Politik

Info Haji

Parlemen

Hukum

Ekbis

Nasional

Peristiwa

Galeri

Otomotif

Olahraga

Opini

Daerah

Dunia

Keamanan

Pendidikan

Kesehatan

Gaya Hidup

Calon Dewan

Indeks

Haedar Nashir: Islam Berada di Tengah, Diantara Kiri-Sosialisme dan Kanan-Kapitalisme

Laporan: Tim Redaksi
Sabtu, 13 Mei 2023 | 22:34 WIB
Ketua Umum PP Muhmammadiyah, Haedar Nashir dalam acara Dialog Ideopolitor di UNISA, Sabtu (13/5). (Foto: Dok. Muhammadiyah.or.id)
Ketua Umum PP Muhmammadiyah, Haedar Nashir dalam acara Dialog Ideopolitor di UNISA, Sabtu (13/5). (Foto: Dok. Muhammadiyah.or.id)

RAJAMEDIA.CO - Yogyakarta - Ideologi-ideologi besar di dunia mati bergelimpangan, dari banyaknya ideologi tersebut yang masih hidup yaitu ideologi kapitalisme dan liberalisme.

Menurut Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir, terhadap sosialistik maupun kapitalistik terdapat benturan, Islam berada di antara sosialisme dan kapitalisme.

"Islam itu eklektik atau jalan tengah, tapi tidak betul-betul lurus di tengah karena linier, jadi kanan-kiri dinamis,” terang Haedar dalam acara Dialog Ideopolitor di UNISA, Sabtu (13/5) .

Dalam pandangan Haedar, termasuk Al Ma’un merupakan titik temu antara si kaya dan si miskin. Guru Besar Sosiologi ini menegaskan bahwa Teologi Al Ma’un tidak pro dhuafa’-mustadh’afin dan anti aghnia.

"Tetapi merupakan titik temu menjadi wasilah antara aghnia dan dhuafa, lewat sebuah praksis gerakan," ujarnya

Menurut Haedar, Teologi Al Ma’un ang dipraktikkan oleh dr. Soetomo yang mengandung cinta kasih- welas asih. Ajaran itu melintas bagi siapapun. Memihak yang lemah namun tidak serta Kerta anti kepada yang kuat.

Sosialisme Islam, imbuh Haedar, juga pernah disinggung oleh KH. Ahmad Dahlan dalam 17 Pokok Ajaran Islam.

Namun Haedar menyayangkan, karena setelah itu tidak ada yang menulis kapitalisme Islam.

"Cuman setelah itu, jarang yang menulis tentang kapitalisme Islam. Mestinya ada juga, tentang bagaimana dimensi kapitalistik Islam itu. Sementara di umat Islam sudah terlanjur pro dhuafa dan anti orang kaya,” ujarnya.

Ketimpangan tersebut menjadikan Agama Islam sebagai alasan menolak kemapanan. Dan itu berpengaruh pada kehidupan politik juga, aura tersebut merambat pada anti orang sukses dan anti kekuasaan. Padahal di saat yang sama, berkeinginan memberdayakan kaum Dhuafa’ - Mustadh’afin.

“Beruntungnya Muhammadiyah memiliki kemampuan mentransmisikan ajaran Islam dalam institusi sekolah, perguruan tinggi dan organisasi gerakan perempuan,” ujarnya.

Bahkan kata Haedar ‘Aisyiyah sebagai gerakan perempuan Islam genuin Muhammadiyah melampaui teori-teori gender.

"‘Aisyiyah sebagai karya Kiai Dahlan yang mengangkat dirinya menjadi Pahlawan Nasional, yang berhasil menyetarakan peran laki-laki dan perempuan tanpa diskriminasi," demikian tutup Haedar seperti dilansir dari laman muhammadiyah.or.id.rajamedia

Komentar: