Vonis Bebas Polisi Cabul di Papua, Andreas Hugo Pareira: Ini Mencederai Keadilan!

RAJAMEDIA.CO - Jakarta, RMN – Putusan bebas terhadap oknum polisi AFH (20) yang didakwa mencabuli anak 5 tahun di Keerom, Papua, bikin geger. Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Andreas Hugo Pareira, geram. Ia menilai vonis ini mencoreng penegakan hukum dan melukai rasa keadilan masyarakat.
"Kasus ini bukti bahwa aparat penegak hukum masih tebang pilih dalam menangani kejahatan seksual terhadap anak. Padahal, kita sudah punya UU Perlindungan Anak dan UU TPKS yang seharusnya menjerat pelaku dengan hukuman berat," kata Andreas, Jumat (21/3/2025).
Seperti diketahui, Majelis Hakim PN Kelas IA Jayapura membebaskan AFH dari dakwaan meski Jaksa Penuntut Umum (JPU) sebelumnya menuntut 12 tahun penjara. AFH didakwa mencabuli korban sejak 2022 dengan memanfaatkan situasi saat korban sendirian di rumah.
Keluarga korban kecewa berat dan langsung mengajukan kasasi. Andreas mendukung penuh langkah tersebut.
"Putusan ini jelas-jelas merugikan korban. Hakim seharusnya mempertimbangkan fakta bahwa pelaku adalah anggota polisi yang seharusnya melindungi masyarakat, bukan malah jadi predator!" tegasnya.
Citra Polisi Tercoreng, Peradilan Dipertanyakan
Andreas menilai keputusan hakim dalam kasus ini bisa makin menurunkan kepercayaan publik terhadap aparat penegak hukum.
"Saat seorang anggota kepolisian mencoreng institusinya dengan tindakan tercela, pengadilan malah membebaskannya. Dimana letak keadilannya? Ini makin memperburuk citra peradilan kita!" ujarnya.
Sebagai pimpinan Komisi III DPR yang membidangi hukum dan HAM, Andreas menuntut pengawasan ketat terhadap putusan-putusan pengadilan agar benar-benar berdasarkan fakta dan prinsip keadilan, bukan karena tekanan atau intervensi.
"Putusan ini harus dikawal ketat! Kita nggak bisa biarkan kasus seperti ini berulang. Kalau dibiarkan, korban kekerasan seksual, terutama anak-anak, bakal makin sulit mendapatkan keadilan!" katanya.
DPR Desak Komnas HAM Turun Tangan
Andreas juga meminta Komnas HAM ikut mengawal kasus ini untuk memastikan hak-hak korban terpenuhi.
"Undang-Undang kita jelas melindungi hak anak. Negara punya tanggung jawab memastikan keadilan ditegakkan dan hak-hak korban dipenuhi, termasuk hak pendampingan, restitusi, dan pemulihan psikologis," imbuhnya.
Menurutnya, sistem peradilan harus benar-benar berpihak kepada korban, bukan malah melindungi pelaku.
"JPU harus bekerja lebih keras dalam kasasi. Jangan sampai negara terlihat lemah dalam menegakkan keadilan bagi korban kekerasan seksual!" tutup Andreas.
Kasus ini jelas jadi tamparan keras bagi sistem hukum di Indonesia. Kalau hukum masih bisa dipermainkan, bagaimana nasib anak-anak korban kekerasan seksual ke depannya?
Politik 4 hari yang lalu

Hukum | 5 hari yang lalu
Keamanan | 3 hari yang lalu
Hukum | 5 hari yang lalu
Parlemen | 3 hari yang lalu
Parlemen | 4 hari yang lalu
Politik | 6 hari yang lalu
Hukum | 5 hari yang lalu
Ekbis | 5 hari yang lalu
Keamanan | 4 hari yang lalu