BERAKHLAK, Tapi Korupsi Jumbo

RAJAMEDIA.CO - Tagline itu gagah: BERAKHLAK.
Berorientasi pada pelanggan. Etika. Harmonis. Loyal. Adaptif. Kolaboratif.
Sejak 2021, seluruh BUMN diwajibkan mengusung nilai ini. Semacam pedoman moral agar perusahaan negara berjalan dengan baik, transparan, dan bebas korupsi.
Tapi realitasnya?
Korupsi di BUMN justru makin jumbo.
Jiwasraya: Rp16,8 triliun.
Asabri: Rp22,78 triliun.
Waskita Karya: Rp2,5 triliun.
Dan yang terbaru, Pertamina: Rp193,7 triliun.
Angkanya bukan miliaran. Triliunan.
Akhlak di Atas, Korupsi di Bawah
Lihat saja Pertamina.
Skandal terbarunya melibatkan lima eksekutif dari unit-unit bisnisnya. Mereka ditangkap karena dugaan korupsi impor minyak antara 2018-2023.
Skemanya?
Mark-up harga, penggelembungan volume impor, dan manipulasi spesifikasi bahan bakar. Barang yang dibeli murah, dijual dengan harga mahal. Negara rugi Rp193,7 triliun.
Ada juga skandal Pertamina Oplosan.
Pertamina Patra Niaga diduga mencampur Pertalite (RON 90) dengan Pertamax (RON 92), lalu menjualnya dengan harga premium. Konsumen membayar lebih, tapi kualitas bahan bakar tetap medioker.
Akhlak di atas. Korupsi di bawah.
BUMN: Mesin Uang atau Mesin Korupsi?
BUMN itu aset negara. Harusnya jadi mesin pembangunan.
Tapi bagi sebagian oknum, BUMN adalah mesin uang. Bukan untuk negara, tapi untuk diri sendiri.
Jabatan komisaris dijadikan alat politik.
Tender proyek jadi ajang bagi-bagi.
Dana investasi dipermainkan.
Begitu skandal meledak, direksi dicopot. Selesai? Tidak.
Kasus baru muncul lagi. Pejabat baru, skema baru, tapi modusnya sama: manipulasi laporan, kongkalikong proyek, dan bancakan uang negara.
Di mana akhlaknya?
Erick Thohir, Ini Ujian Anda
Erick Thohir datang dengan janji bersih-bersih.
Dia membongkar kasus Jiwasraya dan Asabri. Dia membentuk Satgas Bersih-Bersih BUMN. Dia bicara tentang reformasi, akuntabilitas, transparansi.
Tapi faktanya, skandal baru terus bermunculan.
Korupsi di Pertamina terjadi di era kepemimpinannya. Waskita Karya juga. Krakatau Steel masih berantakan.
Lantas, BERAKHLAK itu benar-benar diterapkan? Atau cuma tempelan?
Kalau Erick serius, seharusnya:
1. Tidak cukup hanya mencopot direksi, tapi menindak pejabat yang ikut bermain.
2. Tidak cukup hanya merekrut komisaris profesional, tapi memastikan mereka benar-benar bekerja.
3. Tidak cukup hanya bicara transparansi, tapi benar-benar membuka akses ke publik.
Karena kalau tidak, bersih-bersih hanya jadi pencitraan.
Slogan tinggal slogan.
Dan korupsi tetap jumbo.
Politik | 3 hari yang lalu
Hukum | 5 hari yang lalu
Parlemen | 4 hari yang lalu
Nasional | 5 hari yang lalu
Parlemen | 5 hari yang lalu
Hukum | 5 hari yang lalu
Opini | 3 hari yang lalu
Hukum | 2 hari yang lalu
Politik | 4 hari yang lalu