PAN Angkat Bicara Soal Wacana Koalisi Permanen: Bisa Jadi 'Senjata Makan Tuan' untuk Presiden!
RAJAMEDIA.CO - Jakarta, Polkam - Wakil Ketua Umum PAN Viva Yoga Mauladi mengingatkan adanya dilema dan risiko politik dalam wacana pembentukan koalisi permanen.
Menurutnya, skema tersebut berpotensi membuat presiden terpilih di masa depan "tersandera" jika hanya didukung kekuatan minoritas di parlemen.
Viva menyampaikan, potensi instabilitas akan muncul jika pasangan calon presiden-wakil presiden (paslon) yang menang hanya diusung partai dengan kursi minoritas di DPR. Relasi antara eksekutif dan legislatif disebutnya akan penuh tensi.
"Besar kemungkinan presiden terpilih akan mengalami sandera politik oleh DPR karena hanya memiliki kekuatan minoritas. Jika hal itu terjadi maka pemerintah tidak akan dapat bekerja maksimal," tegas Viva dalam keterangannya, dikutip Senin (8/12/2025).
Asumsi tersebut, lanjutnya, tidak berlaku jika presiden terpilih mendapat dukungan mayoritas parlemen. Namun, sejarah politik Indonesia menunjukkan bahwa setiap presiden akan berusaha membangun kekuatan mayoritas itu.
"Apalagi Mahkamah Konstitusi sudah memutuskan presidential threshold sudah tidak ada lagi, maka prediksi di pilpres 2029 akan memunculkan banyak paslon," ungkapnya.
Satu Pemikiran dengan Golkar, Asal...
Viva menyebut pernyataan Ketua Umum Golkar, Bahlil Lahadalia, yang mengusulkan koalisi permanen patut diapresiasi. Namun, ia menegaskan bahwa konsep itu harus diatur secara jelas dalam undang-undang.
"Jika koalisi permanen menjadi keputusan politik seluruh partai, maka harus masuk di pasal di UU Pemilu. Jika itu terjadi, maka PAN satu pemikiran dengan Golkar," jelas politikus yang pernah dua kali menjadi anggota Panitia Khusus (Pansus) RUU Pemilu ini.
Ia mengajak semua pihak menunggu proses revisi UU Pemilu yang akan mengodifikasi tiga undang-undang terkait pemilu.
Ingatkan Hak Prerogatif Presiden
Di sisi lain, Viva juga mengingatkan tentang hak prerogatif presiden yang dijamin konstitusi. Ia merujuk pada UUD 1945 Pasal 17 yang menyatakan menteri diangkat dan diberhentikan oleh presiden.
"Jadi, penyusunan kabinet itu menjadi Hak Prerogatif presiden terpilih sebagai fungsi konstitusional. Tidak ada kewajiban konstitusional bagi presiden untuk meminta persetujuan DPR dalam mengangkat menteri," tukasnya.
Pernyataannya ini menegaskan bahwa dalam sistem saat ini, presiden memiliki kebebasan penuh dalam membentuk kabinet, terlepas dari dukungan koalisi yang membawanya menang. Wacana koalisi permanen dinilainya perlu dikaji mendalam agar tidak justru membatasi ruang gerak presiden yang dipilih langsung oleh rakyat.![]()
Dunia 6 hari yang lalu
Daerah | 6 hari yang lalu
Pendidikan | 5 hari yang lalu
Nasional | 5 hari yang lalu
Daerah | 6 hari yang lalu
Parlemen | 6 hari yang lalu
Nasional | 4 hari yang lalu
Nasional | 5 hari yang lalu
Ekbis | 5 hari yang lalu
Olahraga | 2 hari yang lalu