Politik

Parlemen

Hukum

Ekbis

Nasional

Peristiwa

Galeri

Calon Dewan

Olahraga

Opini

Daerah

Dunia

Keamanan

Pendidikan

Kesehatan

Gaya Hidup

Otomotif

Indeks

Haedar Nashir: Pendidikan Indonesia Tidak Boleh Dibawa Ke Arah Sekuler-Liberalistik

Laporan: Tim Redaksi
Rabu, 21 Desember 2022 | 22:46 WIB
Share:
Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir/Dok
Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir/Dok

Raja Media (RM), Pendidikan - Pendiri bangsa Indonesia telah meletakkan arah pendidikan nasional secara distingtif dalam konstitusi.

Pada Pasal 31 UUD 1945 ayat 3 dan 5 serta Undang-Undang No.20 Tahun 2003 bahwa pendidikan Indonesia tidak bisa dipisahkan dari nilai agama, nilai kebudayaan, serta iman, takwa, dan akhlak mulia.

Demikian disampaikan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof. Dr. Haedar Nashir, M.Si dalam orasi ilmiah bertema “Visi dan Misi Pendidikan Indonesia” pada Lustrum ke-12 Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UNISBA, Selasa (20/12) kemarin.

Haedar menyebut ciri distingtif ini membedakan karakter pendidikan nasional dengan pendidikan Barat yang biarpun maju tetapi bersifat ateistik dengan nilai humanisme sekuler.

Haedar berpesan agar dalam usaha memajukan pendidikan nasional dengan merujuk pada pendidikan ala Barat, para pemangku kebijakan tidak sekadar mengadopsi mentah-mentah apalagi sampai mengabaikan distingsi dari ciri pendidikan nasional seperti tersebut dalam konstitusi di atas.

Haedar mengatakan usaha minimal tanpa strategi kebudayaan seperti ini hanya akan melahirkan lag atau kegagapan.

“Misalnya dalam konteks Indonesia, nilai-nilai agama, iman, takwa, Pancasila dan kebudayaan luhur bangsa itu didesain ulang, direkonstruksi, atau dikonstruksi dengan pola pikir pendidikan dan alam pikiran yang disebut dengan alam pikiran modern universal yang copy paste dari kemajuan dan alam pikiran Barat yang memang kuat dalam pengembangan iptek dan humanity tapi mereka punya pengalaman buruk dengan agama,” jelas Haedar.

Haedar meminta agar perbedaan latar belakang dalam tradisi keilmuan Barat yang bersifat tragedi dan trauma terhadap agama abad Pertengahan sehingga bersifat liberal, sekuler dan ateistik itu disaring sebelum diadopsi oleh Indonesia yang tidak memiliki pengalaman sejarah yang sama.

“Lalu mereka (Barat) ingin keluar dari teosentrisme pada antroposentrisme dan itulah yang menjadi pondasi dari alam pikiran kemajuan Barat, entah tu disebut sebagai pencerahan, modernitas dan lain sebagainya,” imbuh Haedar.

Meskipun meminta selektif serta menyaring sekularisme dan liberalisme dalam dunia pendidikan, Haedar juga mewanti-wanti agar pendidikan nasional tidak terjatuh ke arah yang sebaliknya, yakni pendidikan ala kelompok agama tertentu yang sejatinya lahir karena reaksi antitesis terhadap hegemoni kemajuan pendidikan modern Barat yang sekuler dan liberal.

Corak pendidikan agama yang lari dari antroposentrisme ini, menurut Haedar uniknya kembali lagi ke arah masa kegelapan teosentrisme Barat di abad pertengahan meskipun peristilahan yang dipakai adalah ‘pendidikan robbaniyah’ hingga ‘Islamisasi’.

Hal-hal rumit seperti ini sekali lagi kata Haedar diperlukan strategi kebudayaan yang matang.

“Kesimpulannya pada lag itulah terletak benang kusut dunia pendidikan, benang kusut dalam kita berbangsa dan bernegara, bahkan benang kusut dalam kita beragama," ujar Haedar.

"Maka agar kita tidak masuk dalam benang kusut seperti itu, kita perlu rekonstruksi visi misi strategis pendidikan Indonesia dan visi misi strategis pendidikan Islam menghadapi masalah dan tantangan baru dan menghadapi masa depan yang lebih baik,” demikian usul Haedar seperti dilansir dari laman muhammadiyah.or.id.rajamedia

Komentar: