Politik

Info Haji

Parlemen

Hukum

Ekbis

Nasional

Peristiwa

Galeri

Otomotif

Olahraga

Opini

Daerah

Dunia

Keamanan

Pendidikan

Kesehatan

Gaya Hidup

Calon Dewan

Indeks

YLBHI: Premanisme Itu Wajah Gelap Kekuasaan!

Laporan: Halim Dzul
Sabtu, 28 Juni 2025 | 11:27 WIB
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhamad Isnur - Tangkapan Layar -
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhamad Isnur - Tangkapan Layar -

RAJAMEDIA.CO -  Jakarta, Polkam – Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhamad Isnur, membuka mata publik soal realitas gelap premanisme dalam webinar nasional bertajuk Menyoal Efektivitas Satgas Anti Premanisme dan Ormas Bermasalah, Jumat (27/6/2025).
 

Dengan nada tajam, Isnur menegaskan bahwa premanisme bukan sekadar tindakan kriminal, tapi wajah lain dari kekuasaan informal yang justru sering mendapat tempat dalam sistem negara.
 

“Premanisme sering dilegalkan secara kultural dan bahkan fungsional oleh aparat atau elite. Ia bukan di luar sistem, tapi justru bagian dari orbit kekuasaan,” tegas Isnur, mengutip studi “Politik Jatah Preman” karya Ian Douglas Wilson.
 

Satgas Banyak Gebyar, Minim Evaluasi
 

Isnur mengkritik keras model satgas yang terbentuk dengan gaya gempita, namun hilang tak berbekas.
 

“Satgas di Indonesia sering berumur pendek. Lahir dengan gebyar, tenggelam dalam senyap,” ujarnya lugas.
 

Ia menyebut Satgas Saber Pungli dan Satgas Judi Online sebagai contoh. Banyak yang hanya hidup di media, tapi nihil hasil di lapangan. “Kita butuh sistem, bukan simbol,” katanya.
 

Negara Diam, Hukum Tidak Konsisten
 

Menurut Isnur, negara kerap menjadi penonton dalam maraknya praktik kekerasan yang berkedok premanisme. 

 

Ia mencontohkan kasus sweeping diskusi dan intimidasi terhadap perusahaan seperti People Water di Bali—bukan aksi kriminal biasa, tapi bentuk pengendalian sosial oleh kelompok yang seolah kebal hukum.
 

“Premanisme dibiarkan tumbuh, lalu digunakan untuk membungkam atau menjaga kepentingan tertentu,” bebernya.
 

Ia juga menyoroti inkonsistensi hukum, di mana kasus kekerasan sering tidak diselesaikan dengan KUHP yang sudah ada, tetapi justru memunculkan satgas baru setiap kali ada kegaduhan.
 

Regulasi Ormas Terlalu Birokratis
 

Dalam konteks ormas, Isnur mengkritik keras pendekatan hukum yang terlalu administratif. Menurutnya, negara seharusnya cukup mengakui ormas lewat status “terdaftar”, bukan harus berbadan hukum, agar organisasi akar rumput tidak tersingkir karena persoalan teknis.
 

Ia juga mendorong agar pembinaan ormas tidak hanya dilakukan oleh Kemendagri, tetapi juga Kemenag dan lembaga lainnya, tergantung pada karakter ormas tersebut.
 

Rule of Law, Bukan Rule of Noise
 

Isnur menutup pemaparannya dengan seruan agar negara kembali pada jalur hukum yang adil dan konsisten. Bukan hukum yang lahir karena tekanan viral, tapi hukum yang tegak meski sunyi.
 

“Negara demokratis tidak cukup hanya membuat aturan. Ia harus hadir sebagai fasilitator keadilan, bukan penjaga kekuasaan,” pungkasnya.rajamedia

Komentar: