Politik

Info Haji

Parlemen

Hukum

Ekbis

Nasional

Peristiwa

Galeri

Otomotif

Olahraga

Opini

Daerah

Dunia

Keamanan

Pendidikan

Kesehatan

Gaya Hidup

Calon Dewan

Indeks

Penguatan Nilai Pendidikan Dalam Spritualitas Haji

Oleh: Dr. Fauzan, MA
Selasa, 12 Juli 2022 | 16:08 WIB
Tamu-tamu Alloh sedang melaksanakan wukuf di Arafah/Ist
Tamu-tamu Alloh sedang melaksanakan wukuf di Arafah/Ist

Raja Media (RM), Mekkah - Setiap kewajiban ibadah yang dititahkan Tuhan kepada ummatnya tidak lepas dari penguatan nilai keshalehan individu dan kepekaan sosial kemasyarakatan.

Shalat misalnya, dipahami sebagai ritual keagamaan  yang mengarahkan setiap individu menunjukkan kemampuannya berkomunikasi efektif dengan sang pemilik alam (robb al-'alamin).

Pada saat yang lain shalat juga dianggap sebagai ritual yang dapat menahan seseorang dari keburukan dan kemunkaran (fakhsya munkar).

Ada pesan moral dari pelaksanaan shalat bahwasanya ritual yang dilakukan sudah seharusnya dapat dibarengi dengan perilaku sosial yang baik.

Komunikasi spiritual dengan Tuhan bisa dilakukan efektif apabila nilai-nilai sosial yang menjadi akar kehidupan mampu dijaga dengan baik. Begitu juga dengan pelaksanaan puasa, zakat dan haji.

Ibadah zakat secara tegas mengajari ummat Islam untuk selalu berbagi, menafkahkan sebagian hartanya untuk orang lain yang membutuhkan. Sesuai makna zakat itu sendiri yang berarti bersih atau suci, diharapkan melalui zakat (fithrah dan mal) dapat membersihkan harta benda yang dimilik seseorang.

Selanjutnya haji, sebagai rukun Islam kelima juga sarat dengan nilai spiritual dan sosial yang tinggi. Betapa tidak, dilihat dari rukun dan kewajiban haji yang dilaksanakan para jamaah haji semua sarat dengan kedua nilai tersebut.

Rukun haji diartikan sebagai rangkaian kegiatan yang harus dilaksanakan oleh setiap jamaah haji, keberadaannya tidak boleh dibadalkan, bahkan apabila tidak dilaksanakan dapat berakibat pada batalnya haji.

Sementara wajib haji bermakna sebagai rangkaian yang harus dilaksanakan, tetapi keberadaannya dapat digantikan orang lain karena alasan sakit, dan tidak berakibat pada batalnya haji seseorang. Kedua rangkaian haji tersebut memiliki nilai spiritual dan sosial yang tinggi.

Haji dan Nilai Pendidikan

Ibadah haji menggambarkan kepulangan seorang hamba kepada Allah SWT hal ini menunjukkan suatu gerakan yang pasti menuju kesempurnaan, kebaikan, keindahan, kekuatan, pengetahuan, nilai-nilai dan fakta-fakta.

Dalam ibadah haji terdapat tiga fase, yaitu pengetahuan, kesadaran dan cinta. (Ali Syariati, hal. 125) Semua terangkai dalam aktifitas rukun dan wajib haji.

Ihram adalah niat masuk dalam rangkaian ibadah haji, umrah atau keduanya yang dilakukan dari miqot dengan mengenakan pakaian yang sama, yaitu pakaian ihram (putih bersih) yang menyerupai kain kafan.

Hal ini menunjukkan bahwa ibadah haji dan umroh memiliki semangat  pembersihan jiwa, ukhuwwah, dan hakekat penghambaan manusia kepada Allah, tanpa peduli dari ras atau suku apapun, semua harus tunduk dan sama di hadapan Allah.
 
Dengan berihrom juga kita diajarkan nilai kepatuhan dan kedisiplinan untuk menjaga semua larangan ihrom.

Thawaf adalah salah satu rukun haji dan umroh. Thawaf adalah memutari ka'bah sebanyak tujuh kali. Dalam pelaksanaannya, ka'bah harus berada di sebelah kiri, artinya putaran ka'bah berlawanan dengan arah jarum jam.

Thawaf dimulai dari Hajar Aswad, dan berakhir di hajar aswad. Perputaran Thawaf itu bergerak dalam satu titik searah jarum jam. Pada saat Thawaf, setiap orang bergerak secara kolektif, tidak ada identifikasi individual yang membedakan laki-laki dan perempuan, etnis negara atau wilayah, ataupun kulit hitam dan kulit putih.

Gerakan ini merupakan proses transformasi seorang manusia menjadi totalitas kesatuan umat manusia di bawah satu keyakinan (tauhid) dan ka’bah sebagai kiblat yang menjadi pusat pengamalan ibadah ummat Islam.

Gerakan thawaf melambangkan kuatnya nilai ketauhidan, semua kehidupan harus bertumpu pada sang kholiq, tidak ada kekuatan di dunia ini yang pelindung dan tumpuan ummat manusia.

Sa'i atau berlari kecil antara bukit shafa dan marwa mengandung nilai perjuangan dan etos kerja produktif dalam mencapai tujuan.

Kegigihan Hajar, ibunda Nabi Ismail dalam mencari dan menemukan air kehidupan bagi buah hati yang dicintainya menujukkan bahwa semua kinerja yang bernilai tinggi memerlukan proses kerja keras, fokus dan jelas target capaian yang diharapkan.

Tidak ada hasil terbaik dan bernilai tinggi, tanpa proses kerja yang serius.

