Politik

Info Haji

Parlemen

Hukum

Ekbis

Nasional

Peristiwa

Galeri

Otomotif

Olahraga

Opini

Daerah

Dunia

Keamanan

Pendidikan

Kesehatan

Gaya Hidup

Calon Dewan

Indeks

DPR Soroti Kasus Ayam Goreng Widuran: Kok Bisa! Label Non-Halal Selama Puluhan Tahun

Laporan: Firman
Selasa, 03 Juni 2025 | 12:41 WIB
Anggota Komisi VI DPR RI Mufti Anam. - Foto: Humas DPR -
Anggota Komisi VI DPR RI Mufti Anam. - Foto: Humas DPR -

RAJAMEDIA.CO - Jakarta, Parlemen – Anggota Komisi VI DPR RI Mufti Anam angkat bicara soal kontroversi restoran Ayam Goreng Widuran di Solo yang mengaku menjual produk non-halal tanpa informasi jelas kepada konsumen selama puluhan tahun. 
 

Menurutnya, ini bukan sekadar kelalaian, tapi bukti lemahnya pengawasan pelabelan produk di Indonesia.
 

Bukan Sekadar Kesalahan Komunikasi
 

Mufti Anam menegaskan kasus Ayam Widuran tidak bisa dianggap hanya masalah komunikasi atau kelalaian semata. 
 

"Ini cerminan lemahnya sistem pengawasan pelabelan produk konsumsi di Indonesia yang harus ditindaklanjuti serius," ujarnya.
 

Konsumen Muslim Terjebak Informasi Tidak Transparan
 

Pengumuman dari pengelola restoran lewat Instagram menyatakan produk mereka non-halal. Namun, selama puluhan tahun, banyak konsumen Muslim mengira produk ayam goreng tersebut halal, padahal kremesan tepung ayam digoreng dengan minyak non-halal.
 

Tanggung Jawab Besar untuk Transparansi
 

Mufti menilai restoran sebesar Ayam Goreng Widuran punya tanggung jawab besar soal transparansi informasi. 
 

"Label halal bukan sekadar simbol, tapi hak dasar konsumen untuk mendapatkan informasi jujur tentang apa yang mereka konsumsi," tegas legislator dari Dapil Jawa Timur II.
 

Pengawasan Lemah, Persaingan Usaha Terancam Tidak Sehat
 

Politisi ini khawatir sistem pengawasan yang lemah menciptakan ketimpangan persaingan usaha. 
 

“Pelaku usaha yang jujur justru bisa tersisih karena kurangnya transparansi kompetitor,” ungkapnya.
 

Pemerintah Harus Proaktif dan Preventif
 

Mufti mengingatkan, instansi seperti Kementerian Perdagangan, BPKN, dan BPJPH jangan hanya reaktif menangani kasus setelah viral di media sosial. 
 

"Sistem pengawasan harus berjalan aktif, preventif, dan menyeluruh," tegasnya.
 

Etika Perdagangan dan Kejujuran adalah Kunci
 

Tidak masalah berjualan produk non-halal, selama informasinya jujur dan terbuka. 
 

"Pelabelan halal dan non-halal bukan soal agama semata, tapi etika perdagangan. Konsumen non-Muslim juga berhak tahu komposisi makanan yang dibeli," tambah Mufti.
 

Dorong Evaluasi Regulasi dan Perbaikan Sistem
 

Mufti mendorong kementerian dan lembaga terkait untuk mengevaluasi dan memperbaiki mekanisme pengawasan. 
 

"Kasus ini harus jadi momentum perbaikan, bukan hanya sensasi sesaat. Kepercayaan publik adalah modal utama industri kuliner nasional," tutupnya.rajamedia

Komentar: