Pesantren: Mustanir Indonesia

RAJAMEDIA.CO - TRAGEDI robohnya musalla Pondok Pesantren Al-Khoziny Buduran, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, pada 29 September 2025 yang menewaskan sejumlah guru dan santri, menjadi duka mendalam bagi dunia pendidikan Islam.
Peristiwa ini menyadarkan kita bahwa pesantren bukan hanya institusi pendidikan, tetapi juga pusat kehidupan yang melibatkan jutaan jiwa di setiap sudutnya. Musibah itu menyayat, namun sekaligus mengingatkan pentingnya peran pesantren sebagai benteng moral dan sosial yang tidak bisa diabaikan begitu saja.
Sejak awal berdirinya, pesantren tumbuh dari akar swadaya, roan, dan gotong royong masyarakat. Ia tidak dibangun atas ketergantungan subsidi negara, melainkan atas keikhlasan umat dan keteguhan kiai. Dari sinilah lahir sistem pendidikan khas Nusantara yang tidak hanya menekankan ilmu pengetahuan agama, tetapi juga menumbuhkan kemandirian, kedisiplinan, serta nilai-nilai kebersamaan. Tanpa jihad kiai dan santri, misi “mencerdaskan kehidupan bangsa” sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 hanyalah isapan jempol belaka.
Merawat Pesantren: Mustanir Indonesia
Pesantren merupakan lembaga pendidikan mandiri yang tumbuh dari kekuatan masyarakat. Tidak ada dana APBN yang menopang kehidupannya secara penuh, melainkan gotong royong, kedermawanan umat, dan keikhlasan para kiai.
Dari kesederhanaan pondok, disiplin ibadah, dan kehidupan berasrama, pesantren melahirkan generasi santri yang berakhlak, berilmu, dan siap mengabdi. Itulah yang menjadikan pesantren disebut sebagai mustanir Indonesia—penerang yang menyinari kegelapan keterbatasan bangsa.
Data Kementerian Agama (Kemenag) periode 2024/2025 mencatat jumlah pesantren mencapai 42.433 unit yang tersebar di seluruh provinsi Indonesia. Semuanya berstatus swasta dan mandiri, tanpa ketergantungan pada subsidi negara. Jumlah tersebut jauh melampaui sekolah negeri setingkat menengah. SMA Negeri hanya berjumlah 7.113 unit, dan SMP Negeri 23.610 unit. Bila dijumlahkan, total SMP dan SMA Negeri di seluruh Indonesia masih lebih sedikit dibanding jumlah pesantren yang pada umumnya menyelenggarakan pendidikan MTs-MA atau setara SMP-SMA swasta. Fakta ini menegaskan peran dominan pesantren dalam peta pendidikan nasional.
Pesantren bukan sekadar tempat belajar agama, melainkan juga pusat pemerataan akses pendidikan. Di pedesaan yang minim sekolah negeri, pesantren hadir memberi ruang belajar bagi anak-anak dari keluarga sederhana. Ia menjadi jembatan harapan, bukan hanya untuk memahami Al-Qur’an dan kitab kuning, tetapi juga untuk mengenyam pendidikan formal. Dari titik ini, pesantren membuktikan dirinya sebagai mustanir yang menerangi jalan pendidikan rakyat kecil.
Lebih dari itu, pesantren turut membangun kemandirian ekonomi. Banyak pesantren yang mengembangkan pertanian, koperasi, usaha kecil, hingga unit produksi sederhana. Semua ini bukan hanya menopang kehidupan pondok, tetapi juga memberdayakan masyarakat sekitar. Kemandirian ekonomi tersebut melatih santri untuk hidup berdikari, menanamkan etos kerja, serta membiasakan tanggung jawab sosial. Pesantren dengan demikian hadir sebagai mustanir yang mengajarkan bangsa arti hidup sederhana namun bermartabat.
Dengan jumlah yang besar, persebaran yang luas, serta kontribusi di bidang pendidikan dan ekonomi, pesantren jelas bukan beban negara, melainkan pilar bangsa. Pesantren adalah bukti bahwa masyarakat mampu membangun peradaban pendidikan tanpa harus menunggu intervensi pemerintah. Dari sinilah pesantren menjadi mustanir yang menyinari Indonesia dengan ilmu, amal, dan akhlak mulia.
Penutup
Sayangnya, masih ada pihak yang meremehkan kualitas SDM kiai dan pondok pesantren, bahkan melabelinya tidak setara dengan guru sekolah formal. Anggapan semacam ini jelas keliru, sebab pesantren sejak lama telah menopang bangsa, bahkan ketika negara belum sepenuhnya hadir dalam bidang pendidikan.
Meragukan kapasitas pesantren sama saja dengan meragukan denyut nadi pendidikan Indonesia itu sendiri.
Tragedi Al-Khoziny menjadi alarm penting agar pemerintah tidak hanya menghitung jumlah pesantren, tetapi juga memperhatikan infrastruktur, keselamatan, dan tata kelola pondok. Negara perlu hadir bukan untuk mengintervensi ruh pendidikan khas pesantren, melainkan memastikan keamanan dan keberlangsungan santri.
Dengan dukungan regulasi yang tepat, standarisasi bangunan yang aman, serta insentif bagi pesantren mandiri, peran pesantren sebagai mustanir—cahaya penerang bangsa—akan semakin kokoh dalam mencerdaskan kehidupan Indonesia.
Penulis: adalah Dekan FKIP UNTIRTA*
Peristiwa | 3 hari yang lalu
Hukum | 3 hari yang lalu
Hukum | 5 hari yang lalu
Ekbis | 1 hari yang lalu
Hukum | 2 hari yang lalu
Politik | 6 hari yang lalu
Olahraga | 4 hari yang lalu
Daerah | 5 hari yang lalu
Olahraga | 6 hari yang lalu