Wukuf di padang Arafah berarti berhenti di Arafah. Wukuf mengajarkan manusia untuk sejenak meninggalkan aktifitas dunianya selama beberapa jam, yakni berhenti dari kegiatan apapun agar bisa melakukan perenungan jati diri, berdzikir dan berdoa selama tergelincirnya matahari hingga terbenamnya matahari.

Dengan memakai dua helai kain ihrom menunjukkan kesetaraan derajat (equality), tidak ada status sosial, jabatan, status etnis, jenis kelamin; semuanya sama di hadapan Allah, yang membedakan hanya ketakwaannya.

Wukuf juga merupakan miniatur padang makhsyar di akhirat, di mana para jamaah untuk bermuhasabah (evaluasi diri) untuk persiapan kehidupan dunia akhirat yang lebih baik.

Mabit atau bermalam di Muzdalifah merupakan kegiatan wajib haji. Kata Muzdalifah berasal dari kata izdilaf yang artinya berkumpul.

Muzdalifah sendiri merupakan wilayah yang terletak antara Arafah dan Mina. Para jamaah haji yang berasal dari beragam suku bangsa dari berbagai negara berkumpul di satu tempat yang sama melaksanakan ibadah yang  sama untuk menggapai ridlo Allah SWT, sembari menyiapkan batu yang digunakan untuk melempar jumroh saat mabit di Mina.

Mabit di Mina dilaksanakan mulai tengah malam tanggal 10 Dzulhijah sampai tengah malam dilanjutkan ke Mina selama tiga hari bagi yang nafar awal (hingga 12 Dzulhijah) dan empat hari bagi yang memilih nafar sani (hingga 13 Dzulhijah).

Mabit di Mina ini diikuti proses melontar jumrah. Selama mabit, jamaah haji dapat merasakan kedekatannya pada sang Pencipta dengan memperbanyak dzikir dan mengenali lingkungan di mana jamaah haji tinggal.  

Lontar jumrah atau jamarat pertama, saat setelah para jamaah haji sampai di Mina adalah jumrah Aqabah. Aturannya, pada 10 Dzulhijjah jamaah haji melempar Jumrah Aqabah, tempatnya terletak di Bukit Aqabah, sebanyak tujuh kali.

Selanjutnya pada tanggal 11 dan 12 Dzulhijjah melontar tiga jumrah masing-masing tujuh kali (Ula, Wustho, Aqobah) untuk  yang mengambil Nafar Awal sehingga dibutuhkan 49 kerikil.

Bagi jamaah haji yang mengambil Nafar Tsani yaitu pada tanggal 13 Dzulhijjah, maka dperlukan 21 kerikil lagi untuk melontar jumroh.

Waktu melontar mulai masuk Dzuhur sampai Subuh. Sebagai aktifitas wajib haji, jika tidak dilaksanakan oleh yang bersangkutan karena alasan sakit atau melontar jumrohnya diwakilkan kepada orang lain status haji seseorang masih tetap sah.

Nilai pendidikan yang dapat dari pelaksanaan mabit di Mina dan melontar jumroh antara lain proses penghapusan dosa. Melempar batu dapat dianalogi sebagai proses penghilangan keburukan dan kemaksiatan manusia, berharap melalui pelemparan batu tersebut syetan tidak lagi datang untuk mengajak berbuat tidak baik.

Selanjutnya tahallul yang berarti menghalalkan atau melepas seluruh larangan-larangan ihrom.

Melalui aktifitas tahallul diharapkan para jamaah, di tengah kebahagiaannya (dengan simbol mencukur rambut) semakin menyadari pentingnya arti kedisiplinan, kepatuhan terhadap segala yang seharusnya dikerjakan serta menjauhi hal yang dilarang.

Dengan demikian, ritualitas ibadah haji mengandung nilai pendidikan sebagai berikut:

(1) haji mengajari kita untuk selalu bersabar dalam berinteraksi sosial, dari antri lift, kamar mandi, naik bus menuju maktab, dan pembagian tempat tidur.

(2) haji dapat membentuk pribadi manusia yang patuh dalam menjalankan segala printah dan menjauhkan dari segala larangan-Nya.  

(3) haji mendidik kita untuk peka sosial, berempati terhadap sesama jamaah, baik pada saat di maktab, masjid, dan saat pelaksanaan ibadah.

(4) haji mendidik kita untuk bisa berbagi atau bersedekah kepada orang membutuhkan.

(5) haji juga mengari kita untuk selalu menjadi pribadi yang disiplin. Hal ini tercermin dari waktu haji yang sudah ditentukan, pelaksanaan wukuf di arafah, mabit di Muzdalifah, mabit di Mina dan melempar dilaksanakan pada tanggal 09 sd 13 Dzulhijah, penentuan waktunya sudah pasti dan tidak tergantikan.

(6) haji mengajari kita dapat meningkatkan kualitas ibadah di saat dan sesudah pelaksanaan ibadah haji. Predikat haji mabrur yang mrnjadi dambaan para para jamaah haji (hujjaj) akan tercermin pada sebelum, proses, dan saat setelah haji selesai dilaksanakan.

Apakah ibadah haji dapat merubah perilaku keagamaan seseorang atau malah sebaliknya. Ibadah haji seharusnya dapat mempertahankan dan meningkatkan ritual keagamaan yang dilakukan selama di Madinah dan Mekkah (haromain).

Berdoa yang terbaik agar para hujjaj dapat memperoleh predikat haji mabrur. Amiiin

Mina, 10 Dzulhijah 1443 H

Dr. Fauzan, MA
Jama'ah Haji KBIH Wahana At-Taqwa Tangerang Selatan
Dosen FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Kabid Pendidikan IKALUIN Jakarta
. rajamedia

Komentar: