Politik

Info Haji

Parlemen

Hukum

Ekbis

Nasional

Peristiwa

Galeri

Otomotif

Olahraga

Opini

Daerah

Dunia

Keamanan

Pendidikan

Kesehatan

Gaya Hidup

Calon Dewan

Indeks

Begini Kata Guru Besar UIN Jakarta Terkait Polemik Fatwa Salam Lintas Agama

Laporan: Tim Redaksi
Sabtu, 01 Juni 2024 | 22:11 WIB
Guru Besar Hukum Islam UIN Jakarta, Ahmad Tholabi Kharlie. (Foto: Dok Kemenag)
Guru Besar Hukum Islam UIN Jakarta, Ahmad Tholabi Kharlie. (Foto: Dok Kemenag)

RAJAMEDIA.CO - Jakarta - Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI)  terkait larangan menyampaikan salam lintas agama, perlu didudukkan pada dua ranah yang berbeda, yakni arena internum dan eksternum.

Demikian disampaikan Guru Besar Hukum Islam UIN Jakarta, Ahmad Tholabi Kharlie, Sabtu (1/6).

Menurut Tholabi, polemik atas fatwa MUI tentang larangan salam lintas agama disebabkan bercampurnya forum internum dan forum eksternum dalam merespons fatwa tersebut.

Dikatakannya, ada perkara yang bersifat internal umat beragama, ada pula perkara yang sifatnya eksternal atau antarumat beragama.

"Fatwa konteksnya ditujukan kepada internal umat Islam dan ditempatkan pada forum internal umat Islam,” kata Tholabi.

Wakil Rektor bidang Akademik UIN Jakarta ini menegaskan fatwa tersebut tentu tidak ditujukan dalam konteks eksternal umat Islam. Konsekuensinya, kata Tholabi, fatwa tersebut tidak tepat jika ditempatkan dalam forum eksternum yang tempatnya di ruang publik.

"Polemik yang muncul disebabkan fatwa tersebut dibaca dan ditempatkan pada forum eksternum atau ruang publik,” tegas Tholabi.

Lanjut Tholabi, ada kalanya kaidah agama dapat diakomodasi melalui kaidah hukum, tapi ada kalanya juga kaidah agama tidak dapat diakomodasi melalui kaidah hukum.

"Fatwa MUI ini masuk kategori kaidah agama yang tak dapat diakomodasi dalam kaidah hukum (positif)," ujarnya.

"Di sini pentingnya pemilahan forum internum dan eksternum. Negara menjamin setiap umat beragama dalam mengekspresikan agama dan keyakinannya. Itu konteksnya forum internum. Dalam forum eksternum, negara berkewajiban membangun harmoni antarumat beragama,” sambung Tholabi.

Tholabi mengingatkan tentang relativitas fatwa. Dia menyebutkan sebagai produk pemikiran hukum Islam, fatwa tentu tidak bersifat mengikat dan absolut. Kecuali bagi mustafti atau pemohon fatwa.

"Akan selalu ada tafsir-tafsir berbeda berdasarkan pemahaman atas teks-teks suci. Publik harus bijak dan bajik. Tidak saling klaim kebenaran mutlak atau menghujat suatu pendapat hukum tertentu," pinta Tholabi.

Tholabi menyebutkan, salam lintas agama tentu harus ditempatkan pada porsi yang tepat. Hal ini berkaitan dengan pelaksanaan fatwa yang dikeluarkan MUI.

Menurut dia, tak mungkin dan tidak lazim salam lintas agama dilakukan dalam forum internum umat Islam, seperti dalam Khotbah Jumat atau pengajian keagamaan yang hanya dihadiri oleh internal umat Islam. Namun, kata Tholabi, menjadi hal lazim salam lintas umat beragama dilakukan di forum publik.

"Apalagi dalam forum yang diselenggarakan oleh lembaga publik pemerintahan atau forum-forum resmi lintas agama lainnya. Itu konteksnya forum eksternum, publik. Ini menjadi bagian dari ikhtiar membangun harmoni antarumat beragama,” demikian tutup Tholabi seperti dilansir laman Kemenag.rajamedia

Komentar: