Politik

Info Haji

Parlemen

Hukum

Ekbis

Nasional

Peristiwa

Galeri

Otomotif

Olahraga

Opini

Daerah

Dunia

Keamanan

Pendidikan

Kesehatan

Gaya Hidup

Calon Dewan

Indeks

Rio Capella Tepis NasDem: Pemisahan Pemilu Tak Membuat Deadlock Konstitusi

Laporan: Zulhidayat Siregar
Rabu, 02 Juli 2025 | 18:30 WIB
Wakil Ketua Umum DPP Partai Hanura Patrice Rio Capella - isimewa
Wakil Ketua Umum DPP Partai Hanura Patrice Rio Capella - isimewa

RAJAMEDIA.CO - Jakarta, Pemilu -  Wakil Ketua Umum DPP Partai Hanura Patrice Rio Capella menepis alasan Partai NasDem dalam menolak putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang memisahkan skema pemilu nasional (DPR, DPD, dan Presiden) dan pemilu daerah (DPRD dan kepala daerah) mulai tahun 2029.

 

Menurutnya, dalih partai tersebut bahwa putusan MK itu problematis, melanggar Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) 1945, dan berpotensi menimbulkan krisis ketatanegaraan tidak berdasar.

 

"Kalau kita melihat bahwa NasDem misalnya mengkritik (putusan MK) akan terjadi deadlock constitutional. Deadlock constitutional yang mana?" katanya mempertanyakan saat dihubungi Raja Media Network (RMN) Rabu (2/7/2025).

 

Patrice sendiri membenarkan NasDem yang dalam keterangan persnya kemarin menyebut bahwa pemilihan anggota DPRD dan Kepala Daerah merupakan sama-sama bagian dari rezim pemilu. Penegasan DPRD sebagai rezim pemilu, seperti juga pemilihan DPR, DPD, dan Presiden, diatur dalam UUD 1945 tepatnya Pasal 22E ayat (2).

 

Sementara pilkada sebagai rezim pemilu tidak berdasarkan konstitusi tapi mengacu pada putusan MK pada tahun 2022 yang menolak rencana DPR membentuk badan peradilan khusus menyelesaikan perselisihan hasil pilkada. "Karena bagi MK pilkada itu bagian dari rezim pemilu, maka sengketa pilkada tetap dibawa ke MK," ucapnya.

 

Pemilu sebelumnya Pernah Ditunda dan Dipercepat

 

Namun, meski sama-sama rezim pemilu yang secara konstitusional harus dilakukan setiap lima tahun sekali seperti diatur Pasal 22E ayat (1) UUD 1945, pelaksanaan pemilihan DPRD dan kepala daerah mendatang tidak serta merta dianggap melanggar konstitusi hanya karena dilaksanakan tahun 2031.

 

Mengingat sesuai putusan MK pemilu daerah dilaksanakan setelah jeda sekitar dua hingga dua setengah tahun dari pemilu nasional yang akan digelar tahun 2029. Pemilu daerah mendatang dilaksanakan melewati lima tahun setelah pemilu 2024 lalu bisa dimaklumi. Karena masa transisi. Setelah tahun 2031 digelar reguler lima tahun sekali.

 

"Dulu kita juga pernah mengalaminya. Walaupun konstitusi kita (sebelum amandemen) itu tidak secara tegas mengatakan bahwa pemilu itu lima tahun. Pelaksanaan pemilu setelah tahun 1971 itu ditunda dari tahun 76 ke tahun 77. Kemudian (setelah) tahun 97 malah (pemilu) diperpecat menjadi (tahun) 99 (dari seharusnya 2002)," bebernya.

 

"Ini kan penjadwalan ulang namanya. Setelah 2031, ke depannya kan lima tahun (sekali) terus. Jadi menurut saya sih, pendapat NasDem yang mengatakan deadlock konstitusi itu terlalu berlebihan," tegas politikus yang juga pernah menjabat Sekjen dan Ketua Umum DPP Partai NasDem ini.

 

Terlebih dalam konteks saat ini, dia membandingkan dengan pemilihan ulang pilkada Kota Pangkal Pinang dan Kabupaten Bangka yang akan digelar Agustus 2025 mendatang karena kotak kosong yang menang pada pilkada serentak 2024 lalu.

 

Pilkada di dua daerah yang berada di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung itu bisa disebut tidak gelar secara serentak sebagaimana mestinya. Artinya terpisah. "Itu juga pilkadanya tidak serentak. Karena kotak kosong kalah. Artinya ada alasan-alasan yang menyebabkan bahwa bisa terjadi tidak serentak," ungkapnya.

 

Ibarat Pemilu Sela di Amerika Serikat Cs

 

Lebih jauh dia melihat pemilu daerah yang dilaksanakan dua tahun setelah pemilu nasional ini ibarat pemilu sela di sejumlah negara yang memiliki sistem pemilu dua tingkatan. Seperti di Amerika Serikat, Prancis, Jerman, Kanada, Jerman, Jepang dan India.

 

"Setelah pemilu nasional, maka (digelar) pemilihan wali kota dan pemilihan legislatif tingkat lokal atau tingkat mayor," demikian Patrice Rio Capella.

 

NasDem: Putusan MK Melanggar Konstitusi

 

Sebelumnya anggota Majelis Tinggi Partai Nasdem Lestari Moerdijat membeberkan sejumlah alasan mereka menolak putusan MK tersebut. Misalnya, pihaknya menyatakan pemilihan anggota DPRD dan Kepala Daerah yang merupakan bagian dari rezim pemilu harus dilakukan setiap lima tahun.

 

"Penegasan DPRD sebagai rezim pemilu dijelaskan dalam Pasal 22E UUD 1945, sedangkan pilkada sebagai rezim pemilu ditegaskan dalam Putusan MK 95/2022, sehingga secara konstitusional, pemilu harus dilaksanakan setiap 5 tahun sekali dan terlepas dari waktu pemilihan yang berbeda,” kata Lestari.

 

Lebih lanjut menurut Lestari, pelaksanaan putusan MK dapat mengakibatkan krisis konstitusional, bahkan kebuntuan atau deadlock constitutional. Sebab, apabila putusan MK dilaksanakan justru dapat mengakibatkan pelanggaran konstitusi.

 

Dia mencontohkan, Pasal 22E UUD 1945 telah menyatakan pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Ketika setelah lima tahun periode DPRD tidak dilakukan pemilu, terjadi pelanggaran konstitusional.

 

Jika dilakukan perpanjangan masa jabatan anggota DPRD, bagi Nasdem hal itu akan menempatkan para anggota DPRD tersebut bertugas dan menjabat tanpa landasan demokratis. Padahal, jabatan anggota DPRD adalah jabatan politis yang hanya dapat dijalankan berdasarkan hasil pemilu sebagaimana pasal 22E UUD 1945.

 

"Artinya berdasarkan konstitusi, tidak ada jalan lain selain pemilu yang dapat memberikan legitimasi seseorang menjadi anggota DPRD. Menjalankan tugas perwakilan rakyat tanpa mendapatkan legitimasi dari rakyat melalui pemilu adalah inkonstitusional," ungkap Lestari.

 

MK Serahkan Pengaturan Masa Transisi DPRD dan Kepala Daerah ke DPR

 

MK sendiri menyerahkan kepada DPR sebagai pembentuk UU terkait pengaturan masa transisi/peralihan masa jabatan kepala daerah/wakil kepala daerah hasil pemilihan pada tanggal 27 November 2024, serta masa jabatan anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota hasil pemilihan pada tanggal 14 Februari 2024.

 

"Mahkamah mempertimbangkan bahwa penentuan dan perumusan masa transisi ini merupakan kewenangan pembentuk undang-undang," kata hakim MK Saldi Isra saat membacakan putusan pada Kamis pekan lalu.

 

MK mengusulkan penentuan dan perumusan dimaksud diatur oleh pembentuk undang-undang dengan melakukan rekayasa konstitusional (constitutional engineering). Hal ini berkenaan dengan masa jabatan anggota DPRD termasuk masa kepala daedah/kepala daerah sesuai prinsip perumusan norma peralihan atau transisional.rajamedia

Komentar: