Politik

Parlemen

Hukum

Ekbis

Nasional

Peristiwa

Galeri

Calon Dewan

Olahraga

Opini

Daerah

Dunia

Keamanan

Pendidikan

Kesehatan

Gaya Hidup

Otomotif

Indeks

Suara Islam Vs Suara NU Dalam Pilpres 2024

Oleh: M. Sholeh Basyari
Minggu, 28 Januari 2024 | 19:24 WIB
Share:
Kolase NU dan Muhammadiyah, PKs dan PKB. (Foto: Repro)
Kolase NU dan Muhammadiyah, PKs dan PKB. (Foto: Repro)

RAJAMEDIA.CO - Opini - SEPERTI pemilu-pemilu sebelumnya, pemilih Islam mesti mayoritas, selalu tidak terkonsentrasi dalam calon tunggal.

Susah dan rumitnya konsolidasi antar faksi-faksi Islam Indonesia, tergambar dan terpaparkan secara jelas. Secara umum, suara pemilih Islam ter-cluster dalam "Islam tradisional" dan "Islam modernis".

Dari rezim ke rezim, peng-clusteran ini selalu pas dan realible dengan situasi politik yang melingkupinya. Tak ubahnya dengan pemilu dan khususnya Pilpres tahun ini (2024).

Mobilisasi kaum Islam  tradisionalis oleh PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama), meski hal ini dibantah dengan tindakan penonaktifan lusinan pengurus terasnya, ke pasangan Prabowo Gibran, nyata adanya. Sejumlah tokoh NU “buka lapak” untuk mengkosolidasi kemenangan Prabowo.

Sekjen PBNU Saifullah Yusuf dan “belakangan” Ketua Umum Muslimat NU, Khofifah Indar Parawansa, menggerakkan jaringannya untuk kepentingan ini. Sebaliknya, kaum Islam modernis, berbaris rapi di belakang pasangan Anies -Muhaimin.

Polarisasi dan clusterisasi sederhana ini, menggambarkan sejumlah hal berikut.

Pertama, 'ideologi" Islam Indonesia benar-benar cair, tidak tunggal dan tidak bisa disebut solid. Pragmatisme dan fleksibilitas NU dalam pilpres kali ini misalnya, tidak beda dengan pemilu-pemilu sebelumnya, bahkan dengan pemilu pertama tahun 1955 sekalipun.

NU tampak punya agenda sendiri, yang berbeda dengan kekuatan Islam, bahkan dengan eksponen bangsa lainnya secara luas. Mandulnya NU berbanding terbalik dengan kritisme Muhammadiyah, kalangan Civil Society dan kaum nasionalis, menyangkut “penyimpangan Istana” terkait tata kelola bernegara.

Penghormatan pada aturan main dan konstitusi yang idealnya menjadi concern bersama, disikapi secara bias oleh NU menjadi “tegak lurus pada Istana”.    

Sejumlah sikap pragmatisme dan fleksibilitas NU tersebut, tersembunyikan dalam konstruksi fiqih. Suatu konstruksi politik yang seakan-akan sakral.

Sakralitas ini dibangun oleh konsepsi fiqih politik abad klasik Islam oleh Al Mawardi, yakni bahwa "fungsi politik adalah merawat agama dan menata dunia" (hirasudin wa siyasatu dunya).

Padahal kapanpun dan di manapun, perebutan kekuasaan dalam alam demokrasi adalah profan, duniawi. Dengan merujuk jargon yang sama dari Al Mawardi tadi, semua pasangan capres cawapres yang ada sekarang, pasti memiliki misi yang sama dengan jargon tersebut.

Artinya, sejumlah sikap politik NU maupun mobilisasi atas pasangan Capres-Cawapres tertentu, yang dilakukan atas nama "kelangsungan" paham dan warna Islam NU, pada Capres-Cawapres tertentu, sumir, kabur dan mengada-ada.

Kedua, klaim bahwa terbangunnya ukhuwah islamiah antara NU dan Muhammadiyah secara khusus, demi "menghadapi" serbuan gerakan Islam transnasional: Wahabi, salafi dan Hizbut tahrir (tanpa Indonesia), secara umum, runtuh setiap menghadapi momen lima tahunan: Pilpres.

Sejumlah data, agenda dan dinamika di lapangan menjelaskan runtuhnya ukhuwah Islamiyah dalam politik Islam Indonesia kontemporer. Sejumlah bukti berikut memperkuat tesis ini: bahwa Muhammadiyah memimpin konsolidasi kekuatan Islam non-NU, demi kemenangan pasangan Anies Baswedan.

Sementara untuk menggarap basis-basis NU, gencar dilakukan sayap Islam tradisional di PKS. Tokoh-tokoh PKS berlatar belakang pesantren, secara sabar dan gencar bersilaturahmi dengan tokoh-tokoh NU semacam kyai Marzuki Mustamar (mantan ketua PWNU Jatim).

Tidak cukup silahturahmi, kantor-kantor PKS di seluruh Jawa, "tiba-tiba" familier dan semarak dengan ya Lal Wathon, aneka solawat, dan juga menghidupkan tradisi baca "kitab kuning", sejumlah nomenklatur keislaman khas NU

Ketiga, realitas Pilpres kali ini, menggambarkan politik aliran masih kokoh. Sayap NU maupun sayap yang dikendalikan Muhammadiyah sama-sama all out mengawal kemenangan jagoannya. Kedekatan NU "seorang diri" dengan istana, potensial dikeroyok oleh kaum modernis plus.

Modernis plus dalam kasus ini adalah pemilih ideologis PKB yang "eksodus" bergabung dengan kubu modernis demi mem-backup ketua umumnya, Muhaimin Iskandar.

Tercerabutnya PKB dari NU struktural, adalah fakta yang faktornya adalah tokoh-tokoh teras PBNU. Bandul politik PBNU yang berayun ke arah Prabowo Gibran, sekaligus menghempaskan Muhaimin dari NU (struktural), adalah sumbangan energi dan sumber daya baru bagi kaum modernis.

Meski samar, sikap saling "mbelot" PKB-PBNU, menyiratkan kekalahan kaum tradisionalis atas kaum modernis.

Disebut kekalahan sebab, pembelotan dan pembelokan suara untuk tidak saling mendukung pilihan Capres-Cawapres yang sama, merupakan bentuk dari perpecahan dan ketidakutuhan.

Pada akhirnya, kaum tradisionalis yang kuat secara literasi, familier dengan dalil dan rujukan, besar kemungkinan berada pada posisi politik yang sama dengan kaum modernis yang lebih dulu membiasakan diri dengan nalar dan turast (pustaka) dalam berislam.

Gambaran Ke depan

Tidak adanya backup politik bagi Muhaimin dari NU pada Pilpres ini, menyiratkan lemahnya posisi tawar Muhaimin dan PKB di mata Anies Baswedan.

Muhaimin dipandang terbukti gagal mengkonsolidasi kekuatan NU secara utuh. Pembiaran PBNU atas Muhaimin, potensial mempercepat PKB sebagai “the Next PPP”.

Seperti umum diketahui, siklus Parati-partai “ bentukan” PBNU selalu berawal dan berakhir dari disharmoni akibat munculnya rasa “dizalimi”.

Partai NU tahun 1955 lahir akibat dizalimi eksponen Islam modernis dibawah pimpinan M Natsir. PKB lahir sebab eksponen NU di PPP dizalimi oleh Jaelani Naro. Akankah muncul partai baru bentukan PBNU akibat sikap “zalim” PKB? Wallahu A’lam

Penulis: Direktur Eksekutif Center Strategic on Islamic and International Studies (CSIIS), Dosen Pascasarjana Institut Agama Islam Sunan Giri (Insuri) Ponorogo.rajamedia

Komentar: