Reuni adalah Sebuah Perjumpaan Spiritual
RAJAMEDIA.CO - Ciputat - Pertemuan, dalam segala ragam wujudnya, selalu menyimpan cerita yang berdaya magis. Hal ini terjadi karena pertemuan merupakan ruang tempat interaksi berbagai individu berlangsung secara masif dan akumulatif.
Meskipun setiap orang datang dari latar belakang yang berbeda, tak jarang mereka hadir dengan kesukarelaan dan keikhlasan yang mendalam. Pada akhirnya, pertemuan tetaplah sebuah diksi yang merangkum kesadaran kultural, sosial, dan spiritual sekaligus. Dalam konteks inilah, istilah “perjumpaan” muncul.
Reuni adalah ruang di mana perjumpaan-perjumpaan tersebut terjadi. Ia menjadi saat ketika “aku” dan “engkau” terlibat dalam ikatan yang relatif sama, dilabeli identitas yang dibuat semirip mungkin agar pertemuan dapat terwujud.
Dalam reuni, setiap individu yang hadir menanggalkan “baju kebesaran” apa pun yang melekat padanya. Reuni pun menjadi semacam titirah primordial—ruang di mana setiap orang mengembalikan pikiran, rasa, dan jiwanya ke titik nol.
Pada sebuah acara bertajuk “Reuni Akbar Ikatan Alumni UIN Syarif Hidayatullah Jakarta” kemarin, penulis merasakan betapa perjumpaan ini memungkinkan setiap orang, dengan segala lika-liku takdirnya, untuk duduk bersama dan bercengkerama sebagaimana saat pertama kali tiba di institusi ini.
Tidak penting siapa mereka hari ini, karena yang mempertemukan semua adalah jejak sejarah masa lalu yang dipelihara dalam ruang rindu masing-masing kepala. Berbagai semangat dan kerinduan pun ditumpahkan pada acara yang diumumkan melalui beragam platform media.
Tentu saja, reuni memiliki kelebihan dan kekurangan. Namun, pada dasarnya, ia mencerminkan kekuatan perjumpaan dan “penjumlahan” antarpersonal yang sangat kokoh, bersih, serta ikhlas dalam menerima segala keadaan.
Setiap orang yang datang menebar senyum dan memancarkan kegembiraan, tanpa peduli mereka pernah berpisah puluhan tahun. Rasa rindu pada keadaan yang pernah membekas dalam sejarah kehidupan akhirnya kembali bersemi.
Dalam reuni, pergumulan gagasan dan pengalaman baru didialogkan antarsesama. Seakan muncul pencarian “titik temu”, padahal reuni itulah titik temu yang paling besar—pertemuan spiritual. Semua orang rela menanggalkan identitas formal: ada yang pejabat, pengusaha, tokoh publik, atau orang biasa-biasa saja. Segala status tumpah-ruah di satu ruang yang sama, yaitu sebagai sesama alumni yang siap berkiprah.
Kehadiran tokoh-tokoh dari beragam latar belakang hanya menjadi “sulaman” yang memperindah kesadaran bahwa menjadi alumni sebuah institusi (terlebih yang sudah besar seperti UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) bukan hanya soal lulus, melainkan juga berkontribusi.
Dalam acara tersebut, sejumlah tokoh nasional dan pernyataan berkelas internasional dihadirkan, diikuti berbagai penghargaan bagi sosok-sosok berprestasi. Semua itu diglorifikasi agar gaungnya meluas, sesuai tagline “Dari Ciputat untuk Indonesia”. Alih-alih mempersempit, tagline ini justru memperbesar ruang kontribusi.
Di balik semua itu, suasana gembira dari perjumpaan antaralumni menggema dalam setiap asa. Mereka datang dari jauh dan dekat, menggunakan pesawat ataupun transportasi darat, semua menyatu dan berjuang untuk menjadi alumni Ciputat yang berdampak.
Pada akhirnya, ketika diadakan pemilihan pemimpin, hal itu bukan sekadar proses memilih, melainkan cerminan cita-cita mendalam yang diamanahkan kepada banyak orang. Sekali lagi, tidak penting seseorang menjadi apa atau siapa. Yang paling utama adalah kontribusi apa yang bisa diberikan, berbekal pengalaman dan pengetahuan yang dulu ditempa di lembaga ini. Itulah makna hakiki dari sebuah reuni sebagai perjumpaan spiritual.
Nasional 2 hari yang lalu
Politik | 2 hari yang lalu
Peristiwa | 1 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Peristiwa | 1 hari yang lalu
Gaya Hidup | 14 jam yang lalu
Opini | 6 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu