Politik

Info Haji

Parlemen

Hukum

Ekbis

Nasional

Peristiwa

Galeri

Otomotif

Olahraga

Opini

Daerah

Dunia

Keamanan

Pendidikan

Kesehatan

Gaya Hidup

Calon Dewan

Indeks

Kementerian Haji dan Umrah, Solusi atau Politis?

Oleh: H. Dede Zaki Mubarok
Rabu, 27 Agustus 2025 | 07:53 WIB
Jemaah asal Indonesia i saat di masjidi haram - Foto: Disway -
Jemaah asal Indonesia i saat di masjidi haram - Foto: Disway -

RAJAMEDIA.CO - DPR sudah ketok palu. Revisi Undang-Undang Haji dan Umrah resmi disahkan. Salah satu poin pentingnya: lahirnya Kementerian Haji dan Umrah.

 

Mulai sekarang, urusan haji dan umrah tidak lagi sekadar “direktorat” di bawah Kementerian Agama. Akan berdiri kementerian khusus. Dengan menteri baru. Dengan birokrasi baru.

 

Apakah ini kabar baik?

 

Bisa ya, bisa tidak.

 

Yang pasti perdebatan publik. Apakah kementerian baru ini akan benar-benar menjadi solusi atas peliknya urusan haji dan umrah, atau sekadar ruang baru untuk akomodasi politik?
 

Indonesia dan Beban Besar Ibadah Haji
 

Indonesia memegang predikat sebagai negara dengan kuota jamaah haji terbesar di dunia: lebih dari 240 ribu orang per tahun. Antrean di sejumlah provinsi bahkan mencapai 20–30 tahun. Kompleksitas pengelolaan ibadah haji tidak main-main: mulai dari pendaftaran, pembinaan jamaah, transportasi udara, pemondokan, konsumsi, hingga kerja sama diplomatik dengan Arab Saudi.
 

Selain itu, dana haji yang dikelola mencapai ratusan triliun rupiah. Tak heran, suara publik sering mengkritik manajemen haji yang masih dianggap lamban, mahal, dan kurang transparan.
 

Dalam konteks inilah, gagasan kementerian khusus muncul: agar urusan haji dan umrah bisa ditangani lebih fokus, profesional, dan terukur.
 

Potensi Solusi: Fokus, Transparan, dan Efisien
 

Kehadiran Kementerian Haji dan Umrah dinilai bisa membawa sejumlah perbaikan:

Manajemen lebih fokus: Tidak lagi bergabung dengan Kementerian Agama yang beban kerjanya terlalu luas, dari pendidikan madrasah hingga kerukunan umat beragama.
 

1. Akuntabilitas dana haji: Pengelolaan dana triliunan rupiah bisa lebih transparan, dengan tata kelola keuangan yang diawasi ketat.
 

2. Koordinasi internasional: Arab Saudi memiliki Kementerian Haji dan Umrah. Dengan adanya counterpart setingkat menteri, diplomasi layanan jamaah bisa lebih kuat dan efektif.
 

3. Peningkatan kualitas layanan: Mulai dari perumahan jamaah, kesehatan, hingga sistem transportasi jamaah berpeluang membaik karena birokrasi lebih ramping.

 

Jika semua dijalankan dengan niat pelayanan, kementerian ini bisa menjawab problem klasik: antrean panjang, biaya tinggi, dan layanan yang sering dikeluhkan.
 

Tantangan: Politisasi dan Kursi Kekuasaan
 

Namun, setiap penambahan kementerian tidak bisa dilepaskan dari aroma politik. Kementerian baru berarti kursi menteri baru, yang sering dibaca publik sebagai bagian dari “bagi-bagi kekuasaan” dalam koalisi pemerintahan.
 

Beberapa pertanyaan kritis pun mengemuka:

 

- Apakah kebutuhan membentuk kementerian ini murni demi jamaah, atau untuk memuaskan kepentingan politik?
 

- Siapa yang akan menjadi Menteri Haji dan Umrah pertama? Tokoh profesional yang memahami seluk-beluk pelayanan haji, atau kader partai yang sekadar bagian dari kompromi politik?
 

- Apakah pembentukan kementerian baru ini akan menambah efektivitas pelayanan, atau justru memperbesar biaya birokrasi?
 

Belajar dari Negara Lain
 

Arab Saudi sejak lama memiliki Kementerian Haji dan Umrah yang fokus pada pelayanan jamaah dari seluruh dunia. Malaysia, melalui Tabung Haji, berhasil mengelola keuangan jamaah secara profesional dengan standar korporasi modern.
 

Indonesia bisa belajar dari dua model itu: kementerian yang kuat di bidang diplomasi dan pelayanan, serta lembaga keuangan yang dikelola dengan prinsip syariah dan profesionalisme.
 

Artinya, kementerian baru saja tidak cukup. Perlu inovasi, tata kelola modern, dan keberanian mengadopsi praktik terbaik internasional.
 

Penutup: Ujian di Tangan Presiden
 

Akhirnya, nasib Kementerian Haji dan Umrah akan sangat ditentukan oleh siapa yang ditunjuk Presiden. Bila jabatan ini diberikan kepada figur profesional yang kompeten, maka publik bisa berharap pelayanan haji dan umrah akan naik kelas.
 

Namun bila kursi ini hanya dijadikan alat akomodasi politik, kementerian ini bisa menjadi beban baru negara, bukan solusi.
 

Kementerian Haji dan Umrah: solusi manajerial atau sekadar manuver politis? Jawabannya akan segera teruji di tangan pemimpin yang berani menempatkan kepentingan jamaah di atas segalanya.

 

Wallahu a'lam bish-shawab.

 

Penulis: Pengurus Pusat IKALUIN Jakarta, Ketua DPP PJSrajamedia

Komentar: