Politik

Info Haji

Parlemen

Hukum

Ekbis

Nasional

Peristiwa

Galeri

Otomotif

Olahraga

Opini

Daerah

Dunia

Keamanan

Pendidikan

Kesehatan

Gaya Hidup

Calon Dewan

Indeks

Menyoal Ketidakpastian Status Guru dalam Janji Pendidikan Bermutu untuk Semua

Refkeksi Akhir Tahun

Oleh: Dr. H. Fadlullah, S.Ag., M.Si.
Kamis, 25 Desember 2025 | 11:06 WIB
---
---

RAJAMEDIA.CO - PENDIDIKAN bermutu untuk semua adalah janji konstitusional negara sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 31 UUD 1945. Negara wajib menyelenggarakan sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan, ketakwaan, dan kecerdasan bangsa. Namun, janji tersebut tidak mungkin diwujudkan tanpa guru yang bekerja secara penuh, profesional, dan bermartabat. Pendidikan bermutu tidak lahir dari tenaga kerja yang hidup dalam ketidakpastian status dan penghasilan.


Guru pada hakikatnya bukan pekerja sambilan. Ia adalah profesi intelektual yang menuntut dedikasi penuh, kontinuitas relasi pedagogis, serta tanggung jawab moral jangka panjang terhadap peserta didik. Ketika guru diposisikan sebagai tenaga paruh waktu atau kontrak, maka pendidikan direduksi menjadi sekadar layanan administratif. Di titik inilah problem etik kebijakan pendidikan mulai mengemuka.


Fenomena guru honorer di sekolah negeri memperlihatkan paradoks tersebut. Mereka mengajar dengan beban yang sama seperti guru ASN, menjalankan fungsi pedagogik, sosial, dan kultural yang identik, tetapi berada di luar sistem perlindungan negara. Dalam banyak kasus, honorer menjadi penopang utama operasional sekolah negeri, namun diperlakukan sebagai solusi sementara yang tak kunjung diselesaikan.


Dalam perspektif kebijakan, keberadaan guru honorer sering dibenarkan atas nama keterbatasan anggaran dan fleksibilitas manajemen. Namun, kebijakan yang terus-menerus bergantung pada status tidak tetap sesungguhnya adalah bentuk penundaan tanggung jawab negara. Ketika solusi darurat dijadikan praktik permanen, ketidakadilan struktural pun dilembagakan.


Transformasi honorer menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) kerap dipresentasikan sebagai jalan tengah. Di atas kertas, skema ini memberi legalitas dan kepastian administratif. Namun, kontrak berbasis waktu dengan evaluasi lima tahunan menempatkan guru dalam posisi yang tetap rentan. Kepastian kerja berubah menjadi kepastian bersyarat.


Model ini menempatkan guru dalam logika yang lebih dekat dengan dunia industri daripada dunia pendidikan. Evaluasi periodik, kontrak terbatas, dan kemungkinan tidak diperpanjang menyerupai sistem kerja pabrik dan outsourcing. Padahal, relasi pedagogis menuntut stabilitas, bukan sekadar produktivitas jangka pendek.


Dalam sistem kerja pabrik, fleksibilitas tenaga kerja mungkin dianggap rasional demi efisiensi. Namun, ketika logika tersebut diterapkan pada guru, pendidikan kehilangan ruhnya. Guru bukan operator mesin kurikulum, melainkan pembentuk manusia. Ketidakpastian status kerja akan selalu berdampak pada kualitas relasi belajar-mengajar.


Sejarah pendidikan Indonesia memberi pelajaran penting. Pada masa kolonial, Ordonansi Guru diberlakukan untuk mengontrol guru agama dengan imbalan legalitas dan perlindungan terbatas. Negara kolonial mengatur siapa boleh mengajar dan apa yang boleh diajarkan. Dalam konteks berbeda, kebijakan kontraktual hari ini berisiko mengulang pola kontrol, meski dalam bingkai negara merdeka.


Persoalannya bukan sekadar status kepegawaian, melainkan arah kebijakan pendidikan nasional. Apakah negara memandang guru sebagai profesi inti yang harus dijamin sepenuhnya, atau sebagai sumber daya fleksibel yang bisa disesuaikan dengan anggaran tahunan. Pilihan ini menentukan masa depan pendidikan publik.


Sekolah negeri, sebagai wajah utama kehadiran negara, semestinya menjadi ruang kerja guru ASN secara penuh. Tanpa guru tetap, sekolah negeri kehilangan fondasi profesionalnya. Pendidikan publik tidak boleh diselenggarakan dengan mekanisme alih daya tenaga pendidik.


Pada saat yang sama, negara perlu jujur mengakui keterbatasannya. Jika negara belum sanggup menyediakan sekolah negeri bermutu dalam jumlah yang cukup—baik dari sisi fasilitas maupun ketersediaan guru ASN—maka penerimaan murid baru harus disesuaikan secara rasional dengan daya dukung yang ada. Mutu tidak boleh dikorbankan demi angka partisipasi semu.


Konsekuensinya, negara harus memandang sekolah yang diselenggarakan masyarakat sebagai mitra strategis. Sekolah swasta bukan pelengkap darurat, melainkan bagian dari ekosistem pendidikan nasional. Dukungan negara perlu diarahkan pada peningkatan mutu, bukan sekadar pengawasan administratif.


Salah satu bentuk dukungan konkret adalah pemberian insentif yang adil bagi guru sekolah swasta yang telah bersertifikat. Dengan demikian, profesionalisme guru dihargai tanpa memandang status institusi. Guru profesional di sekolah negeri dan sekolah swasta memperoleh insentif berupa tunjangan pendidik dengan penghargaan yang sama. Negara hadir bukan dengan mengambil alih, tetapi dengan memperkuat.


Pada akhirnya, pendidikan bermutu untuk semua menuntut keberanian kebijakan. Sekolah negeri perlu ditegaskan sebagai ruang kerja guru ASN tanpa honorer atau PPPK, sementara negara secara simultan mendukung inisiatif pendidikan masyarakat melalui insentif dan kemitraan. Dengan cara itulah amanat konstitusi dijalankan secara etis, realistis, dan berkeadilan—bagi guru, sekolah, dan masa depan bangsa.

Penulis: Dekan FKIP UNTIRTA Bantenrajamedia

Komentar: