Menahan Hawa Nafsu dan Emosi

RAJAMEDIA.CO - MENAHAN lapar itu mudah.
Menahan haus? Tidak terlalu sulit.
Tapi menahan amarah? Itu perkara lain.
Ramadan datang setiap tahun.
Tapi setiap tahun pula, kita masih bergulat dengan ujian yang sama.
Di jalan, pengemudi masih saling adu klakson.
Di rumah, suami-istri masih berdebat hal sepele.
Di media sosial, komentar pedas tetap bertebaran.
Seolah-olah, puasa hanya mengajarkan kita untuk tidak makan dan minum.
Bukan untuk menahan diri.
Padahal, Rasulullah SAW sudah mengingatkan:
"Bukanlah puasa itu hanya menahan makan dan minum, tetapi juga dari perkataan dan perbuatan yang tidak bermanfaat." (HR. Hakim)
Tapi nyatanya?
Puasa jalan terus, amarah tetap meledak.
Lalu, apa gunanya Ramadan jika kita tidak belajar mengendalikan diri?
Puasa Bukan Sekadar Ritual
Kita sering menganggap puasa hanya urusan fisik.
Bangun sahur, menahan lapar, berbuka.
Selesai.
Tapi, apakah puasa mengubah kita?
Apakah kita lebih sabar ketika disakiti?
Apakah kita lebih tenang ketika menghadapi masalah?
Apakah kita lebih bijak dalam menyikapi perbedaan?
Atau justru sebaliknya?
Di siang hari menahan makan, tapi tetap marah-marah.
Di sore hari menunggu bedug, tapi masih sibuk berdebat di media sosial.
Padahal, Ramadan bukan tentang menahan perut.
Tapi tentang menahan diri.
Tentang belajar meredam amarah.
Tentang mengendalikan ego.
Tentang menahan diri untuk tidak menyakiti orang lain, baik dengan kata-kata maupun perbuatan.
Karena puasa yang hanya sekadar ritual tidak akan mengubah apa pun.
Kita tetap mudah tersulut.
Tetap gampang emosi.
Tetap merasa diri paling benar.
Seakan-akan Ramadan hanya sekadar tradisi tahunan.
Belajar Menahan Diri
Bukan hanya rakyat biasa yang diuji di bulan Ramadan.
Para pemimpin juga.
Bedanya, ujian mereka lebih besar.
Diuji dengan kritik yang pedas.
Diuji dengan tuntutan rakyat yang semakin sulit.
Diuji dengan keputusan yang harus diambil dengan kepala dingin.
Tapi yang sering kita lihat?
Banyak pemimpin yang tidak tahan kritik.
Sedikit-sedikit marah.
Sedikit-sedikit merasa diserang.
Bukannya introspeksi, malah mencari cara untuk membungkam suara rakyat.
Lalu, apa gunanya kekuasaan jika tak bisa menahan diri?
Seorang pemimpin sejati bukan yang paling banyak bicara.
Tapi yang paling sabar mendengar.
Bung Hatta pernah berkata:
"Pemerintahan yang baik adalah yang bisa menyejahterakan rakyatnya."
Tapi kalau kebijakan justru menyulitkan rakyat?
Kalau harga kebutuhan pokok makin mahal?
Kalau hukum masih tajam ke bawah, tumpul ke atas?
Lalu, apakah pemimpin kita benar-benar sudah menahan hawa nafsunya?
Atau justru makin dikuasai ambisi?
Ramadan ini seharusnya menjadi cermin.
Bukan hanya bagi kita, tapi juga bagi para pemimpin.
Bukan Hanya di Ramadan
Menahan diri memang sulit.
Tapi Ramadan adalah latihan terbaik.
Latihan menahan amarah.
Bukan dengan membalas, tapi dengan bersabar.
Latihan menahan ego.
Bukan dengan merasa paling benar, tapi dengan mendengar lebih banyak.
Latihan menahan lisan.
Bukan dengan berkata kasar, tapi dengan berbicara yang baik.
Karena ujian puasa bukan hanya soal tidak makan seharian.
Tapi soal bagaimana kita bisa mengendalikan diri.
Bukan hanya saat Ramadan.
Tapi juga sepanjang tahun.
Kalau Ramadan ini tidak mengubah kita, lalu kapan?
Hukum | 2 hari yang lalu
Politik | 1 hari yang lalu
Politik | 6 hari yang lalu
Hukum | 4 hari yang lalu
Hukum | 2 hari yang lalu
Politik | 4 hari yang lalu
Politik | 3 hari yang lalu
Parlemen | 4 hari yang lalu
Parlemen | 1 hari yang lalu