Bencana Khudairy
Raja Media (RM), Disway - KETIKA para eksekutifnya mengatakan Credit Suisse baik-baik saja, air lagi mendidih di balik pintu tertutup bank terbesar kedua di Swiss itu.
Ketika pemerintah Amerika mengeluarkan jaminan keamanan bagi para penabung di dua bank yang bangkrut di AS 9 Maret lalu, pemerintah Swiss panik: apa yang harus dilakukannya ketika Credit Suisse mengalami kesulitan yang serupa.
Menteri Keuangan Swiss Karin Keller-Sutter seorang profesor pendidikan, ahli bahasa dan penerjemahan, sibuk melakukan komunikasi dengan menteri keuangan Amerika Serikat dan Inggris. Hanya lembaga keuangan di dua negara itu yang bisa diharapkan sebagai penyelamat. Lembaga-lembaga keuangan lain di seluruh Eropa dianggap terlalu kecil. Justru mereka yang biasanya mengandalkan bantuan Credit Suisse.
Selama tiga bulan terakhir tanda-tanda kesulitan itu sangat nyata: tercatat dana sebanyak USD 110 miliar ditarik dari bank itu. Lubang itulah yang harus ditutup Credit Suisse. Jangan sampai kepercayaan kepadanya kian runtuh.
Di tengah upaya mempertahankan kepercayaan itu, muncul halilintar dari padang pasir: Bos Saudi National Bank Ammar Al Khudairy membuat pernyataan mematikan. Katanya: pihaknya tidak bisa lagi menggelontorkan dana berikutnya ke Credit Suisse.
Itu diucapkan Rabu lalu. Seperti disiarkan secara dramatis di media di Eropa. Akibatnya fatal: buntut Credit Suisse tidak bisa kopat-kapit lagi.
Rupanya selama itu Saudi diharapkan bisa jadi penyelamat terakhir. Saudi sudah memiliki 10 persen saham di Credit Suisse. Maka diharapkan Saudi akan ikut menjaga nilai sahamnya tersebut.
Tapi Saudi melihat Credit Suisse sudah sulit diselamatkan. Saya bisa merasakan betapa marah penguasa di Swiss: mengapa Saudi membuat pernyataan mematikan itu di tengah upaya pemulihan kepercayaan.
Hari itu saja harga saham Credit Suisse jatuh sedalam 24 persen. Hari berikutnya dana nasabah terus ditarik keluar dari Credit Suisse. Menurut media di New York, seperlima nasabah Credit Suisse adalah dari Timur Tengah. Bahkan lembaga keuangan Qatar juga memiliki saham di Credit Suisse sebanyak 6,8 persen.
Sebenarnya pernyataan Al Khudairy itu normal saja. Ia ditanya media: sebagai pemegang saham terbesar di Credit Suisse, apakah akan menambahkan injeksi modal. Al Khudairy menjawab singkat: absolutely not!
Jawaban itu bukan karena Al Khudairy sudah tidak percaya pada Credit Suisse. Jawaban itu lebih karena hukum di Swiss membuatnya harus mengatakan itu. "Kalau kami memegang lebih 10 persen saham, semua aturan yang berat-berat akan dikenakan kepada kami," katanya.
Jadi jelaslah bahwa Al Khudairy menjawab apa yang harus ia jawab. Di pasar modal memang ada aturan agar tidak ada pemegang saham yang terlalu dominan.
Maka tiga hari setelah bencana Al Khudairy itu, otoritas Swiss memanggil bank terbesar di sana: UBS. Harinya hari Minggu. Tidak ada jalan lain. UBS harus membeli Credit Suisse. Dibantu dana dari pemerintah Swiss. Harga belinya murah sekali: hanya kurang dari 50 persen. Dari harga saham USD 2 di hari Jumat hanya perlu dibeli USD 0,8 di hari Minggu.
Saudi ikut rugi sangat besar. Hari itu ia kehilangan uang sekitar USD 1,2 miliar.
Al Khudairy seorang konglomerat Saudi Arabia. Ia seorang insinyur lulusan George Washington University di DC. Di samping memiliki Saudi National Bank, ia juga menjadi pimpinan banyak sekali lembaga keuangan di Arab, Emirat, Qatar, dan Kuwait. Ia juga punya bisnis gula di Jeddah. Juga perusahaan kontraktor.
Kini Al Khudairy jadi ''tertuduh'' kambing hitam di Swiss. Tapi memang Begitu banyak skandal yang melibatkan Credit Suisse. Termasuk terkait dengan korupsi terbesar di Malaysia yang melibatkan perdana menteri Najib Razak. Begitu sering terjadi pergantian manajemen di bank itu. Dan kini, bank yang berumur 166 tahun itu, berakhir menjadi anak UBS. Atau sekalian akan disatukan ke dalam UBS.
UBS adalah bank terbesar nomor 3 di Eropa, dengan market cap USD 68 miliar.
Di ranking dunia, UBS bank terbesar nomor 33. Sedang Credit Suisse nomor 41.
Bagaimana bank terbesar nomor 41 di dunia bisa rapuh dalam waktu 3 hari.
Belakangan ranking bank terbesar di dunia memang jungkir balik. Nomor 1 sampai nomor 4 dunia kini sudah diduduki bank dari Tiongkok. Nomor 5 dari Jepang (Bank Mitsubishi Group). Nomor 6 baru dari Inggris (HSBC). Nomor 7 dan 8 baru dari Amerika Serikat (JP Morgan dan Bank of America). Sedang 9 dan 10 dari Prancis.
Credit Suisse juga punya anak usaha di Indonesia: Credit Suisse Indonesia. Lengkap dengan lembaga-lembaga keuangannya. Yang kantornya di Sampoerna Stategic di Jalan Jenderal Sudirman Jakarta itu.
Sedang UBS bank di Indonesia berkantor di Gedung PKBI nyaris hanya di seberang Credit Suisse.
Pemerintah Swiss sendiri memilih menyelamatkan Credit Suisse lewat UBS. Daripada membiarkannya bangkrut seperti Silicon Valley Bank di Amerika dua minggu sebelumnya. Itu semata lantaran Swiss ingin menjaga reputasinya di dunia keuangan. Di Amerika masih banyak bank sepeninggal SVB. Tapi Swiss tinggal punya UBS. Padahal nama Swiss identik dengan kepercayaan pada banknya. (Dahlan Iskan)
Info Haji 3 hari yang lalu
Politik | 6 hari yang lalu
Politik | 6 hari yang lalu
Parlemen | 5 hari yang lalu
Nasional | 5 hari yang lalu
Nasional | 5 hari yang lalu
Politik | 6 hari yang lalu
Olahraga | 5 hari yang lalu
Nasional | 5 hari yang lalu
Hukum | 3 hari yang lalu