Tulisan yang Diancam

RAJAMEDIA.CO - BEBERAPA hari lalu, jagat media sosial diramaikan oleh pengakuan seorang penulis opini di portal nasional detikcom yang menyebut dirinya mendapat intimidasi. Bukan karena hoaks. Bukan pula karena ujaran kebencian. Tapi karena ia menulis kebenaran versi dirinya yang mungkin tak disukai kelompok tertentu
Tulisan itu mungkin menyentil elite, mengupas kebijakan, dan mempertanyakan klaim-klaim indah yang digaungkan. Tulisannya sah dalam ruang demokrasi. Namun, alih-alih dibantah dengan data atau argumen tandingan, sang penulis justru "dibisiki" agar berhati-hati.
Bahkan sempat mengaku diimtimidasi dirinya dan keluarganya. Sebuah pola klasik: membuat takut, bukan menjawab.
Kritik Dilabeli Ancaman, Ketaatan Diberi Karpet Merah
Inilah ironi kita hari ini. Di saat negara mengklaim menjunjung demokrasi dan keterbukaan, kritik justru dianggap ancaman. Ketika jurnalisme dan opini kritis menjalankan fungsinya, justru muncul kekuatan-kekuatan tak terlihat yang ingin membungkam, mengatur arah, bahkan memata-matai penulisnya.
Di banyak negara demokratis, tulisan ditanggapi dengan tulisan. Tapi di sini, tulisan dibalas dengan tekanan. Seakan-akan berpikir berbeda adalah dosa. Menggugat kebijakan adalah makar. Padahal, yang sedang dilakukan penulis itu bukan makar—bisa saja menyuarakan keresahan publik yang tak punya corong.
Kenapa Harus Takut pada Tulisan?
Jika sebuah artikel opini bisa membuat jantung kekuasaan berdebar, maka kekuasaan itu sedang rapuh. Jika satu paragraf bisa mengguncang, maka yang diguncang bukan logika, melainkan rasa takut kehilangan legitimasi.
Pemerintah boleh berganti. Presiden boleh silih berganti. Tapi satu hal yang tak boleh berubah adalah kebebasan warga untuk berpikir, berbicara, dan menulis.
Dewan Pers Turun Suara
Ketua Dewan Pers Komaruddin Hidayat angkat bicara, menyatakan kecaman keras. “Dewan Pers mengecam dugaan intimidasi terhadap penulis opini di Detikcom. Kami mendesak semua pihak menghormati dan menjaga ruang demokrasi serta melindungi suara kritis dari warga, termasuk mahasiswa,” ujarnya.
Komaruddin juga menambahkan bahwa jika penghapusan artikel dilakukan atas permintaan pribadi penulis, maka itu merupakan hak yang perlu dihormati oleh media—sebagaimana hak narasumber mencabut pernyataan.
Pernyataan ini penting. Karena jika Dewan Pers sebagai lembaga pengayom kebebasan pers sudah bicara, itu pertanda serius bahwa ada ancaman terhadap iklim demokrasi.
Menulis Adalah Tindakan Sipil
Apa yang dialami penulis detikcom itu bukan hanya soal pribadi. Ini peringatan untuk kita semua. Setiap penulis, jurnalis, dan warga negara punya hak yang sama untuk menyampaikan pendapatnya tanpa rasa takut. Negara wajib melindungi, bukan mengintimidasi.
Karena ketika tulisan diancam, yang sebenarnya terancam bukan hanya penulisnya—tetapi juga demokrasi itu sendiri.
Penulis: Ketua Dewan Etik DPP PJS, Pimred Raja Media, Wabendum IKALUIN Jakarta*
Hukum 5 hari yang lalu

Daerah | 3 hari yang lalu
Hukum | 2 hari yang lalu
Politik | 5 hari yang lalu
Parlemen | 5 hari yang lalu
Parlemen | 5 hari yang lalu
Hukum | 4 hari yang lalu
Olahraga | 20 jam yang lalu
Opini | 6 hari yang lalu
Nasional | 4 hari yang lalu