Politik

Info Haji

Parlemen

Hukum

Ekbis

Nasional

Peristiwa

Galeri

Otomotif

Olahraga

Opini

Daerah

Dunia

Keamanan

Pendidikan

Kesehatan

Gaya Hidup

Calon Dewan

Indeks

Dialog dan Kerja Sama Antar-Agama untuk Dunia yang Lebih Damai

Oleh: Shamsi Ali Al-Nuyorki
Senin, 17 November 2025 | 09:40 WIB
Shamsi Ali Al-Nuyorki, Direktur Jamaica Muslim Center & Presiden Nusantara Foundation
Shamsi Ali Al-Nuyorki, Direktur Jamaica Muslim Center & Presiden Nusantara Foundation

RAJAMEDIA.CO -  Barangkali dari sekian banyak tokoh-tokoh Muslim yang terlibat dalam dialog antar agama, saya mungkin salah seorang yang berada di garda terdepan. Dialog antar agama tidak terlalu popular dan berkembang sebelum tragedi 9/11. Namun tragedi kemanusiaan itu merubah cara pandang dan karakter hubungan antar komunitas agama. Semua menyadari perlunya membangun relasi yang harmonis antar pemeluk agama. Saya salah seorang yang mengalami transformasi dan menyadari itu.


Saya masih teringat ketika pertama kali melakukan pendekatan ke sebuah gereja Queens New York bernama “Sunnyside Churh”. Gereja  itu terletak tidak jauh dari masjid Al-Hikmah, masjid yang dibangun dan dikelola oleh masyarakat Muslim Indonesia di Kota New York. Relasi yang saya bangun dengan gereja ini adalah langkah awal dari semua pergerakan hubungan antar agama yang saya lakukan di kemudian hari. Sederhana, tapi membuka mata dan merombak cara pandang lama tentang hubungan antar manusia.


Pendekatan ke gereja Sunnyside ketika itu didorong oleh sebuah kesadaran bahwa saat ini kita hidup dalam dunia yang terbuka dan terkoneksi (interconnected). Tetangga-tetangga kita mayoritasnya adalah teman-teman yang berbeda dari kita, termasuk dalam agama dan keyakinan. Saya menjadi lebih tersadarkan lagi untuk membaca ulang (rereading) ayat 13 di Surah Al-Hujurat tentang “ta’aruf” atau saling mengenal. Bahwa ta’aruf hendaknya bukan hanya antar sesama Muslim, tapi antar sesama manusia. Makanya ayat itu dimulai dengan panggilan “an-naas”.


Puncak dari perubahan cara pandang saya dan banyak orang adalah ketika terjadi tragedi 9/11. Peristiwa yang menyakitkan (painful) itu mengekspos sebuah realita bahwa “ketidaktahuan” manusia terhadap sesama manusia lainnya begitu dalam. Karenanya memerlukan upaya sungguh-sungguh agar ketidaktahuan itu berkurang bahkan jika perlu tereliminir. Di situlah saya bangkit dan melakukan berbagai upaya agar hubungan antar pemeluk agama menjadi lebih baik dan menguat.


Ketika terjadi peristiwa 9/11, mungkin karena persepsi terlanjur terbangun di benak warga Amerika jika yang melakukan serangan WTC itu adalah Muslim asal Timur Tengah dan Asia Selatan. Karenanya kantor Walikota justeru lebih banyak melibatkan saya dalam berbagai perhelatan besar pasca 9/11 itu. Salah satunya, diundang mendampingi presiden GW Bush ketika berkunjung ke Ground Zero pertama kali. Hanya dua orang tokoh Islam yang diundang; Imam Pasha dari Harlem dan saya sendiri.


Beberapa hari kemudian saya  mewakili Komunitas Muslim dalam acara doa bersama untuk Amerika di Yankee Stadium. Di sanalah saya mulai mengenalkan diri kepada tokoh-tokoh agama besar; Kristen, Katolik, Yahudi, Hindu, Buddha dan Sikhism. Ternyata banyak yang tertarik berkenalan, salah satunya mungkin karena melihat saya unik bahkan asing sebagai Muslim dan Imam yang berbeda. Persepsi Umum di Barat mengatakan bahwa Muslim itu adalah Timur Tengah atau Asia Selatan. Sementara saya berbeda dari mereka secara ras dan entnisitas.


Semua ini justeru semakin mendorong saya untuk bergerilya membangun relasi dengan semua komunitas agama baik Kristen, Katolik, Yahudi, Hindu, Buddha dan Shikhisme. Ada yang terbuka menerima. Tapi tidak sedikit yang merespon dengan sinisme. Pertama karena tidak yakin Muslim bisa membangun relasi yang baik dengan orang lain. Kedua karena saya dipandang tidak mewakili komunitas Muslim mainstream.


Lambat laun penerimaan itu semakin membaik dan luas. Saya membangun dialog dan relasi dengan hampir dengan semua segmen komunitas kristiani. Namun dengan komunitas Katolik ada kendala karena hirarki kepemimpinan di Komunitas itu. Sementara dengan Yahudi dibayang-bayangi oleh isu Palestina-Israel yang terus bergejolak. Tapi ikhtiar itu terus saya lakukan dan pada akhirnya berhasil membuka pintu lebih luas, termasuk dengan komunitas Katolik dan Yahudi.


Di awal saya menjadi salah seorang Imam di Islamic Center of New York ada dua kegiatan antar agama yang paling bergengsi di mana saya terlibat. Satu, menjadi Dewan pengurus di organisasi “NYC Partnership of Faith”. Sebuah organisasi tokoh-tokoh senior di Kota New York. Dua, mewakili Islam dalam trialog atau dialog segitiga (Islam, Kristen, Yahudi) setiap Thanksgiving Day di Marble Collegiate Church Fifth Avenue. Tiga tokoh agama; Pastor Arthur Caliandro, Rabbi Peter Rubinstein dan saya berdialog di depan ribuan jamaah tiga Komunitas agama; Islam, Kristen dan Yahudi.


Dalam perjalanannya saya juga membangun hubungan dan dialog dengan tokoh-tokoh Yahudi di Kota New York. Yang menarik adalah saya bisa diterima oleh hampir semua sekte Yahudi; Reform, Konservatif, dan Ortodoks. Sementara antar mereka (antar sekte) tidak mungkin bisa membangun dialog atau relasi keagamaan. Yang bisa menyatukan semua segmen komunitas Yahudi itu hanya Israel. Jadi teringat Zohran yang bisa menjadi faktor penyatu komunitas Muslim New York dengan segala keragamannya.


Di penghujung tahun 2004 ketika Paus Yahannes II meninggal dunia saya diundang oleh Stasiun TV CBS News untuk sebuah wawancara tentang hubungan antara komunitas Islam dan Katolik. Di studio itu saya ketemu dengan Rabbi Marc Schneier, seorang Rabbi yang cukup terhormat di Kota New York. Kami tidak akrab karena kecurigaan pada masing-masing kami sangat besar ketika itu. Tapi akhirnya kami ketemu lagi dan sepakat untuk membangun dialog dan kerjasama dalam memerangi Islamophobia dan Antisemitisme. Itulah dasar dialog dan kerjasama kami. Mengenai Palestina Israel kami sepakat untuk “agree to disagree without being disagreeable” (sepakat untuk tidak sepakat tanpa saling memusuhi).


Singkat cerita, dengan Rabbi Schneier ini kami berkeliling dunia, termasuk ke Eropa dan Indonesia mempromosikan pentingnya dialog dan kerjasama untuk bersama-sama memerangi Islamophobia dan antisemitisme. Bahkan kami berdua telah menulis buku dengan judul "Anak-anak Ibrahim: Isu-isu yang Menyatukan dan Memisahkan Yahudi dan Muslim”.  Mantan President Clinton menuliskan pengantar buku ini, dan telah diterjamahkan ke dalam tujuh bahasa dunia.


Saya menuliskan ini kembali hanya ingin mengingatkan semua teman-teman dialog antar agama saya, bahwa komitmen saya untuk berdialog dan kerjasama bukan superfisial dan diada-ada. Dialog dan kerjasama itu terbangun di atas dasar cinta dan kemanusiaan serta keadilan universal. Karenanya ketika rasa kemanusiaan dan keadilan itu direndahkan bahkan terinjak, saya dengan segala keterbukaan menyatakan tidak akan melakukan dialog dan kerjasama itu.


Karenanya mari membangun dialog dan kerjasama secara jujur dan terbuka untuk bersama-sama membangun kemanusiaan dan kasih sayang, serta menjunjung tinggi kemuliaan dan keadilan untuk semua. Bahwa semua manusia dengan segala keragamannya adalah satu keluarga universal. Tinggalkan keangkuhan ras, bahkan keangkuhan kelompok atas nama agama sekalipun. Hanya dengan itu dialog dan kerjasama akan terjadi demi dunia yang lebih aman dan damai.


Shamsi Ali Al-Nuyorki, Direktur Jamaica Muslim Center & Presiden Nusantara Foundationrajamedia

Komentar: