.
Mamdani menang bukan karena lebih pintar, tapi karena lebih jujur. Ia bicara tanpa naskah, dan kalau gugup, ia tertawa.
Orang melihatnya bukan sebagai politisi, tapi sebagai tetangga yang tiba-tiba dicalonkan jadi wali kota karena bosan bayar sewa.
Kini New York punya wali kota Muslim pertama, keturunan Asia Selatan pertama, dan termuda dalam seratus tahun terakhir. Sebuah prestasi yang membuat sebagian warga bangga, sebagian lagi sibuk menanyakan, “Dia bisa makan bacon gak, ya?”
Wall Street mulai berbisik-bisik. Para bankir gelisah. Mereka membayangkan pajak naik, bonus turun, dan transportasi umum gratis, sesuatu yang dalam logika mereka sama saja dengan kiamat finansial.
Tapi kota ini, untuk pertama kalinya dalam sejarah panjangnya, merasa punya pemimpin yang benar-benar tahu rasanya hidup di bawah.
Mamdani duduk di kursi yang dulu ditempati oleh para jutawan seperti Michael Bloomberg. Bedanya, kini di kursi itu duduk seorang anak imigran dari Queens yang masih bisa membedakan aroma kopi murah dan kopi mahal.
Dan di balik gedung-gedung kaca yang memantulkan cahaya uang, seorang wali kota baru sedang menyiapkan rencana sederhana, menjadikan kota ini bukan hanya tempat orang kaya berinvestasi, tapi tempat orang biasa bisa bernapas.
New York akhirnya menemukan ironinya yang paling indah. Di jantung kapitalisme dunia, seorang sosialis muda kini memegang kunci kota.
Dan mungkin, untuk pertama kalinya, Wall Street bangun pagi-pagi bukan untuk menghitung laba, tapi untuk memastikan pajak mereka belum dinaikkan.
Munir Sara, Pemerhati Kebijakan Publik Merah Putih Institute![]()
Politik | 5 hari yang lalu
Politik | 2 hari yang lalu
Hukum | 5 hari yang lalu
Ekbis | 6 hari yang lalu
Info Haji | 6 hari yang lalu
Opini | 6 hari yang lalu
Kesehatan | 6 hari yang lalu
Nasional | 6 hari yang lalu
Keamanan | 6 hari yang lalu



