Politik

Info Haji

Parlemen

Hukum

Ekbis

Nasional

Peristiwa

Galeri

Otomotif

Olahraga

Opini

Daerah

Dunia

Keamanan

Pendidikan

Kesehatan

Gaya Hidup

Calon Dewan

Indeks

Silence Art Stories, Jejak Jiwa Gebar Sasmita

Oleh: Eko Supriatno
Jumat, 30 Mei 2025 | 10:04 WIB
Silence Art Stories--
Silence Art Stories--

RAJAMEDIA.CO - DALAM sejarah peradaban manusia, seni tak pernah hadir sekadar sebagai ornamen. Ia adalah denyut nadi masyarakat—refleksi jujur dari zaman, ruang, dan batin manusia.


Dari lukisan gua purba hingga teater jalanan, dari syair klasik hingga film kontemporer, seni senantiasa menjadi medium yang merekam, menyampaikan, bahkan merawat narasi-narasi terdalam yang kerap luput dari pembacaan sejarah formal.


Dalam konteks ini, SAS: Silence Art Stories, film fiksi karya Denri Nurachman, tampil sebagai ikhtiar artistik yang tak hanya memotret kisah personal seorang seniman, melainkan juga menyentuh lapisan sosial, politik, dan eksistensial bangsa ini. 

 

Film ini mengangkat sosok Gebar Sasmita, seniman asal Pandeglang, Banten—bukan figur yang sering muncul dalam buku sejarah atau diskursus populer, namun justru karena itulah, penting untuk disimak. Ia bagian dari barisan yang terlupakan, namun jejak sunyinya menyimpan nilai yang tak kalah agung.


Mengapa Gebar? Mengapa seni? Mengapa sunyi?


Pertanyaan-pertanyaan ini bukan sekadar untuk menggugah rasa ingin tahu penonton, tetapi juga untuk mengajak kita membaca ulang relasi antara seni dan kekuasaan, tubuh dan trauma, diam dan perlawanan. Film ini bukan sekadar rekonstruksi fiktif atas satu tokoh, melainkan rekreasi batin atas lanskap sejarah kultural kita—sebuah lanskap yang kerap diselimuti kabut sensor, represi, dan marginalisasi.


Trailer film ini dengan jelas menampakkan bahwa Silence Art Stories bukan film yang bermain-main di permukaan. Ia bukan kisah tentang heroisme dalam bentuk konvensional. Sebaliknya, film ini menawarkan ruang refleksi yang dalam tentang keberanian dalam kesunyian—tentang bagaimana seseorang memilih untuk tetap berdiri, meski tak bersuara. Tentang bagaimana seni menjadi jalan untuk bertahan—bukan lewat kemarahan, tapi melalui keutuhan jiwa.

Gebar Sasmita: Maestro dari Ruang Sunyi


Gebar Sasmita bukan sekadar nama dalam dunia seni rupa Indonesia; ia simbol ketangguhan. Lahir di Pandeglang, Banten, Gebar mengalami penderitaan sejak usia muda sebagai tahanan politik Orde Baru—dipenjara di usia 14 tahun tanpa pengadilan yang adil. Pengalaman pahit itu menjadi bahan bakar bagi karya-karyanya yang sarat ekspresionisme, sebagaimana tercermin dalam pameran tunggalnya, Perjalanan Panjang.


Lukisan dan patungnya—dengan warna-warna cerah dan bentuk ekspresif—tak hanya menampilkan estetika, tetapi menjadi luapan emosi atas ketidakadilan dan kejahatan kemanusiaan yang disaksikannya. Pertemuannya dengan pelukis legendaris Hendra Gunawan memperkaya visinya, menjadikan seni sebagai medium untuk merekam sejarah dan menyuarakan kebenaran.


Cuplikan trailer SAS menjanjikan narasi yang menggali perjalanan hidup Gebar, meski dalam balutan fiksi. Fragmen visualnya—penuh warna dan suasana emosional—menangkap esensi perjuangan Gebar: kesepian, kemarahan, keindahan—semuanya membaur dalam karya.


Film ini tidak hanya menuturkan kisah seorang individu, tapi juga menunjukkan bagaimana seni menjadi katup pengaman bagi jiwa yang terluka dan alat perlawanan terhadap keheningan yang dipaksakan oleh kekuasaan.


Dalam denyut sejarah yang kerap dibungkam rezim, selalu ada suara-suara kecil yang bertahan. Mereka tak meledak seperti petasan, melainkan mengendap seperti bara. Mereka tak tampil di panggung utama sejarah, tapi justru menyala dari pinggiran. Suara-suara inilah penggerak perubahan sejati—tak gaduh, namun menggugah.


Keheningan sebagai Medium Kritis


SAS tidak menempuh jalur sinema konvensional. Ia tak tergoda dramatika vulgar atau narasi linier yang mudah ditangkap. Film ini mengajak penonton untuk duduk dalam diam dan menyelami sunyi. Di tengah dunia yang riuh oleh tuntutan hiburan instan, film ini hadir sebagai ruang kontemplatif yang langka.


Gebar adalah artivist—seniman yang menjadikan seni sebagai artikulasi perlawanan. Ia tidak mengangkat megafon atau memimpin demonstrasi. Ia membiarkan warna dan garis berbicara saat kata-kata dilarang. 


Ia tidak menyulut kemarahan, tapi membangkitkan kesadaran. Di tubuh Gebar tersimpan trauma sejarah, namun juga kekuatan untuk tetap manusiawi. Dalam sunyi, ia bersaksi.


Keheningan dalam SAS bukanlah kekosongan, melainkan kepenuhan. Ia penuh luka, penuh tanya, penuh makna. Lewat gerak tubuh, tatapan, dan ekspresi tertahan, kita menangkap gema ketidakadilan yang tak terucapkan. Sinematografinya bukan sekadar merekam wajah, melainkan menyelami batin. Visual dalam film ini bekerja seperti puisi: simbolik, subtil, dan menuntut kepekaan.


Kritik Sosial yang Membelai Nurani


SAS bukan hanya kisah personal tentang Gebar, melainkan tafsir sosial tentang cara kekuasaan bekerja membungkam kreativitas. Film ini tidak menggugat dengan amarah, tetapi menggugah dengan perenungan. Ia mengajak kita menengok kembali relasi kuasa: antara negara dan warganya, antara penguasa dan seniman, antara sejarah besar dan cerita kecil yang nyaris tak terdengar.


Gebar mewakili ribuan suara yang dihilangkan, ingatan yang tak tertulis dalam buku pelajaran. SAS menegaskan bahwa sejarah sejati juga ditulis oleh mereka yang tersisih—oleh warna yang dilenyapkan, puisi yang dibakar, dan tubuh yang dikurung tanpa alasan.


Seni sebagai Jalan Pembebasan

 

Dalam dunia seni, selalu ada pilihan: melarikan diri dari kenyataan atau menggali kenyataan sampai ke akar. Silence Art Stories memilih yang kedua. Ia tidak menutup mata terhadap kekerasan struktural, namun juga tak tenggelam dalam kebencian. Ia menghadirkan seni sebagai jalan pembebasan—bukan dari kenyataan, melainkan melalui kenyataan.


Seni dalam film ini bukan pelarian, melainkan peneguhan. Dalam kanvas-kanvas Gebar, kita temukan jejak luka dan harapan. Dalam diamnya, terdengar pekik yang lebih nyaring dari teriakan. Ia membebaskan—bukan dengan retorika, tetapi dengan kejujuran estetis.


Film ini juga menyentuh persoalan identitas dan ketegangan antara pusat dan pinggiran. Gebar bukan datang dari pusat kekuasaan budaya. Ia lahir dari pinggiran—dari ruang-ruang yang sering diabaikan, namun menyimpan kebijaksanaan yang dalam.


SAS menegaskan bahwa kebudayaan sejati tak hanya lahir dari gedung-gedung megah, melainkan juga dari sel penjara, dari senyap, dari luka.


Sunyi yang Menggema


Silence Art Stories bukan film yang sekadar ditonton, tetapi direnungkan. Ia adalah meditasi tentang seni, sejarah, dan keberanian untuk tetap manusiawi di tengah represi. Ia menolak kepraktisan narasi, namun menawarkan kedalaman pemahaman.


Gebar Sasmita bukan tokoh fiktif semata. Ia cermin dari banyak orang—seniman, penyair, pemikir, rakyat biasa—yang memilih bertahan dengan martabat di tengah ancaman dan pembungkaman.


Dalam tubuhnya, dalam kuasnya, dalam diamnya—kita mendengar gema sejarah yang enggan padam. Sunyi itu bukan kekalahan; ia adalah cara lain untuk tetap bersuara.

 

Penulis: Bung Eko Supriatno*

Bung Eko Supriatno adalah pengajar di Universitas Mathla’ul Anwar Banten. Ia aktif mendampingi gerakan seni, literasi, dan komunitas kreatif di Pandeglang, serta menjadi bagian dari Komunitas Bunga Rumput dan Pandeglang Creative Hub.rajamedia

Komentar: