Jangan Sampai Lupa!
Seri - 9

RAJAMEDIA.CO - SEPERTI biasa. Masjid penuh.
Ini Ramadan. Semua orang tiba-tiba rajin ke masjid. Parkiran penuh. Sandal berserakan. Bahkan, karpet masjid harus ditambah.
Malam pertama tarawih? Masjid sampai meluber ke teras. Semangat luar biasa.
Tapi sayangnya, hanya untuk tarawih.
Subuh? Tinggal separuh. Dzuhur? Separuh dari separuh. Asar? Bisa dihitung jari.
Ini fenomena klasik. Seolah-olah tarawih lebih penting dari salat lima waktu.
Padahal, Rasulullah SAW jelas mengatakan: "Salat yang paling dicintai Allah adalah salat wajib yang dikerjakan tepat waktu."
Bahkan, sebelum masuk Islam pun kita sudah tahu, salat itu tiang agama. Yang pertama kali dihisab di akhirat nanti.
Tapi entah kenapa, banyak orang lebih semangat mengejar yang sunnah, tapi lalai pada yang wajib.
Bukan Hanya Soal Ibadah, Tapi Juga Mentalitas Bangsa
Kebiasaan ini bukan cuma soal ibadah. Tapi juga mentalitas.
Lihat saja kondisi bangsa ini. Kita sering sibuk mengejar hal-hal seremonial, tapi lalai pada hal-hal fundamental.
Kita sibuk membangun proyek besar-besaran, tapi sering lupa memperbaiki moralitas bangsa.
Kita rajin bicara soal revolusi mental, tapi masih banyak korupsi di mana-mana.
Gus Dur pernah berkata:
"Yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan."
Tapi sayangnya, politik kita justru sering menjauhkan kita dari nilai-nilai kemanusiaan.
Bung Hatta juga pernah mengingatkan:
"Kurang cerdas bisa diperbaiki dengan belajar, kurang cakap bisa diatasi dengan pengalaman, tapi jika kurang jujur, itu sulit diperbaiki."
Dan kenyataannya?
Banyak pejabat kita yang pendidikannya tinggi, jabatannya tinggi, tapi kejujurannya rendah.
Jaga yang Wajib, Baru Kejar yang Sunnah
Bulan Ramadan harusnya menjadi momentum untuk memperbaiki semua ini. Bukan hanya ibadah personal, tapi juga karakter bangsa.
Jaga dulu yang wajib. Baru kejar yang sunnah.
Sama seperti dalam membangun negeri: Jaga dulu integritas, baru bicara soal kemajuan.
Coba lihat orang sukses dalam ibadah. Mereka tidak hanya rajin tarawih. Tapi juga salat rawatib, tahajud, witir, bahkan dhuha.
Mereka paham betul: Ramadan bukan sekadar soal puasa dan tarawih. Tapi soal menjaga ritme ibadah agar tetap terbawa setelah Ramadan berakhir.
Sebulan penuh latihan. Agar setelah Ramadan, masjid tidak langsung kosong.
Agar setelah Ramadan, subuh di masjid tetap ramai.
Agar setelah Ramadan, kita tidak kembali ke kebiasaan lama.
Karena ibadah bukan soal musiman. Karena Allah tidak hanya ada di bulan Ramadan.
Sama seperti perubahan bangsa.
Jangan cuma semangat saat pemilu, lalu lupa setelahnya.
Jangan cuma teriak anti-korupsi, tapi ikut main mata begitu berkuasa.
Buya Hamka pernah mengingatkan:
"Kalau hidup sekadar hidup, babi di hutan juga hidup. Kalau bekerja sekadar bekerja, kera juga bekerja."
Artinya, hidup ini bukan cuma soal rutinitas. Tapi soal makna.
Kita butuh istiqamah, bukan sekadar euforia.
Kita butuh perubahan nyata, bukan sekadar seremoni.
Politik | 2 hari yang lalu
Hukum | 4 hari yang lalu
Parlemen | 3 hari yang lalu
Nasional | 5 hari yang lalu
Hukum | 5 hari yang lalu
Parlemen | 4 hari yang lalu
Politik | 4 hari yang lalu
Opini | 3 hari yang lalu
Hukum | 1 hari yang lalu