Evakuasi Itu… Relokasi?

RAJAMEDIA.CO - SAYA tercenung ketika Presiden Prabowo menyatakan kesiapan Indonesia untuk mengevakuasi warga sipil Palestina. Seketika, headline media dunia menyorot nama Indonesia. Kata-katanya terdengar mulia: kemanusiaan, solidaritas, penyelamatan.
Sebagai bangsa yang punya sejarah panjang membela Palestina, kita bangga. Tapi kebanggaan itu harus disertai kesadaran. Bahwa dalam politik global, tidak semua yang tampak indah berarti tak berbahaya.
Pertanyaannya sederhana—dan menyakitkan:
Kalau warga Palestina kita evakuasi, ke mana mereka akan kembali?
Karena yang mereka inginkan bukan sekadar bertahan hidup. Mereka ingin pulang. Pulang ke tanah yang selama puluhan tahun mereka perjuangkan. Tanah yang kini digempur, digusur, dan kalau Trump berhasil, mungkin akan dikosongkan total.
_1744484603.jpg)
Foto: Dok ANTARA
Trump dan Mimpi Kosongkan Gaza
Donald Trump kini kembali berkuasa di Amerika Serikat. Lebih frontal dari sebelumnya. Ia sudah bicara blak-blakan: Gaza sebaiknya “dikosongkan”, rakyatnya direlokasi ke Mesir, Yordania, bahkan negara-negara Asia. Ia tidak sendiri. Israel menyambut skenario itu dengan senyum sinis: tanpa perang jangka panjang, Gaza bisa bersih.
Evakuasi dalam kacamata kita adalah penyelamatan sementara. Tapi bagi mereka? Itu bisa jadi tiket pengusiran permanen.
Kalau kita ikut memfasilitasi, walau dengan niat kemanusiaan, apa kita tidak sedang membantu agenda mereka?
Evakuasi Bisa Menjadi Senjata Halus
Di sinilah dilema Indonesia. Kita ingin menolong. Tapi kita juga tidak ingin menjadi alat. Tidak semua yang dibungkus “kemanusiaan” bebas dari muatan geopolitik.
Saya yakin, Presiden Prabowo tidak sedang bermain-main. Ia punya niat tulus. Tapi niat saja tidak cukup dalam dunia yang penuh jebakan. Kemanusiaan bisa jadi senjata halus. Evakuasi bisa jadi bungkus diplomatik dari relokasi paksa. Dan itu bukan sekadar wacana.
Saya teringat UUD 1945. Tepatnya Pembukaan alinea pertama:
“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, penjajahan di atas dunia harus dihapuskan…”
Kalimat itu bukan hanya puisi. Itu prinsip. Kompas moral kita dalam hubungan internasional. Kita tidak bisa menghapus penderitaan rakyat Palestina hanya dengan memindahkan mereka dari rumahnya.
Hak Pulang, Bukan Sekadar Bertahan Hidup
Pengungsian bukan kemerdekaan.
Evakuasi tanpa kepastian pulang, adalah relokasi.
Dan relokasi, bila dipaksakan oleh situasi, adalah bentuk baru dari penjajahan.
Presiden Prabowo tentu tahu itu. Ia tidak naif. Ia tidak akan membiarkan Indonesia dicatat sejarah sebagai bagian dari strategi pengusiran massal. Tapi publik harus tetap kritis. Harus terus mengingatkan. Karena sejarah seringkali mencatat bukan hanya apa yang kita lakukan—tapi juga apa yang kita biarkan terjadi.
Saya berharap Indonesia bersikap jelas:
Evakuasi, ya.
Tapi harus ada jalan pulang.
Relokasi permanen? Tidak. Itu bukan Indonesia.
Kita pernah jadi bangsa terjajah. Kita tahu sakitnya kehilangan tanah, rumah, dan martabat. Maka tugas kita bukan hanya menyelamatkan nyawa, tapi juga menjaga harapan: bahwa satu hari nanti, rakyat Palestina bisa kembali, berdiri di tanahnya sendiri, sebagai bangsa merdeka.
Sebab seperti tertulis di konstitusi kita, kemerdekaan adalah hak segala bangsa—termasuk bangsa Palestina.
*Penulis: Pemred Raja Media Network, Ketua DPP PJS, Pengurus Pusat IKALUIN Jakarta
Opini | 4 hari yang lalu
Nasional | 4 hari yang lalu
Politik | 5 hari yang lalu
Ekbis | 6 hari yang lalu
Ekbis | 3 hari yang lalu
Ekbis | 4 hari yang lalu
Olahraga | 5 hari yang lalu
Daerah | 3 hari yang lalu
Parlemen | 6 hari yang lalu