Politik

Info Haji

Parlemen

Hukum

Ekbis

Nasional

Peristiwa

Galeri

Otomotif

Olahraga

Opini

Daerah

Dunia

Keamanan

Pendidikan

Kesehatan

Gaya Hidup

Calon Dewan

Indeks

Fatwa MUI: Sembako dan Bangunan Hunian Tak Layak Dikenakan Pajak Berulang

Laporan: Zulhidayat Siregar
Senin, 24 November 2025 | 11:50 WIB
Ketua Komisi Fatwa SC Munas XI MUI Prof KH Asrorun Ni'am Sholeh (tengah) - Foto: Humas MUI -
Ketua Komisi Fatwa SC Munas XI MUI Prof KH Asrorun Ni'am Sholeh (tengah) - Foto: Humas MUI -

RAJAMEDIA.CO - Jakarta, MUI - Salah satu fatwa yang dihasilkan dalam Musyawarah Nasional (Munas) XI Majelis Ulama Indonesia (MUI) kemarin adalah terkait pajak berkeadilan.


Ketua Komisi Fatwa SC Munas XI MUI Prof KH Asrorun Ni'am Sholeh menjelaskan objek pajak hanya dikenakan terhadap harta yang potensial untuk diproduktifkan dan atau merupakan kebutuhan sekunder dan tersier (hajiyat dan tahsiniyat). 


Karena itu bahan-bahan konsumtif yang menjadi kebutuhan primer seperti sembako tidak boleh dikenakan pajak, sementara bumi dan bangunan yang dihuni tak layak dikenakan pajak berulang.


"Jadi pungutan pajak terhadap sesuatu yang jadi kebutuhan pokok, seperti sembako, dan rumah serta bumi yang kita huni, itu tidak mencerminkan keadilan serta tujuan pajak," kata Prof Ni'am ini di sela-sela Munas XI MUI di Hotel Mercure Ancol, Jakarta Utara, tadi malam (Minggu, 23/11/2025), seperti dilansir laman resmi MUI.


Lebih jauh, Guru Besar Bidang Ilmu Fikih UIN Jakarta ini menjelaskan, pada hakikatnya pajak hanya dikenakan kepada warga negara yang memiliki kemampuan secara finansial.


"Kalau analog dengan kewajiban zakat, kemampuan finansial itu secara syariat minimal setara dengan nishab zakat mal yaitu 85 gram emas. Ini bisa jadi batas PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak)," ujarnya.


MUI menetapkan fatwa Pajak Berkeadilan ini sebagai tanggapan hukum Islam tentang masalah sosial yang muncul akibat adanya kenaikan PBB yang dinilai tidak adil.


"Sehingga meresahkan masyarakat. Fatwa ini diharapkan jadi solusi untuk perbaikan regulasi," tandas Pengasuh Pondok Pesantren An-Nahdlah, Depok, Jawa Barat ini.


Secara lebih lengkap, redaksi fatwa tentang pajak berkeadilan adalah sebagai berikut:


Ketentuan Hukum:


1. Negara wajib dan bertanggung jawab mengelola dan memanfaatkan seluruh kekayaan negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat


2. Dalam hal kekayaan negara tidak cukup untuk membiayai kebutuhan negara untuk  mewujudkan kesejahteraan rakyat maka negara boleh memungut pajak dari rakyat dengan ketentuan sebagai berikut:


a. Pajak penghasilan hanya dikenakan kepada warga negara yang memiliki kemampuan secara finansial yang secara syariat minimal setara dengan nishab zakat mal yaitu 85 gram emas


b. Objek pajak dikenakan hanya kepada harta yang potensial untuk diproduktifkan dan/atau merupakan kebutuhan sekunder dan tersier (hajiyat dan tahsiniyat)


c. Pajak digunakan untuk kepentingan masyarakat yang membutuhkan dan kepentingan publik secara luas


d. Penetapan pajak harus berdasar pada prinsip keadilan


e. Pengelolaan pajak harus amanah dan transparan serta berorientasi pada kemaslahatan umum (‘ammah).


3. Pajak yang dibayarkan oleh wajib pajak, secara syar’i merupakan milik rakyat yang pengelolaannya diamanahkan kepada pemerintah (ulil amri), oleh karena itu pemerintah wajib mengelola harta pajak dengan prinsip amanah yaitu jujur, profesional, transparan, akuntabel dan berkeadilan


4. Barang yang menjadi kebutuhan primer masyarakat (dharuriyat) tidak boleh dibebani pajak secara berulang (double tax)


5. Barang konsumtif yang merupakan kebutuhan primer, khususnya sembako (sembilan bahan pokok), tidak boleh dibebani pajak


6. Bumi dan bangunan yang dihuni (non komersial) tidak boleh dikenakan pajak berulang


7. Warga negara wajib ⁠menaati aturan pajak yang ditetapkan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 2 dan 3


8. Pemungutan pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 2 dan 3 hukumnya haram


9. Zakat yang sudah dibayarkan oleh umat Islam menjadi pengurang kewajiban pajaksebagaimana diatur dalam ketentuan angka 2 dan 3, (zakat sebagai pengurang pajak)


Rekomendasi:


1. Untuk mewujudkan perpajakan yang berkeadilandan berpemerataan maka pembebanan pajak seharusnya disesuaikan dengan kemampuan wajib pajak (ability pay). Oleh karena itu perluadanya peninjauan kembali terhadap beban perpajakan terutama pajak progresif yang nilainya dirasakan terlalu besar


2. Pemerintah harus mengoptimalkan pengelolaan sumber-sumber kekayaan negara dan menindak para mafia pajak dalam rangka untuk sebesar-besar untuk kesejahteraan masyarakat


3. Pemerintah dan DPR berkewajiban mengevaluasi berbagai ketentuan perundang-undangan terkait perpajakan yang tidak berkeadilan dan menjadikan fatwa ini sebagai pedoman


4. Kemendagri dan pemerintah daerah mengevaluasi aturan mengenai pajak bumi dan bangunan, pajak pertambahan nilai (PPn), pajak penghasilan (PPh), Pajak Bumi dan Bangunan(PBB), Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), pajak waris yang seringkali dinaikkan hanya untuk menaikkan pendapatan daerah tanpa mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat


5. Pemerintah wajib mengelola pajak denganamanah dan menjadikan fatwa ini sebagai pedoman


6. Masyarakat perlu mentaati pembayaran pajak yang diwajibkan oleh pemerintah jika digunakan untuk kepentingan kemaslahatan umum (maslahah ‘ammah).

Di samping fatwa tentang Pajak Berkeadilan, Munas MUI XI juga menetapkan empat fatwa lainnya, yaitu Fatwa tentang Kedudukan Rekening Dormant dan Perlakuan Terhadapnya dan Fatwa tentang Pedoman Pengelolaan Sampah di Sungai, Danau, dan Laut, untuk Kemaslahatan.


Dua fatwa lainnya terkait Status Saldo Kartu Uang Elektronik yang Hilang atau Rusak, dan Fatwa tentang Kedudukan Manfaat Produk Asuransi Kematian pada Asuransi Jiwa Syariah.rajamedia

Komentar: