Krisis Ekologi dan Spirit Baru Beragama

RAJAMEDIA.CO - LAGI lagi kita dikejutkan oleh pemberitaan mengenai masalah dugaan kerusakan lingkungan. Kali ini oleh sebuah perusahaan pertambangan di Pulau Gag, kawasan konservasi strategis di Raja Ampat, Papua Barat Daya. Wilayah yang dikenal sebagai salah satu pusat biodiversitas laut dunia itu kini terancam rusak oleh industri pertambangan. Kendatipun protes datang dari aktivis lingkungan, tokoh adat, hingga pemuka agama, namun sebagaimana kasus-kasus sebelumnya, suara itu tampaknya akan tenggelam atas nama pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional.
Kasus ini bukan sekadar soal pelestarian lingkungan semata. Ia menyingkap persoalan yang lebih dalam: bagaimana masyarakat modern memaknai relasinya dengan alam, dan bagaimana posisi (tokoh dan organisasi) agama dalam relasi tersebut, apakah hadir sebagai suara profetik yang menyuarakan keberlanjutan, atau justru menjadi aktor yang melegitimasi kerusakan alam?
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah berulang kali mengingatkan, umat manusia kini tengah menghancurkan sistem penopang kehidupan bumi dengan kecepatan yang mengkhawatirkan. Ekosistem mengalami degradasi akibat industrialisasi yang masif dan pembangunan tanpa henti. Data menunjukkan bahwa kita mengubah iklim secara drastis, sekaligus meracuni udara, air, dan tanah yang sejatinya menopang keberlanjutan kehidupan kita.
Lonjakan populasi dari 3 miliar pada tahun 1960 menjadi lebih dari 7 miliar saat ini menambah tekanan besar terhadap alam. Di satu sisi, dunia berjuang memenuhi kebutuhan dasar manusia. Di sisi lain, ia terjebak dalam hasrat tak terpuaskan akan barang, kenyamanan, dan kemajuan yang didorong oleh semangat materialisme global. Yang pertama dikenal sebagai pembangunan berkelanjutan; yang kedua adalah konsumsi yang tak berkelanjutan. Sayangnya, yang kedua sering kali mendominasi.
Konsumsi hari ini tampaknya telah menjelma menjadi semacam ideologi, bahkan agama baru. Keyakinan terhadap pertumbuhan ekonomi tak terbatas mendorong baik produsen maupun konsumen. Impian tentang kemajuan bergeser menjadi mimpi yang terdistorsi. Pertemuan antara hasrat tak terbatas dan kepercayaan buta pada pertumbuhan menciptakan krisis makna dan krisis ekologis.
Dalam kerangka ini, alam tidak lagi dilihat sebagai ciptaan Tuhan yang memiliki nilai sakral, melainkan sebagai objek statistik: angka-angka harga pasar, meter kubik kayu, atau volume tambang. Rasionalitas instrumental menggantikan rasa syukur dan penghormatan terhadap tanah, air, dan pohon. Hutan direduksi menjadi komoditas, laut menjadi lokasi tambang. Makna hidup pun dicari bukan lagi dalam keheningan dan keindahan dunia, melainkan dalam sistem produksi dan manajemen yang mengadopsi bahasa konservasi demi efisiensi dan branding.
Dalam dua dekade terakhir, diskursus akademik tentang hubungan antara agama dan lingkungan mengalami perkembangan pesat. Setidaknya ada tiga garis besar pembahasan yang relevan. Pertama, sejumlah studi menunjukkan bahwa komunitas agama punya potensi besar dalam menghadapi krisis iklim. Agama membentuk cara pandang terhadap dunia, dan memiliki kekuatan simbolik, ritus, serta otoritas moral untuk mendorong umat hidup lebih berkelanjutan (Tucker, 2009).
Kedua, sejumlah riset empiris menunjukkan bahwa meski terdapat sejumlah komunitas agama mengklaim peduli pada lingkungan, pelaksanaannya sering terkendala, mulai dari jumlah kelompoknya yang sangat kecil, minimnya pendidikan lingkungan bagi masyarakat luas, lemahnya ekonomi warga, hingga kurang fokalnya advokasi mengenai keadilan ekologi dari para pemuka agama. Ketiga, berbagai tradisi keagamaan sebenarnya menyediakan fondasi moral dan spiritual yang kuat untuk perlindungan lingkungan. Tindakan merusak alam bukan sekadar salah secara ekologis, tetapi juga merupakan dosa sosial dan spiritual. Dalam pengertian ini, spiritualitas yang ekologis tidak hanya sahih secara teologis, tetapi juga urgen secara moral dan sosial.
Dalam konteks Islam, upaya menjembatani iman dan lingkungan tampak dalam Deklarasi Islam tentang Perubahan Iklim yang dirumuskan di Istanbul pada 2015. Dokumen ini merupakan seruan global dari ilmuwan, ulama, dan aktivis Muslim agar umat Islam mengambil peran aktif dalam menghadapi krisis iklim. Bumi, ditegaskan dalam deklarasi ini, adalah amanah dari Allah, bukan milik manusia yang boleh dieksploitasi secara dzalim.
Deklarasi ini juga mengidentifikasi kerakusan, pemborosan, dan ketidakadilan sebagai akar dari kerusakan ekologis. Karena itu, deklarasi tersebut mendorong negara-negara Muslim untuk menghentikan ketergantungan pada bahan bakar fosil dan beralih ke energi bersih. Yang menarik, tazkiyah (penyucian jiwa) diartikan bukan hanya sebagai proses batin, tetapi juga sebagai upaya membebaskan diri dari kecanduan konsumsi dan gaya hidup eksploitatif.
Dengan demikian, spiritualitas Islam bukan hanya soal keheningan dalam tempat ibadah, tetapi juga mencakup sikap kritis terhadap sistem ekonomi dan tata kelola industri yang merusak ciptaan Tuhan. Sebagai negara Muslim terbesar di dunia, relasi agama dengan lingkungan ini seharusnya bukan hanya menjadi wacana, melainkan sudah harus menjadi tindakan nyata. Segenap masyarakat Muslim, dari pemuka agama hingga para santrinya, seharusnya terlibat dalam gerakan jihad ekologis bahwa menjaga amanah Tuhan berupa bumi dan seluruh isinya juga bagian penting dari ibadah.
Dalam praktiknya, keselarasan antara wacana teologis dan komitmen ekologis belum selalu berjalan seiring. Bahkan tidak jarang, suara-suara religius yang seharusnya kritis justru terseret dalam dinamika kekuasaan dan ekonomi. Inilah fakta yang terjadi di Indonesia saat ini. Sejumlah ormas keagamaan dan para elitnya justru terlibat dalam struktur utama industri yang mengandalkan eksploitasi sumber daya alam. Akibatanya, bukan saja ormas tersebut hilang keberpihakan ekologisnya melainkan juga cenderung menjadi pengghalau suara kritis yang berasal dari masyarakat sekitar yang terdampak industri pertambangan tersebut.
Dalam situasi seperti ini, kita memerlukan kehadiran para teolog dan intelektual agama yang tidak hanya mengajak kepada kesadaran ekologis individual, melainkan dakwah yang mampu menumbuhkan kesadaran dan gerakan spiritual kolektif yang memadukan iman dan aksi. Agama tidak boleh lagi menjadi pelarian dari dunia, tetapi harus menjadi kekuatan transformasi untuk lingkungan dan dunia yang berkelanjutan. Krisis ekologi sejatinya undangan bagi semua tradisi agama untuk kembali ke akar spiritualnya yang terdalam: rasa syukur, rasa hormat, dan rasa tanggung jawab terhadap lingkungan. Alam bukan sekadar sumber daya, tetapi saudara dalam keberadaan. Dalam kondisi lingkungan yang terluka, spiritualitas agama dipanggil untuk menjadi penyembuh yang penuh kasih dan bijaksana.
Penulis: adalah Guru Besar Sosiologi Agama UIN Jakarta.*
Politik 6 hari yang lalu

Politik | 6 hari yang lalu
Nasional | 4 hari yang lalu
Politik | 6 hari yang lalu
Parlemen | 4 hari yang lalu
Peristiwa | 4 hari yang lalu
Parlemen | 4 hari yang lalu
Opini | 6 hari yang lalu
Info Haji | 5 hari yang lalu
Info Haji | 4 hari yang lalu