Politik

Info Haji

Parlemen

Hukum

Ekbis

Nasional

Peristiwa

Galeri

Otomotif

Olahraga

Opini

Daerah

Dunia

Keamanan

Pendidikan

Kesehatan

Gaya Hidup

Calon Dewan

Indeks

Madrasah Sebagai Laboratorium Pendidikan

Oleh: Prof. Dr. Fauzan, M.A.
Jumat, 27 Oktober 2023 | 06:10 WIB
Foto: Ilustrasi
Foto: Ilustrasi

RAJAMEDIA.CO - Opini, Pendidikan - Madrasah adalah bentuk kelembagaan pendidikan Islam yang terus melakukan transformasi, adaptasi sesuai tuntutan zaman. Madrasah sendiri telah ada sejak masa Abbasiyah, namun menurut Al-Suyuthi sebagai dikutip oleh Abu al-Falah, Istilah 'madrasah' baru digunakan agak luas sejak abad kesembilan masehi.

Kajian tentang sejarah munculnya madrasah pertama didunia Islam masih didebatkan. Syalabi menyatakan bahwa madrasah yang mula-mula muncul di dunia adalah Nizhamiyah yang didirikan oleh Nizham Al-Mulk, perdana menteri dari Saljuk, pada tahun 1065-1067 M/ (457- 459 H).

Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam terus mengalami perkembangan, dan dinamika perubahan dalam merespon perkembangan masyarakat.

Dalam konteks Indonesia, madrasah lahir sebagai respon gerakan pembaharuan Islam yang terjadi di wilayah Timur Tengah, dan sebagai respon terhadap kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang tidak menguntungkan lembaga pendidikan Islam.

Pada saat itu, madrasah muncul sebagai lembaga pendidikan formal yang tidak hanya menyampaikan materi agama (tafaqquh fi al-din) sebagaimana pesantren, tetapi penguatan materi umum sebagaimana di sekolah yang diterapkan model pendidikan Barat.

Alhasil, Madrasah merupakan sistem pendidikan modern, karena kyai atau ulama pernah belajar di timur tengah sehingga juga mengetahui model pendidikan barat.

Maka model madrasah sama dengan sekolah pada umumnya, ada pendidikan umum, namun dalam pendidikan agama dijabarkan secara luas. Penyelenggaraan madrasah dilaksanakan secara formal yang mencakup Raudhatul Athfal (RA), Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), Madrasah Aliyah (MA), dan Madrasah Aliyah Kegamaan (MAK).

Madrasah terus menunjukkan jatidirinya sebagai lembaga pendidikan Islam yang dapat mengawal tercapainya tujuan pendidikan Nasional, yakni berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Dengan kebijakan yang memadukan antara kurikulum Kementerian Agama yang berbasis mata pelajaran fiqh, akidah akhlak, sejarah kebudayaan Islam, al-Quran Hadis, dengan kurikulum Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) yang berbasis mata pelajaran umum dipahami sebagai model kurikulum yang dapat melahirkan generasi dengan kecakapan sains, memiliki kemampuan dalam mengarungi kehidupan (life skill), serta membentuk pribadi yang berakhlak al-karimah.

Penguatan materi kegamaan Islam dan pembiasaan positif (habitual curriculum) ditengarai sebagai upaya serius yang dapat membentuk pribadi peserta didik yang taat beragama (hablum minallah), santun, ramah, jujur, dan tanggung jawab dalam menjalani kehidupan nyata di tengah masyarakat (hablum minannas).    

Dalam mendukung terlaksananya kelembagaan pendidikan tersebut, tentu kehadiran madrasah/sekolah sangat ditentukan oleh dukungan semua komponen sistem pendidikan, mulai dari visi, tujuan pendidikan, sarana prasarana, kurikulum, biaya, lingkungan, manajemen/pengelolaan pendidikan, peserta didik, hingga pendidik.

Keberadaan madrasah/sekolah perlu memposisikan diri sebagai lembaga pendidikan yang terus berinovasi, belajar dengan pelibatan perguruan tinggi. Sebaliknya, kampus juga harus memposisikan sekolah/madrasah sebagai mitra kerjasama yang menjadi lembaga tersebut sebagai tempat berinteraksi mahasiswa atau calon guru mengenal “sejak dini” sekolah/madrasah.

Bahkan keberadaan sekolah/madrasah mestinya disepakati sebagai laboratorium riil dalam rangka mengembangkan teori-teori kependidikan yang dipelajari mahasiswa di ruang kelas yang terbatas.

Madrasah Sebagai Laboratorium Pendidikan

Dalam Peraturan disebutkan beberapa istilah yang beriringan dengan pelaksanaan pembelajaran calon guru, yaitu: (1) Sekolah/madrasah laboratorium, dipahami sebagai satuan pendidikan yang diselenggarakan pihak perguruan tinggi, berfungsi sebagai tempat berlatih mahasiswa, sebagai tempat penelitian, pengabdian kepada masyarakat, dan pengembangan ilmu dan praksis pendidikan. (2) Sekolah/madrasah Mitra, dipahami sebagai satuan pendidikan yang menjadi mitra kerja sama kampus dan berfungsi sebagai tempat berlatih mahasiswa.

(Permenristek No. 55 tahun 2017) Kedua bentuk kelembagaan tersebut memiliki kontribusi positif dan signifikan dalam pembentukan jati diri pendidik profesional. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, upaya peningkatan kompetensi perlu dilakukan dengan memanfaatkan ruang pembelajaran lain yang lebih nyata di masyarakat.      

Pembelajaran abad 21 diharapkan dapat membekali peserta didik dengan kemampuan 4Cs, yakni kemampuan: 1) berkomunikasi (communication), 2) berkolaborasi (collaboration), 3) berpikir kritis dan pemecahan masalah (critical thinking and problem solving), dan 4) kreativitas dan inovasi (creativity and innovation). Kebutuhan kompetensi yang semakin tinggi dan beragam pada abad 21 membuat tantangan yang dihadapi dunia pendidikan Indonesia juga semakin kompleks.

Di antara kebijakan yang dapat menopang tercapainya kompetensi tersebut adalah kebijakan Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka (MBKM). Kegiatan MBKM mempersilahkan mahasiswa dalam menentukan pilihan pola belajar yang dapat meningkatkan kompetensinya di masa mendatang.

Melalui kegiatan MBKM kurikulum PT dituntut lebih lebih fleksibel, dan memperluas jaringan kerjasama yang lebih luas dengan perguruan tinggi lain dan dunia industri, baik dalam maupun luar negeri.

Adanya tuntutan kompetensi tersebut, secara tidak langsung telah mendorong Pendidikan Tinggi (PT) memiliki mitra kelembagaan sebagai wadah riil dalam mengembangkan, mengafirmasi, mengadaptasi, atau bahkan mengoreksi konsep/teori yang dipahami di ruang perkuliahan.

Termasuk teori kependidikan juga membutuhkan legitimasi dari para subyek pembelajar yang ada di sekolah/madrasah. Keberadaanya merupakan dunia industri bagi Lembaga Pendidikan dan Tenaga Kependidikan (LPTK) atau Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, tempat mahasiswa calon guru melakukan observasi, penelitian, praktik mengajar, serta belajar bagaimana menyiapkan diri sebagai guru profesional.

Ada beberapa dasar pertimbangan yang menguatkan dan memastikan sekolah/madrasah sebagai laboratorium pendidikan, yaitu:

Pertama, perubahan kurikulum program studi berbasis Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI), Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SNPT), dan Outcomes Based Education (OBE) meniscayakan pengelola program studi melakukan langkah kegiatan pembelajaran yang memadukan antara teori praktik secara berimbang, memadukan antara kampus dengan dunia dunia industri (termasuk sekolah/madrasah) sebagai mitra sebagai lingkungan pendidikan.

Sehingga capaian pembelajaran atau learning outcome dapat terpenuhi. Oleh karenanya, mengaitkan seluruh kegiatan perkuliahan, teori yang dipahami di bangku kuliah harus dapat membandingkannya dengan realitas yang terjadi di sekolah/madrasah.

Kedua, pembentukan jati diri seorang pendidik profesional harus dilakukan sejak awal dipilihnya program studi sebagai tempat belajar para mahasiswa. Harapan menjadi guru profesional harus dilakukan melalui tahapan yang ketat, dari penguasaan teori pembelajaran, kependidikan, psikologi, penguasaan konten materi ajar, keyakinan diri, motivasi tinggi, dan kepercayaan diri sebagai calon guru harus tertanam kuat sejak perkuliahan dilakukan.

Oleh karenanya, kegiatan Pengenalan Lapangan Persekolahan (PLP) dan program asistensi mengajar sebagai bagian dari kegiatan MBKM dengan menjadikan sekolah/madrasah sebagai tempat kegiatan pembelajaran merupakan pilihan tepat.

Melalui program tersebut disinyalir dapat meningkatkan kemampuan dan motivasi mahasiswa dalam mengasah teaching skill, penguasaan materi, dan proses pembentukan diri calon pendidik profesional.

PLP sendiri merupakan program internship di sekolah/madrasah mitra secara berjenjang yang didesain dalam upaya memberikan pengenalan awal melalui pengamatan sekolah/madrasah. Melalui kegiatan tersebut diharapkan para calon pendidik bermutu akan lahir, diharapkan juga melalui kegiatan PLP lebih memotivasi sebagai calon pendidik.  

PLP adalah suatu tahapan dalam proses penyiapan guru profesional pada jenjang Program Sarjana Pendidikan, berupa penugasan kepada mahasiswa untuk mengimplementasikan hasil belajar melalui pengamatan proses pembelajaran di sekolah/lembaga pendidikan, latihan mengembangkan perangkat pembelajaran, dan belajar mengajar terbimbing, serta disertai tindakan reflektif di bawah bimbingan dan pengawasan dosen pembimbing dan guru pamong secara berjenjang.

PLP adalah proses pengamatan/observasi dan pemagangan yang dilakukan mahasiswa Program Sarjana Pendidikan untuk mempelajari aspek pembelajaran dan pengelolaan pendidikan di satuan pendidikan dengan waktu yang amat singkat.

Sementara asistensi mengajar merupakan kegiatan pembelajaran langsung yang dilakukan mahasiswa di sekolah/madrasah untuk kurun waktu tertentu dengan target bukan sebatas pada “pengenalan” lembaga, tetapi penguasaan teori, praktek secara terpadu dengan memanfaatkan real teaching dan budaya sekolah/madrasah sebagai tempat perkuliahan.

Ketiga, perubahan pembelajaran yang menjadi tuntutan kurikulum merdeka, paling tidak harus “memaksa” para pendidik mencari inovasi pembelajaran yang sesuai dengan tuntutan kebutuhan peserta didik, dan upaya pembentukan profil pelajar Pancasila yang efektif efisien.

Perbaikan kinerja pembelajaran harus menjadi bagian dari indikator kinerja para guru profesional, slogan “hari ini harus lebih baik dari hari sebelum” perlu dituangkan lebih serius dalam aktifitas pembelajaran yang lebih riil. Ketepatan guru dalam memilih pendekatan, strategi, metode pembelajaran bukan pekerjaan mudah, tetapi usaha serius yang didasarkan atas perilaku, situasi dan kondisi di mana peserta didik berinteraksi.

Pembelajaran tidak lagi hanya sebatas rutinitas, keluar masuk kelas dengan ukuran nilai “angka” tetapi harus ada ketercapaian target penguatan kompetensi dan pembentukan profil pelajar sebagaimana diharapkan. Oleh karenanya, budaya penelitian terhadap berbagai perilaku yang muncul dari kegiatan pembelajaran menjadi hal wajib yang seharusnya terus dilakukan para pendidik, demi keberlangsungan pembelajaran yang lebih bermutu, dan memenuhi hajat tuntutan masyarakat luas.

Classroom Action Riset atau Penelitian Tindakan Kelas (PTK) di antara model penelitian yang bisa dilakukan guru. Suatu bentuk penelitian yang bersifat reflektif dengan melakukan tindakan tertentu agar dapat memperbaiki/meningkatkan praktek pembelajaran di kelas secara lebih profesional.

Di sisi lain, pengembangan teori konsep pembelajaran yang selama menjadi topik kajian kampus perlu juga dikonfirmasi dengan realitas pembelajaran sebenaranya. Keberadaan sekolah/madrasah harus dijadikan sebagai laboratorium pendidikan yang mampu menjustifikasi berbagai teori pembelajaran yang muncul, apakah teori pendidikan yang dipelajari selama ini memiliki kesesuaian dengan realitas yang terjadi di ruang kelas.

Ruang kelas perkuliahan perlu terus disandingkan dengan berbagai kenyataan yang terjadi di lapangan, perilaku peserta didik, budaya sekolah/madrasah, pelibatan guru dalam pembimbingan kegiatan mahasiswa, adalah bagian integrated dari sebuah konsep pendidikan yang ada dalam referensi.

"Terus berijtihad mencari formulasi pengembangan pendidikan yang lebih berkualitas." 

Penulis: Direktur Pendidikan Yayasan Syarif Hidayatullah Jakarta, Guru Besar Bidang Pengembangan Kurikulum FITK UIN Jakartarajamedia

Komentar: