Mengembalikan Marwah Pendidikan
RAJAMEDIA.CO - Opini - SEJATINYA pendidikan dapat menjamin lahirnya generasi emas dengan kecakapan yang dibutuhkan, baik sebagai pribadi, bagian dari masyarakat, juga sebagai mahkluk Tuhan dengan tingkat keimanan dan ketaqwaan yang tinggi.
Keberadaan lembaga pendidikan hadir sebagai institusi yang dapat membentuk peserta didik menjadi pribadi utuh, memiliki bekal pengetahuan luas dibarengi dengan skill psikomotorik dan pada saat yang lain mampu menunjukkan sebagai pribadi yang berakhlak al-karimah, serta tingkat keta’atan dan ketaqwaannya yang tinggi kepada Sang Khaliq.
Dalam rangka mencapai tujuan pendidikan tersebut banyak bermunculan kebijakan yang diterapkan, misalnya: penerapan otonomi sekolah/madrasah atau manajemen berbasis sekolah (school based management) dengan target pengembangan dan kemandirian sekolah/madrasah.
Kebijakan penerapan kurikulum berbasis kompotensi (2004), kurikulum tingkat satuan pendidikan (2006), kurikulum 2013, dan kurikulum merdeka. Bentuk pengembangan kurikulum yang menitikberatkan pada ketercapaian kompetensi, berpusat pada peserta didik (student active learning) dengan proses yang lebih bermakna (meaning full learning), dan mengacu pada standar-standar pendidikan yang ditetapkan secara nasional, sebut saja standar lulusan, standar isi, standar proses, dan standar evaluasi atau asessmen.
Secara substansial, kurikulum tersebut memiliki ruh yang sama, yakni bagaimana tujuan, konten materi, proses, dan evaluasi pembelajaran dapat menjamin pemenuhan kompetensi yang diharapkan, yakni peserta didik yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berarkhlak mulia, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Munculnya berbagai kebijakan tersebut disinyalir lahir sebagai respon atas berbagai tuntutan masyarakat, dunia industri, dan perkembangan ilmu pengetahuan. Dengan kata lain, pendidikan harus menunjukkan eksistensinya sebagai media yang bisa mengantarkan anak bangsa dapat mengarungi kehidupannya secara layak dan penuh tanggung jawab.
Adanya kemerdekaan berpendapat, berekspresi seharusnya tidak boleh “mengganggu” atau menciderai kebijakan pembelajaran yang diterapkan di lembaga pendidikan.
Guru sebagai Pengawal Pendidikan
Menjadi ironis ketika keberadaan pendidikan tidak mampu menunjukkan jati dirinya sebagai lembaga pengawal pembentuk karakter. Bahkan ada banyak kejadian yang seakan “menampar” wajah pendidikan sendiri, seperti pristiwa pembakaran sekolah, penganiayaan guru yang dipicu rasa sakit hati dan kurang perhatian.
Peristiwa penurunan karakter yang kian hari menyimpang cukup memberi gambaran bahwa sekolah/madrasah bukan satu satunya lembaga yang bertanggung jawab terhadap nilai karakter. Lunturnya adab dan akhlak pada anak bukan juga karena didikan orangtua yang keliru. Persoalan etika, kedaban, dan akhlak al-karimah adalah persoalan bersama yang harus selalu tegak lurus, dilaksanakan oleh semua pihak.
Pelaksanaan pendidikan dapat berjalan efektif manakala unsur pranata kelembagaan pendidikan mampu menunjukkan posisi dan fungsinya secara benar.
Pertama, keluarga; kelembagaan pendidikan informal yang memiliki peran stratgis dalam mengawal keberlangsungan pendidikan agama dan kebiasaan positif. Tidak ada kelembagaan pendidikan yang paling utama, ketimbang keluarga itu sendiri. Cermin pendidikan peserta didik akan sangat dipengaruhi oleh keberadaan keluarganya.
Orangtua adalah guru pertama yang dapat menjamin keberlangsungan pendidikan anak-anaknya. Pada aspek pengenalan konsep, nilai spiritual agama, dan pembentukan habit positif sudah seharusnya menjadi wilayah tanggung jawab keluarga. Selanjutnya akan diperkuat pada wilayah pendidikan berikutnya.
Kedua, sekolah/madrasah; kelembagaan pendidikan formal sebagai kelanjutan dari pendidikan keluarga. Sebagai pendidikan formal tentu saja ada banyak aturan yang ditetapkan, baik pada aspek kurikulum, pembelajaran, kegiatan ekstrakurikuler, dan program lain guna menopang tercapaiannya tujuan pendidikan.
Selain lingkungan belajar yang nyaman dan menyenangkan, guru dipahami sebagai pendidik profesional yang dapat menjadi cermin kedua setelah keluarga, keberadaannya harus menjadi suritauladan yang baik bagi peserta didik.
Ketiga, masyarakat atau lingkungan adalah kelembagaan yang memiliki andil besar dalam pendidikan. Oleh karenanya, keberhasilan dan ketercapaian tujuan pendidikan dapat dipenuhi manakala semua kelembagaan pendidikan bisa saling mengisi, bekerjasama, melengkapi, dan melakukan komunikasi efektif terkait dengan pengembangan pendidikan.
Terlepas dari posisi sebagai guru di rumah (keluarga) atau lembaga pendidikan, seorang pendidik harus mampu menunjukkan pribadinya sebagai al-murabbi, al-muallim, al-muzakki, al-rasikhun fi al-‘ilm, al-muaddib, dan ulul al-bab. Al-Murabbi dipahami sebagai sosok guru yang terus berusaha memberikan pendampingan, bimbingan, problem solving kepada peserta didik, sehingga kegiatan yang dilakukannya tersebut dapat berimplikasi pada perubahan perilaku.
Al-Mu’allim, guru yang terus belajar dan menyampaikan informasi pengetahuan secara terbuka kepada para peserta didik. Al-Rasikhuna fi al-‘ilm, sosok guru yang memiliki kedalaman ilmu pengetahuan, seorang yang terus melakukan kajian (penelitian) seiring dengan tuntutan perubahan.
Al-Muzakki, guru yang menunjukkan dirinya sebagai pribadi bersih, suci dari hal kemaksiatan, sosok yang selalu menjadi cermin kebaikan peserta didik. Al-Muaddib, dapat dipahami sebagai proses pembentukan nilai keadaban, budi pekerti, dan akhlak peserta didik melalui pembiasaan.
Berbagai istilah yang dinobatkan pada guru tersebut semakin menguatkan posisinya sebagai profesi yang erat kaitannya dengan sederetan kompetensi, baik yang berkaitan dengan teaching skill, sebagai pembelajar yang harus terus belajar, pribadi yang punya tanggung jawab kepada orangtua dan masyarakat, pribadi yang harus menjadi teladan bagi para peserta didik.
Al-hasil, dengan berbagai bentuk keragaman proses pendidikan yang dilakukan, keberadaanya harus dipahami sebagai upaya untuk menguatkan perilaku peserta didik (sosial spiritual), mencerahkan dengan beragam ilmu pengetahuan, dan menyipakan skill kemampuan sebagai bekal kehidupan yang lebih layak.
Proses pendidikan tersebut tentu perlu dilakukan secara terpadu oleh berbagai pihak, saling memberikan kontribusi, dan mengerti akan posisi dan perannya masing-masing dalam mengawal pendidikan yang lebih bermutu.
Penulis: Direktur Pendidikan Yayasan Syarif Hidayatullah Jakarta, Guru Besar Bidang Pengembangan Kurikulum FITK UIN Jakarta
Info Haji 3 hari yang lalu
Politik | 6 hari yang lalu
Parlemen | 6 hari yang lalu
Hukum | 3 hari yang lalu
Nasional | 6 hari yang lalu
Nasional | 5 hari yang lalu
Politik | 6 hari yang lalu
Opini | 4 hari yang lalu
Olahraga | 6 hari yang lalu
Nasional | 5 hari yang lalu