Politik

Info Haji

Parlemen

Hukum

Ekbis

Nasional

Peristiwa

Galeri

Otomotif

Olahraga

Opini

Daerah

Dunia

Keamanan

Pendidikan

Kesehatan

Gaya Hidup

Calon Dewan

Indeks

Personal Branding Calon Kepala Daerah

Oleh: Deden Bahtiar Rifa’i
Rabu, 09 Oktober 2024 | 12:44 WIB
Ilutrasi personal branding. [Foto: Medsos]
Ilutrasi personal branding. [Foto: Medsos]

RAJAMEDIA.CO -  Opini Politik - Rangkaian kegiatan pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak tahun 2024 sudah berjalan sejak beberapa bulan lalu. Calon kepala daerah di seluruh propinsi dan kabupaten/kota sudah ditetapkan oleh komisi pemilihan umum pada tanggal 20 September 2024 dan 43 diantaranya merupakan calon tunggal (melawan kotak kosong). 

 

Pasangan calon kepala daerah mayoritas didukung oleh koalisi partai-partai atau hanya didukung oleh satu partai. Keputusan Mahkamah Konstitusi No. 60/PUU-XXII/2024 yang diakomodir dan dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum memberikan peluang kepada partai-partai yang perolehan suara pada pemilu legislatif di bawah 20% sehingga beberapa diantaranya pesimis tidak dapat mengajukan calon berubah menjadi optimistis. 

 

Kendati demikian, para calon kepala daerah terus berusaha mendapatkan dukungan dari partai politik sebanyak-banyaknya. Banyaknya dukungan partai politik yang perolehan suara dalam pemilu sangat signifikan akan berpengaruh terhadap pemenangan kontestasi pilkada. 

 

Paling tidak, partai politik pengusung telah menyediakan mesin-mesin politik yang siap dioperasikan. Pertanyaannya kemudian, apakah mereka cukup hanya mengandalkan kekuatan tim pemenangan dari partai politik? Jawabannya tentu “tidak”. 

 

Elektabilitas seorang kandidat merupakan hasil dari pengembangan kapasitas diri seseorang yang terpublikasikan dan mempengaruhi asumsi publik bahwa dia layak untuk dipilih. Performa pribadi bisa muncul secara alami atau dilakukan melalui proses desain khusus. 

 

Kita tentu ingat ketika Joko Widodo pertama kali muncul di media sebagai walikota terbaik dengan gaya kesederhanaannya, warga DKI Jakarta saat itu langsung memberikan pilihannya dan mengantarkan Joko Widodo, yang akrab disapa Jokowi, sebagai gubernur DKI Jakarta mengalahkan petahana gubernur Fauzi Bowo. Dan tak lama berselang, masih dalam masa jabatannya sebagai gubernur, berdasarkan hasil beberapa survey, Jokowi menempati posisi elektabilitas paling tinggi sebagai calon presiden diantara tokoh nasional lainnya. 

 

Elektabilitas ini tentu tidak lepas dari branding yang melekat pada dirinya. Branding yang melekat pada Jokowi antara lain: Pemimpin Sederhana, Melayani dan Dekat dengan Rakyat. 

 

Sebelumnya, Barrack Hosein Obama mampu mem-branding dirinya dengan kata “CHANGE” yang diidentikkan dengan pribadinya yang enerjik, dinamis dan berpikir maju. Sehingga preferensi rakyat Amerika Serikat tersugesti akan perubahan. Apalagi saat itu ekonomi Amerika Serikat sedang dalam kondisi deficit anggaran. 

 

Maka, rakyat membutuhkan pemimpin yang kompeten untuk memperbaiki ekonomi negaranya. Dudi Mardiyansyah (2014: 54) menyebutkan bahwa personal branding dapat dibangun dengan memperkuat figur otoritas yang merupakan kekuatan sinergi antara kompetensi dan karakter. Sejalan dengan konsep figur otoritas, R. William Liddle (2021: 200) menyebutkan bahwa personal branding Obama diperkuat oleh karismanya. Daya Tarik luar biasa yang dimiliki seseorang sebagai bakat bawaan. 

 

Liddle lebih lanjut menjelaskan bahwa konsep karisma terlebih dahulu diperkenalkan oleh sosiolog asal Jerman, Max Weber, yang bermaksud menyoroti sejenis kekuasaan istimewa yang dimiliki hanya oleh para nabi dan raja yang mampu merombak total dunia mereka.

 

Karisma Obama terbentuk oleh proses sosialisasi dengan pembawaan sikapnya yang selalu senyum dan memiliki gaya komunikasi yang memukau audien. Jawaban-jawaban yang lugas, tegas dan dianggap mampu memberikan solusi terhadap permasalahan di Amerika Serikat saat itu. Alhasil, Obama memenangi sejumlah pemilihan di internal partai demokrat dan kemudian memenangi electoral di sejumlah negara bagian. Dengan demikian karisma seseorang dapat berpengaruh terhadap tingkat elektabilitas politik seorang calon kepala negara/daerah.

 

Berdasarkan catatan pilkada-pilkada sebelumnya di berbagai daerah di Indonesia, kita dapat belajar bagaimana personal branding terbentuk dan melekat pada pribadi seorang calon kepala daerah. Pada daerah-daerah yang masih memegang teguh tradisi adat  dan penghormatan terhadap tokoh tertentu, seorang tokoh akan lebih mudah mendapatkan simpati public dibanding tokoh politik lainnya, misal di propinsi Yogyakarta, Aceh, Banten, Jawa Timur dan beberapa daerah lainnya. 

 

Tetapi mayoritas calon kepala daerah menyematkan merek diri (personal branding) dengan prestasi yang diraih, pencapaian kinerja, artis populer dan kerja sosial yang memperjuangkan hak-hak rakyat yang terpublikasikan secara luas. Maka pantas saja jika banyak calon kepala daerah menjadikan artis populer sebagai pasangan wakilnya.

 

Paslon Walikota/Wakil Walikota Bekasi

 

KPU Kota Bekasi telah menetapkan secara resmi tiga pasangan calon walikota dan wakil walikota serta telah melakukan pengundian nomor urut masing-masing calon secara transparan. Mereka antara lain: Heri Koswara – Solihin dengan nomor urut 1, Uu Saiful Mikdar – Nurul Sumarheni dengan nomor urut 2, dan Tri Adhianto Tjahjono – Abdul Haris Bobihoe dengan nomor urut 3. 

 

Ketiga pasang calon merupakan tokoh yang memiliki pengalaman baik dalam politik maupun pemerintahan. Heri Kowara, Solihin, dan Abdul Haris Bobihoe adalah politisi yang berkiprah di parlemen dengan daerah pemilihan wilayah Kota Bekasi, sementara Uu Saiful Mikdar dan Tri Adhianto memiliki pengalaman sebagai birokrat di lingkungan Pemerintah Kota Bekasi, dan Nurul Sumarheni juga mantan komisioner KPU Kota Bekasi selama dua periode. 

 

Secara umum, mereka adalah tokoh masyarakat Kota Bekasi, tetapi belum memiliki personal branding yang benar-benar dikenal oleh masyarakat. Sehingga ketiga pasangan calon harus bekerja keras untuk mensosialisasikan visi, misi dan program kerja kepada calon pemilih. Namun sampai saat ini, penulis belum melihat pasangan calon yang menawarkan program pembangunan yang fenomenal dan keluar dari zona nyaman yang normatif untuk mencapai hasil yang fantastis. 

 

Ketiganya masih terjebak dalam ranjau pragmatisme politik elektoral sehingga belum muncul calon walikota dengan figur otoritas atau karisma dominan yang menjadi pilihan mantap mayoritas masyarakat Kota Bekasi. 

 

Angka elektabilitas mereka masih bersifat nisbi dan fluktuatif. Dengan demikian, mesin politik dan logistik yang dioptimalkan secara efektif dan strategis akan menjadi faktor kemenangan diantara mereka. 

 

Membangun personal branding adalah salah satu cara mempengaruhi pemilih dengan komunikasi bawah sadar secara masif sehingga masyarakat berkeyakinan bahwa calon pilihannya mampu melakukan perubahan yang dahsyat untuk kehidupan mereka dan kemajuan kotanya. Wallahu a’lam.

 

*Penulis adalah Ketua Umum BPP Hippernas dan Founder Yayasan Pratama Insan Prestasi        rajamedia

Komentar: