Masa Depan Ombudsman Kita

RAJAMEDIA.CO - MASA jabatan para anggota Ombudsman Republik Indonesia akan segera berakhir. Di tengah dinamika transisi ini, sebuah momentum penting terbuka lebar: proses seleksi komisioner baru tengah berlangsung, dipimpin oleh Panitia Seleksi yang diketuai Prof. Erwan Agus Purwanto, bersama empat tokoh nasional lainnya, yakni Prof. Ma’mun Murod, Munafrizal Manan, Ahmad Suaedy dan Ida Budhiati.
Namun, kali ini bukan semata pergantian wajah. Ada panggilan zaman yang lebih besar dari sekadar serah terima jabatan. Inilah saat yang tepat untuk mendefinisikan ulang arah masa depan Ombudsman, tak hanya sebagai meja pengaduan, melainkan sebagai mercusuar keadilan administratif dan penjaga marwah pelayanan publik.
Sebagai warga negara yang peduli terhadap keadilan sosial dan integritas layanan publik, saya meyakini bahwa pelayanan yang bersih, adil, dan transparan adalah hak rakyat, bukan anugerah birokrasi.
Hal ini yang menjadi motif moral dan intelektual saya mengikuti seleksi calon anggota Ombudsman. Saya ingin berkontribusi mendorong transformasi Ombudsman sebagai lembaga yang lebih progresif, tajam, dan berdampak nyata dalam kehidupan publik Indonesia.
Selama ini, banyak yang mengenal Ombudsman sebagai lembaga penindaklanjut aduan masyarakat. Itu penting, tapi tidak cukup. Untuk menjadi lembaga yang disegani, Ombudsman harus naik kelas, dari lembaga reaktif menjadi proaktif, dari hilir ke hulu. Artinya, Ombudsman perlu memperkuat peran dalam pengawasan kebijakan, bukan hanya penyelesaian laporan.
Pasal 7 UU No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman menyebutkan bahwa tugas lembaga ini mencakup: menerima laporan, melakukan investigasi, hingga menyarankan penyempurnaan kebijakan. Potensi strategis ini belum dioptimalkan. Dan kini saatnya diperkuat.
Dari Data, Riset, hingga Digitalisasi
Data Ombudsman tahun 2024 mencatat lonjakan aduan publik hingga 10.846 laporan, meningkat 28% dari tahun sebelumnya (8.452). Ini bukan hanya angka statistik, ini ledakan kepercayaan sekaligus sinyal krisis. Publik berharap pada Ombudsman, tetapi juga menunjukkan bahwa kualitas pelayanan publik kita masih rentan dan kronis.
Bidang yang paling banyak dilaporkan adalah agraria/pertanahan (17,17%), kepegawaian (12,45%), pendidikan (9,56%), perhubungan (6,68%), dan hak sipil-politik (6,31%). Pemerintah daerah menduduki peringkat teratas sebagai instansi terlapor (45,88%), diikuti Kementerian ATR/BPN (11,59%) dan BUMN/BUMD (6,2%).
Jenis maladministrasi yang dominan adalah penundaan berlarut (33,86%), tidak memberikan layanan (30,31%) dan penyimpangan prosedur (20,61%). Ini potret tentang birokrasi yang tidak hanya lamban, tapi juga acuh tak acuh terhadap tanggung jawab publiknya.
Untuk itu, Ombudsman masa depan harus bertumpu pada kekuatan riset. Tanpa data, pengawasan adalah opini. Tanpa riset, rekomendasi hanyalah retorika. Perlu dibangun ekosistem intelektual dalam tubuh Ombudsman—yang melibatkan Indeks Kepuasan Publik, pemetaan sistemik maladministrasi, serta kolaborasi strategis dengan perguruan tinggi dan lembaga riset. Ini sesuai amanat UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, khususnya Pasal 4 tentang asas atau prinsip penyelenggaraan pelayanan yang terbuka, akuntabel, cepat, tepat, mudah, terjangkau dan partisipatif.
Digitalisasi menjadi keniscayaan, bukan sekadar gaya hidup teknologi. Tahun 2024 mencatat bahwa laporan paling banyak diterima melalui program On The Spot (22,9%), disusul WhatsApp (20,5%) dan pengaduan langsung (20,15%). Ini membuktikan bahwa masyarakat ingin proses yang cepat, sederhana, dan real-time. Ombudsman tidak bisa lagi sekadar menunggu laporan datang, ia harus menjadi platform aktif pengawasan digital.
Penting dikembangkan aplikasi pengaduan berbasis AI, dashboard transparansi layanan, serta sistem deteksi otomatis terhadap potensi maladministrasi. Dunia bergerak cepat, Ombudsman tak boleh berjalan lambat.
Membangun Taring, Etos, dan Harapan
Selama 2024, hanya 5 rekomendasi yang diterbitkan Ombudsman. Dari jumlah itu, hanya satu yang sepenuhnya dilaksanakan. Ini bukan sekadar soal kuantitas, tapi tentang kualitas daya paksa. Rekomendasi yang tak dipatuhi adalah sinyal bahwa lembaga ini perlu diperkuat secara hukum.
Revisi UU No. 37 Tahun 2008 menjadi krusial. Ombudsman perlu kewenangan progresif untuk menjatuhkan sanksi administratif, mengumumkan pejabat tak patuh secara terbuka, hingga merekomendasikan pencopotan jabatan. Rekomendasi yang tumpul akan membuat kepercayaan publik tumpas.
Sinergi dengan lembaga lain seperti KPK, Kepolisian, Kejaksaan, dan KemenpanRB harus diarahkan pada koordinasi bermoral, bukan rebutan panggung. Tujuannya jelas: menciptakan ekosistem pengawasan yang berdaya gigit dan beretika.
Lebih dari itu, budaya internal Ombudsman harus diperkuat. Lembaga ini membutuhkan insan-insan yang bekerja dengan nurani, bukan hanya sekadar memenuhi kewajiban struktural. Yang berani, jernih, dan peka terhadap jeritan publik kecil. Etos pelayanan publik bukan sekadar teknis administratif, ia adalah panggilan moral. Ombudsman masa depan adalah lembaga yang bukan hanya menyelesaikan laporan, tapi menyalakan kesadaran. Ia bukan hanya kantor negara, tapi napas harapan dalam denyut keadilan.
Menyulut Harapan, Menyongsong Perubahan
Penulis percaya bahwa menjadi anggota Ombudsman RI bukan sekadar jabatan, melainkan amanat konstitusional dan tanggung jawab moral. Ini adalah medan pengabdian yang tidak hanya menuntut kecakapan, tetapi juga keteguhan nurani. Kita harus sama-sama berdiri di garda depan perubahan. Menjaga integritas pelayanan. Menyuarakan suara yang kerap tenggelam. Menjadi bagian dari lembaga yang tidak hanya bekerja, tapi benar-benar bermakna.
Biarkan sejarah mencatat: ketika pelayanan publik diragukan, ketika keadilan administratif terluka, ada satu lembaga yang tetap tegak, terang, dan berdampak. Namanya: Ombudsman Republik Indonesia.
Penulis: Direktur Badan Riset dan Inovasi Mathla’ul Anwar (BRIMA), Calon Anggota Ombudsman Republik Indonesia 2026–2031*
Politik | 6 hari yang lalu
Keamanan | 5 hari yang lalu
Nasional | 5 hari yang lalu
Ekbis | 6 hari yang lalu
Parlemen | 6 hari yang lalu
Politik | 6 hari yang lalu
Parlemen | 5 hari yang lalu
Politik | 5 hari yang lalu
Hukum | 5 hari yang lalu