Demokrasi yang Dibelenggu Ketakutan

RAJAMEDIA.CO - PADA masa kampanye pemilu lalu, ruang publik Indonesia dipenuhi janji tentang demokrasi yang sehat dan kesejahteraan rakyat yang meningkat. Ada iming-iming penciptaan 19 juta lapangan kerja serta jaminan bahwa suara rakyat akan benar-benar menjadi penentu arah kebijakan negara. Namun, tidak lama setelah pesta elektoral usai, optimisme itu memudar. Pemutusan hubungan kerja merebak, angka pengangguran dan kemiskinan meningkat, sementara beban pajak kian berat.
Omongan para politisi juga kerap menyakiti rakyat. Ketika rakyat bereaksi, alih-alih merespons keresahan rakyat dengan empati, elit politik justru bersikap arogan dan pongah. Kritik dipandang sebagai gangguan, aspirasi tidak dihiraukan, dan malah diperlakukan sebagai ancaman. Demonstrasi yang seharusnya menjadi saluran ekspresi rakyat justru dijawab dengan hadangan aparat bersenjata lengkap. Ruang demokrasi yang semestinya terbuka kini terasa semakin menyempit.
Laporan The Economist Intelligence Unit tahun 2025 menegaskan penurunan tajam kualitas demokrasi Indonesia, yang kini masuk kategori flawed democracy atau demokrasi yang cacat. Skor terendah terdapat pada aspek budaya politik dan kebebasan sipil. Hilangnya nilai luhur politik demokratis dan tergerusnya kebebasan sipil menandakan bahwa demokrasi kita sedang dibelenggu ketakutan.
Demokrasi Indonesia kini berada di bawah bayang-bayang rasa takut. Ira Katznelson, profesor ilmu politik dari Columbia University, menegaskan bahwa ketakutan kerap menjadi konteks politik yang mendorong rezim bersikap otoriter dengan mengorbankan prinsip demokrasi konstitusional. Padahal, demokrasi justru dirancang untuk mereduksi ketakutan melalui pembagian kekuasaan, penguatan masyarakat sipil, serta ruang publik yang transparan.
Fenomena itu tampak di jalanan Jakarta, Yogyakarta, Makassar, dan kota-kota lain beberapa waktu lalu. Berbagai kelompok mulai dari rakyat biasa, ibu-ibu, pekerja ojek online, aktivis, seniman, hingga mahasiswa turun ke jalan menuntut adanya reformasi kebijakan yang lebih pro-rakyat. Namun, aspirasi tersebut bukan dijawab dengan dialog, melainkan dengan barikade aparat, gas air mata, dan water cannon.
Aktivis dituduh menyebar hoaks, jurnalis investigatif diserang secara digital, bahkan digugat secara pidana. Perlahan publik dipaksa belajar untuk takut: takut dicap makar, takut kehilangan pekerjaan, takut menulis kritik di media sosial. John Keane menyebut kondisi ini sebagai kegagalan demokrasi dalam “memprivatisasi ketakutan.” Demokrasi yang sehat bukanlah yang menghapus rasa takut sepenuhnya, melainkan yang mampu mengelolanya melalui hukum dan institusi publik.
Namun ketakutan bukan hanya milik rakyat. Rezim pun sesungguhnya tengah dicekam rasa takut juga: takut kehilangan legitimasi, takut janji politik terbongkar sebagai utopia, takut perilaku koruptif terungkap. Ketakutan ini melahirkan “telinga dungu,” yakni sikap menutup telinga dari kritik dan menggantinya dengan respons represif.
Katznelson mencatat bahwa ketakutan sering dijadikan justifikasi untuk meneguhkan kekuasaan. Dalih menjaga ketertiban umum dipakai untuk membatasi kritik, meskipun landasan hukumnya kerap kabur. Martha Nussbaum mengingatkan, ketakutan adalah racun bagi demokrasi. Rakyat yang takut kehilangan prasyarat penting bagi masyarakat sipil, sementara elit yang takut justru akan semakin menjauh dari rakyat.
Kegagalan Mereduksi Ketakutan
Dalam demokrasi yang sehat dan ideal, ada tiga mekanisme utama untuk memutus siklus ketakutan: pembagian kekuasaan yang memungkinkan adanya checks and balances, masyarakat sipil yang kuat, dan ruang publik yang transparan. Namun di Indonesia, ketiganya justru terganggu. Kekuasaan kian tersentralisasi, masyarakat sipil dilemahkan, media dikendalikan, sementara buzzer memperkuat atmosfer ketakutan. Katznelson mengingatkan bahwa dalam situasi krisis, rezim sering tergoda untuk mengesampingkan prosedur demokrasi. Akibatnya, demokrasi merosot menjadi sekadar ritual tanpa substansi.
Dampaknya bukan hanya politis, melainkan juga psikologis. Penelitian Dusana Dorjee menunjukkan adanya lonjakan emosi negatif global seperti khawatir, sedih, marah yang berdampak melemahkan kualitas demokrasi sebuah negara. Ketakutan kronis mengganggu area otak vital yang sangat penting bagi pengambilan keputusan. Akibatnya, warga menjadi lebih rentan terhadap disinformasi dan teori konspirasi yang menawarkan solusi semu. Ketakutan demikian menggerus kesejahteraan psikologis sekaligus melemahkan kapasitas warga untuk berpikir rasional dan berpartisipasi politik.
Montesquieu telah lama memperingatkan bahwa rezim yang membangun kekuasaan di atas ketakutan rakyat adalah despotisme. Ia mungkin tampak kuat, tetapi sejatinya rapuh karena kehilangan legitimasi moral. Represi mungkin mampu meredam kritik sementara, namun sekaligus menanam benih ketidakpercayaan yang sulit dilenyapkan.
Kekuasaan yang sewenang-wenang tidak akan melahirkan pemimpin yang dicintai rakyat atau dikenang secara terhormat. Justru mereka akan diingat dalam altar sejarah republik sebagai pengkhianat bangsa. Buzzer bisa membungkam kritik di dunia maya, aparat bisa membubarkan demonstrasi, tetapi atmosfer ketakutan menciptakan jurang yang semakin lebar antara rakyat dan pemerintah.
Franklin D. Roosevelt pernah berujar, “satu-satunya hal yang perlu kita takuti adalah rasa takut itu sendiri.” Katznelson memang mengingatkan bahwa ketakutan kadang beralasan, tetapi pesan Roosevelt tetap relevan: demokrasi menuntut keberanian menghadapi ketakutan bersama rakyat, bukan memanfaatkannya sebagai alat kuasa.
Indonesia harus belajar dari sejarahnya. Demokrasi yang hanya mempertahankan prosedur tanpa keberanian mendengar kritik akan kehilangan jiwanya. Pemilu bisa tetap digelar, institusi negara eksis di atas kertas, akan tetapi bila ruang kritik dibungkam, demokrasi itu sesungguhnya sudah cacat. Demokrasi sejati tidak menyangkal ketakutan rakyat, melainkan menjadikannya titik awal dialog dan kebijakan.
Jika ketakutan terus dipelihara sebagai instrumen kekuasaan, yang lahir hanyalah otoritarianisme baru yang rapuh, kehilangan akal sehat, dan tanpa legitimasi. Demokrasi Indonesia harus kembali ke akarnya: bukan sekadar prosedur elektoral, melainkan keberanian kolektif menghadapi ketakutan. Tanpa itu, demokrasi hanya akan terus dibelenggu rasa takut, dengan kekuasaan koruptif yang bersembunyi di baliknya.
Penulis: Guru Besar Sosiologi Agama UIN Jakarta
Politik 3 hari yang lalu

Nasional | 3 hari yang lalu
Politik | 2 hari yang lalu
Pendidikan | 4 hari yang lalu
Dunia | 2 hari yang lalu
Parlemen | 3 hari yang lalu
Nasional | 4 hari yang lalu
Ekbis | 6 hari yang lalu
Opini | 6 hari yang lalu
Dunia | 5 hari yang lalu