Politik

Info Haji

Parlemen

Hukum

Ekbis

Nasional

Peristiwa

Galeri

Otomotif

Olahraga

Opini

Daerah

Dunia

Keamanan

Pendidikan

Kesehatan

Gaya Hidup

Calon Dewan

Indeks

Ikhtiar Menjadikan Sidrap dari Lumbung Pangan menuju Lumbung Ulama

Oleh: Haidir Fitra Siagian
Senin, 15 September 2025 | 20:17 WIB
Ribuan santri dari Pesantren Muhammadiyah dan Aisyiyah se-Sulsel mengikuti karnaval akbar yang menjadi rangkaian Kemah Tahfidz dan Bahasa VIII di Sidrap kemarin, Ahad (14/9/2025).
Ribuan santri dari Pesantren Muhammadiyah dan Aisyiyah se-Sulsel mengikuti karnaval akbar yang menjadi rangkaian Kemah Tahfidz dan Bahasa VIII di Sidrap kemarin, Ahad (14/9/2025).

RAJAMEDIA.CO - Selama ini Kabupaten Sidenreng Rappang (Sidrap) dikenal luas sebagai lumbung pangan Sulawesi Selatan. Kabupaten ini menjadi penyumbang utama beras dan telur bagi kebutuhan daerah lain di Sulawesi Selatan. Namun kini muncul gagasan baru yang cukup menarik perhatian. Seorang bupati yang lahir dari kader Muhammadiyah ingin agar Sidrap tidak hanya dikenal sebagai lumbung beras dan telur, tetapi juga sebagai "lumbung ulama".


Gagasan ini ia sampaikan secara terbuka di hadapan ribuan warga Muhammadiyah, aparat pemerintah, tokoh masyarakat, dan santri pesantren se-Sulawesi Selatan dalam pembukaan Kemah Tahfidz dan Bahasa VIII Pesantren Muhammadiyah/Aisyiyah yang digelar pada 13 September 2025 di halaman Masjid Agung Sidrap.


Sebagai Ketua Panitia Wilayah kegiatan ini, saya betul-betul menikmati gagasan mantan Sekretaris Jenderal Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah ini. Pernyataan itu bukan hanya sebuah ide, melainkan juga visi besar tentang bagaimana Sidrap bisa dikenal sebagai pusat lahirnya ulama, sebagaimana ketika selama ini dikenal sebagai pusat pangan.


"Lumbung ulama" sendiri adalah ungkapan metaforis yang menarik. Kata lumbung dalam bahasa Indonesia lumrahnya diartikan sebagai tempat menyimpan hasil panen, terutama padi. Jika dikaitkan dengan ulama, frasa ini menggambarkan suatu daerah, organisasi, atau komunitas yang melahirkan, menampung, atau memiliki banyak ulama. Sebagaimana padi di lumbung menjadi sumber kehidupan, ulama yang lahir dari sebuah daerah dianggap sebagai "hasil panen berharga" yang menjadi penuntun moral dan spiritual bagi masyarakat.


Sejarah menunjukkan bahwa Sidrap memang memiliki tradisi keulamaan yang cukup penting. Dari Bumi Nene Mallomo ini, lahir sejumlah tokoh besar yang memberi warna bagi Islam di Indonesia. Salah satunya adalah Prof. M. Quraish Shihab, pakar tafsir Al-Qur’an yang dikenal melalui karya monumentalnya Tafsir Al-Mishbah, sekaligus pernah menjabat Menteri Agama RI.


Selain itu ada pula Syekh Ali Mathar, ulama karismatik Rappang yang aktif dalam pendidikan Islam dan kegiatan sosial pada awal abad ke-20. Tokoh lain yang juga berpengaruh adalah KH. Abd Muin Yusuf, yang dikenal luas di kalangan pesantren Sidrap, serta Syekh Bojo (Syekh Abdul Rahman), ulama awal penyebar Islam di Sidrap. Jejak keilmuan mereka menunjukkan bahwa Sidrap punya modal sejarah untuk benar-benar menjadi lumbung ulama.


Selain itu, ada juga ulama terkenal di Sulawesi Selatan yang berlatar belakang Muhammadiyah. Yakni K.H. Nasruddin Razak, dosen mata kuliah Agama Islam Universitas Hasanuddin dan mantan Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sulawesi Selatan (2020). Kemudian KH. Abd. Jabbar Asyiri, mantan pimpinan Pondok Pesantren Darul Arqam Gombara Makassar (1980).


Ada juga Prof. Dr. H. Ambo Asse, M.Ag., mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Makassar sekaligus Guru Besar Fakultas Syariah dan Hukum UIN Alauddin Makassar yang kini masih menjabat sebagai Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sulawesi Selatan. Kehadiran mereka menegaskan bahwa kultur keilmuan dan tradisi ulama di Sidrap, khususnya yang bersentuhan dengan Muhammadiyah, memang sangat kuat dan berakar.


Apa yang dilakukan oleh Bupati Syaharuddin Alrif ini menjadi menarik karena beberapa alasan. Pertama, biasanya seorang bupati membuat program yang terkait dengan upaya meningkatkan pendapatan daerah atau membangun sesuatu yang bisa dilihat langsung hasilnya, seperti jalan, jembatan, pintu gerbang, patung, gedung perkantoran, maupun fasilitas publik lain.


Tidak sedikit juga yang membuat gerakan salat berjamaah atau membangun masjid besar serta Islamic Centre. Tetapi menjadikan program untuk melahirkan ulama adalah hal yang sangat jarang ditemui.


Kedua, Bupati Syaharuddin Alrif dikenal sebagai politisi dari partai yang berbasis nasionalis dan demokratis, bukan partai berbasis agama Islam. Program lumbung ulama jelas berkaitan dengan agama Islam. Di tengah kenyataan bahwa jarang sekali politisi berbasis agama sekalipun membuat program seperti ini, langkah seorang politisi nasionalis mengusung gagasan tersebut tentu mengandung makna tersendiri.


Ketiga, di tengah kecenderungan kepala daerah lebih memilih program pembangunan fisik atau peningkatan pendapatan daerah yang hasilnya cepat terlihat, gagasan menjadikan Sidrap sebagai lumbung ulama adalah sebuah keputusan politik yang berani. Program ini menunjukkan visi seorang bupati yang tidak hanya berpikir jangka pendek, tetapi berorientasi pada pembangunan manusia dan warisan spiritual. Hal ini bisa menjadi legacy politik yang berbeda dari kebanyakan pemimpin daerah lainnya.


Dari aspek komunikasi politik, gagasan ini memiliki nilai yang sangat positif. Pertama, ia menempatkan pembangunan rohani dan spiritual sebagai bagian penting dari visi pembangunan daerah. Kedua, gagasan ini mampu menjembatani kepentingan agama Islam dengan pembangunan daerah yang biasanya diukur dengan capaian ekonomi. Ketiga, gagasan ini menumbuhkan optimisme bahwa politik tidak melulu soal perebutan kekuasaan, tetapi bisa juga menjadi ruang untuk melahirkan warisan kebaikan yang lebih luas.


Tentu kita berharap program ini bukan sekadar wacana, tetapi betul-betul diimplementasikan dengan langkah konkret. Sejak dini, sudah mesti ada program terukur yang diarahkan untuk mencapai niat tersebut. Termasuk melibatkan kalangan aktivis Islam, akademisi, dan dunia perguruan tinggi untuk merancang dan membuat naskah akademiknya. Kehadiran ulama di tengah masyarakat bukan hanya simbol, tetapi kebutuhan nyata. Ulama adalah pengawal moral, penyampai nilai-nilai agama Islam, sekaligus sebagai bagian dari opinion leader  yang sering kali lebih didengar daripada pejabat formal.


Sering kita mendengar pemimpin membuat janji besar, tetapi kemudian hilang ditelan bumi tanpa jejak. Karena itu, program lumbung ulama di Sidrap harus menjadi pengecualian. Jika terwujud, ia bukan hanya memberi manfaat bagi masyarakat Sidrap, tetapi juga bagi Sulawesi Selatan dan bahkan Indonesia. Kehadiran ulama yang lahir dari Sidrap akan menjadi bagian penting dari pembangunan bangsa, tidak hanya dari sisi fisik dan ekonomi, tetapi juga dari sisi moral dan spiritual.


Haidir Fitra Siagian
Dosen Komunikasi Politik Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Alauddin Makassarrajamedia

Komentar: