Temanggung: Paradoks Keadilan di Negeri Tembakau

RAJAMEDIA.CO - DI LERENG Sumbing dan Sindoro, tembakau bukan sekadar tanaman—ia adalah nadi kehidupan.
Dari tanah kering dan berbatu lahirlah aroma tembakau terbaik di dunia; harum yang menembus pabrik besar dan pasar global, namun meninggalkan getir di dada petaninya sendiri.
Mengubah kultur tembakau bukan sekadar teknokrasi atau pasal regulasi—ia menyangkut sejarah, harga diri, dan sistem nilai yang telah melekat dengan denyut masyarakat Temanggung.
Bupati berganti, regulasi disusun, tapi bagi petani, tembakau adalah identitas, bukan komoditas.
Program diversifikasi tanaman, dari kopi hingga hortikultura, mati di ladang; tak ada yang mampu menggantikan nilai ekonomi dan makna simbolik daun yang telah menghidupi ribuan keluarga. Tembakau adalah kultur agribisnis berjiwa.
Paradoks Negeri Tembakau
Temanggung, penghasil tembakau kelas dunia, hidup dalam ironi panjang: aroma kemakmuran yang dijanjikan tak sebanding dengan nasib petaninya.
Tengkulak memainkan harga, negara menaikkan cukai tanpa arah, dan petani tetap menunduk di ladang—menggantungkan hidup pada daun mahal diproduksi tapi murah dihargai.
Ketahanan petani Temanggung luar biasa; mereka tetap menanam meski harga anjlok, tetap berharap meski kebijakan tak berpihak. Namun, sampai kapan ketangguhan menjadi alasan membiarkan ketidakadilan berakar?

Di Temanggung, tembakau bukan sekadar tanaman—ia adalah nadi kehidupan.
Ketika harga jatuh, mereka tak punya daya tawar. Pasar dikendalikan tengkulak dan korporasi, sementara negara hadir lewat kebijakan yang rumit dan jauh dari kenyataan lapangan.
Cukai Rokok 2026
Kebijakan Cukai Hasil Tembakau (CHT) 2026 menjadi cermin paradoks nasional: di satu sisi, rokok dianggap ancaman kesehatan; di sisi lain, industri dan cukai menjadi nadi ekonomi, penopang fiskal, sekaligus pengaman tenaga kerja.
Penurunan tarif selektif SKT digadang-gadang mampu mencegah PHK massal dan menjaga stabilitas industri, sejalan dengan semangat stimulus 8+4+5.
Namun, dinamika ini membuka pertanyaan moral dan fiskal: apakah negara benar-benar menyeimbangkan kesehatan publik dengan kelangsungan ekonomi, atau sekadar mengejar ilusi moral di atas penderitaan rakyat kecil?
Penurunan tarif SKT memang strategis untuk mencegah downtrading dan menstabilkan realisasi CHT yang melemah 45,5% pada semester I-2025, tapi tetap harus diiringi pemberantasan rokok ilegal agar fiskal negara tidak bocor.
Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa menanggapi kritik dengan nada menantang: “Kita lihat mana yang paling bermanfaat buat ekonomi dan masyarakat, itu yang kita kerjakan”, sambil menekankan bahwa industri legal harus hidup, dan rokok ilegal jangan sampai berkembang.
Nada ini jelas menekankan logika pragmatis: kesehatan masyarakat penting, tapi PHK massal jauh lebih fatal bagi ekonomi dan sosial.
Pendekatan tiga pilar—penurunan tarif selektif, pemberantasan rokok ilegal, serta investasi kampanye kesehatan—menjadi ritme keseimbangan antara moralitas, ekonomi, dan sosial.
Bukan sekadar soal fiskal, tapi soal keadilan struktural: menjaga agar negara tidak hanya memungut, tetapi juga melindungi.
CHT 2026 mengajarkan satu hal penting: negara tidak bisa hanya bersandar pada retorika moral tanpa akal.
Kebijakan yang mengorbankan industri atau pekerja demi citra kesehatan semata akan menjadi bumerang, memperbesar pasar gelap, melemahkan penerimaan, dan menghancurkan mata pencaharian.
Dalam konteks ini, menahan kenaikan cukai bukan sekadar langkah fiskal, tapi penegasan prioritas logis: kesejahteraan ekonomi rakyat kecil tetap harus diukur.
Paradoksnya tetap nyata: kesehatan publik adalah tujuan, tetapi kesejahteraan jutaan pekerja rokok adalah kenyataan.
Tanpa strategi komprehensif—menghapus rokok ilegal, menurunkan tarif SKT secara selektif, dan kampanye kesehatan yang terukur—negara hanya akan mempraktikkan moralitas tanpa akal, retorika tanpa dampak nyata.
CHT 2026 bukan sekadar angka dan regulasi; ia adalah ujian akal sehat pemerintahan, kemampuan menyeimbangkan moral, ekonomi, dan sosial, serta keberanian menghadapi paradoks yang melekat di setiap batang rokok: ancaman kesehatan versus penghidupan jutaan orang.
Jika gagal, bukan hanya pajak yang hilang, tapi juga kepercayaan publik dan keadilan struktural.
Cukai: Negara Moral yang Merokok
Setiap batang rokok yang dibakar adalah paradoks: dituding sebagai sumber penyakit, tetapi sekaligus menjadi penopang keuangan negara.
Hingga Juli 2025, penerimaan Cukai Hasil Tembakau (CHT) tercatat mencapai Rp121,98 triliun, naik 9,6% dibanding periode yang sama tahun lalu sebesar Rp111,23 triliun. Kenaikan ini bukan semata karena konsumsi rokok meningkat, melainkan juga dipengaruhi oleh faktor teknis dalam kebijakan pajak.
Namun, di balik angka megah tersebut, industri kecil merana, petani terhimpit, dan buruh kehilangan pekerjaan.
Kita hidup dalam negara moral yang merokok, memungut kebaikan dari kebiasaan yang terus dikecam.
Kenaikan cukai hingga 67,5% dalam lima tahun disebut demi kesehatan publik. Faktanya? Rokok ilegal merajalela, jumlah perokok tak berkurang, dan negara kehilangan triliunan.
Harga rokok legal menembus Rp 2.500, rokok ilegal Rp 500—siapa sesungguhnya yang dikorbankan? Logika ekonomi kalah oleh ilusi moral; negara menekan industri legal, membiarkan pasar gelap tumbuh bebas.
Budaya Tingwe: Identitas yang Terjepit oleh Moral Global
Di Temanggung, tingwe—melinting rokok sendiri—bukan sekadar kebiasaan, tetapi identitas kultural. Ia bentuk perlawanan rakyat terhadap hegemoni industri besar dan kebijakan seragam.
Kampanye Hari Tanpa Tembakau Sedunia tanpa memahami konteks sosial-ekonomi mengancam jati diri Temanggung: petani kehilangan lahan, pekerja kehilangan kerja, budaya kehilangan makna.
Persaingan industri nikotin global bukan perang kesehatan, tapi perang ekonomi. Korporasi farmasi dan tembakau asing membungkus kepentingan bisnis dengan jubah moral: regulasi, kesehatan, dan kebebasan dari rokok.
Petani Temanggung hanya ingin hidup dari hasil tanamnya—tanpa merasa berdosa. Di sinilah politik moral global berhadapan dengan etika ekonomi rakyat kecil.
Negara, Logika, dan Keadilan
Negara tidak boleh buta moral, tapi juga tidak boleh tuli terhadap realitas. Kebijakan cukai harus berdiri di atas tiga pilar: logis agar tepat sasaran, realistis agar tidak menjerat rakyat kecil, dan proporsional agar keadilan tidak berhenti di meja birokrasi.
Melindungi industri tembakau bukan berarti menentang kesehatan publik, tetapi menegakkan keseimbangan antara ekonomi rakyat dan tanggung jawab sosial.
Kebijakan bagus hanya berarti jika ada lapangan kerja pengganti. Moralitas tanpa solusi konkret hanyalah kebaikan kehilangan akal.
Tembakau dan Takdir Bangsa
Tembakau adalah metafora Indonesia: harum di luar, getir di dalam. Kemajuan tidak boleh dibangun dengan mengorbankan yang lemah.
Moralitas tanpa keadilan hanyalah hiasan pidato. Selama negara belum mampu menghadirkan komoditas pengganti setara, melarang tembakau berarti mematikan satu peradaban.
Temanggung menyimpan aroma masa lalu sekaligus pertanyaan masa depan: apakah kebijakan kita masih berakar di tanah rakyat sendiri?
Temanggung adalah simbol keteguhan rakyat kecil terhadap kebijakan tak berpihak. Di antara aroma tembakau dan asap lintingan, tersimpan pesan moral bangsa: bahwa kehidupan rakyat tak bisa disederhanakan menjadi angka-angka.
Selama negara belum mendengar suara petani, Temanggung akan terus menanam harapan di ladang yang kian gersang.
Jika negara mau mendengar, tembakau bisa kembali menjadi berkah, bukan beban—simbol keadilan ekonomi, bukan sekadar aroma di antara abu kebijakan.
Temanggung mengajarkan bahwa ketahanan bukan alasan membiarkan ketidakadilan berakar.
Moralitas kebijakan tanpa akal sehat hanyalah retorika; keadilan sejati lahir ketika suara rakyat kecil menjadi pijakan pembangunan.
Negeri Tembakau bukan hanya soal daun, tapi cermin bangsa yang mampu menyeimbangkan moral, ekonomi, dan keberlanjutan.
Eko Supriatno
Mahasiswa Program Doktor Ilmu Administrasi Publik, Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ); Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Mathla’ul Anwar (UNMA); dan Peneliti Badan Riset dan Inovasi Mathla’ul Anwar (BRIMA).
Peristiwa | 6 hari yang lalu
Hukum | 6 hari yang lalu
Ekbis | 4 hari yang lalu
Hukum | 5 hari yang lalu
Keamanan | 4 hari yang lalu
Info Haji | 4 hari yang lalu
Keamanan | 3 hari yang lalu
Pendidikan | 4 hari yang lalu
Politik | 2 hari yang lalu