Menakar Kemampuan Jokowi menjadi 'King Maker' di Pilpres 2024
Raja Media (RM), Opini - Rangkaian peristiwa dan pernyataan politik sarat makna, terjadi dalam beberapa hari terakhir.
Yang mungkin bisa diawali dari munculnya berbagai dukungan partai politik (parpol) ke Ganjar Pranowo, mulai dari PSI, PAN dan PPP walau belum secara resmi, kecuali PSI yang bukan partai parlemen.
Kemudian diikuti oleh pernyataan kesanggupan sebagai calon presiden (capres) oleh Ganjar Pranowo, yang menjadi perhatian media.
Dan adanya permintaan Presiden Jokowi yang meminta Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) untuk cepat-cepat mendeklarasikan capresnya, pada acara Peringatan Ultah ke-58 Partai Golkar.
Yang terbaru adalah keluarnya sanksi oleh DPP PDIP kepada Ganjar Pranowo, terkait dengan pernyataan kesiapan untuk capres.
Peristiwa-peristiwa tersebut terjadi secara berurutan dan cepat, yang tentu saja sangat layak untuk mendapat perhatian.
Ada benang merah dari semua peristiwa tersebut, yaitu kedekatan Presiden Jokowi dengan Ganjar Pranowo, yang sudah menjadi pemahaman umum juga adalah sosok yang sangat 'diingini' sebagai penerus estafet kepemimpinannya di periode 2024-2029.
Jokowi memiliki kepentingan besar terhadap keberlangsungan beberapa program, setelah masa jabatannya habis, seperti IKN dan pembangunan infrastruktur.
Oleh karena itu, tidak akan mungkin dia tidak menyiapkan orang untuk itu dan saat ini Ganjar Pranowo adalah sosok yang berada pada list teratas, walau masih ada nama Erick Thohir dan mungkin saja Prabowo Subianto.
Jokowi akan memperjuangkan list paling atas itu, tetapi tentu tidak mudah.
Karena berdasarkan sistim pemilu di Indonesia, penyedia tiket adalah partai politik, yang dipersempit lagi dengan Presidential Threshold yang sangat tinggi, yakni 20 persen kursi parlemen.
Menyebabkan hanya PDIP lah yang bisa mengusung sendiri, sisanya harus bergabung guna memenuhi itu.
Akan menjadi mudah sebenarnya, karena Jokowi sebagai 'Petugas Partai' PDIP selaras dengan Ganjar yang juga kader PDIP.
Tetapi petugas partai tentunya tidak memiliki kekuasaan seperti 'Owner Partai', yang dalam hal ini adalah Megawati Sukarnoputri.
Jokowi memerlukan pendekatan dan komunikasi yang indept dengan Megawati untuk mengendorse Ganjar, walau kemungkinan berhasilnya sangat tipis mengingat ada juga sosok Puan Maharani, yang merupakan Co-Owner di PDIP.
Sulit untuk menepikan Puan pada pilpres saat ini, karena faktor kesempatan dan usia Puan yang sedang pas-pas nya untuk mencalonkan diri.
Jika Puan menepi dan memberi jalan ke Ganjar, maka ada kemungkinan dia harus menunggu 10 tahun lagi dan asumsi Ganjar menang di Pilpres 2024.
10 tahun bukan waktu yang sebentar untuk menunggu, sementara usia kian bertambah.
Jokowi pasti sangat menyadari sulitnya mendorong Ganjar dari PDIP, dan itu sudah berkali-kali dicoba, hasilnya mental.
Yang terakhir, Ganjar malah mendapat sanksi dari PDIP karena pernyataannya yang siap untuk dicalonkan.
Opsi lain sebenarnya juga sudah disiapkan oleh Jokowi, yakni melalui Koalisi Indonesia Bersatu (KIB), yang juga bukan rahasia umum lagi peran Jokowi dalam membentuk koalisi yang terdiri dari Golkar, PAN dan PPP itu.
Melalui koalisi itu, Jokowi berharap dan bergerak untuk memuluskan langkah Ganjar.
Kita lihat akhir-akhir ini, banyak suara-suara dari PAN dan PPP yang mengusung Ganjar, walau belum resmi.
Kecuali Golkar yang masih tetap mencoba peluang Airlangga, PAN dan PPP sendiri sebenarnya tidak terlalu lekat dengan Ganjar.
Berdasarkan hasil survey, pemilih PAN masih banyak yang lebih setuju kepada Anies Baswedan. Begitu juga dengan PPP, suarnya juga terpecah antara Ganjar dan Anies.
Namun jika Jokowi dengan 'kemampuan dan tekanannya' berhasil memasukkan nama Ganjar, bukan berarti langkah Ganjar akan mulus untuk menjadi presiden.
Pada Peringatan Ultah ke-58 Golkar, Hari Sabtu (22/10) kemarin, Jokowi secara terbuka meminta kepada Golkar, PAN dan PPP untuk segera mengumumkan capres dan cawapresnya.
Yang tentunya sosok yang diinginkan adalah Ganjar Pranowo dengan cawapresnya bisa Airlangga Hartarto atau mungkin Erick Thohir yang juga disebut-sebut sudah disiapkan oleh Jokowi.
Permintaan Jokowi itu pasti saja tidak akan mudah untuk langsung diamini oleh KIB, terutama Golkar yang merupakan partai yang sarat pengalaman.
Golkar, PAN dan PPP akan berhitung lebih matang, terutama untuk potensi kemenangan.
Ganjar tanpa PDIP, sudah pasti tidak akan sekuat jika dengan dukungan PDIP. Kekuatan Ganjar akan menjadi berkurang mungkin sampai separuh, kalau tanpa dukungan PDIP.
Sebagai 'pimpinan' koalisi, Ketum Golkar Airlangga Hartarto sudah mencoba memastikan soal dukungan PDIP ini.
Airlangga sedikitnya sudah dua kali bertemu Megawati, tentunya saja membawa opsi bergabungnya KIB dengan PDIP tentunya untuk mendukung opsi Ganjar-Airlangga.
Kalau secara kasat informasi, sepertinya upaya itu belum mendapat lampu hijau dari Megawati.
Prabowo Opsi Kedua
Sampai saat ini, Jokowi sangat menyadari kesulitan-kesulitan untuk mengusung Ganjar, walau waktu masih panjang dan dinamika terus bergulir.
Yang jelas, pasti ada 'Plan B' yang sudah dipersiapkan, untuk saat ini kemungkinan besar adalah mendorong Prabowo Subianto.
Walau tidak segahar Ganjar jika didukung PDIP, elektabilitas Prabowo juga tidak jelek-jelek amat.
Prabowo sampai setakad ini masih bertengger di 3 besar survey lembaga manapun, namun banyak pengamat mengatakan elektabilitas Prabowo cenderung stagnan, bahkan mengalami penurunan.
Bagi Jokowi, mengendorse Prabowo jelas lebih mudah, karena Prabowo merupakan Ketum Gerindra yang merupakan partai nomor 3 terbesar di parlemen.
Kekurangan elektabilitas Prabowo, tinggal ditambal dengan mencari cawapres yang bisa membawa elektoral lebih.
Untuk ini, yang paling memungkinkan dan paling dilirik tentunya adalah warga NU sebagi Ormas Keagamaan terbesar di Indonesia.
Masa-masa bulan madu Jokowi dengan NU masih ada, bahkan kian mesra.
Akan sangat berpengaruh besar jika Jokowi langsung yang memilih cawapres untuk Prabowo dari kalangan NU.
Ada beberapa nama yang sudah siap 'mewakili' NU, sebut saja Muhaimin Iskandar, Yahya Cholil Staquf, Erick Thohir dan Mahfud MD.
Semuanya memiliki sejarah kedekatan dengan Jokowi.
Dari nama-nama itu, tentu yang paling berpeluang adalah Muhaimin Iskandar, karena posisinya saat ini sebagai Ketum PKB.
Dengan koalisi yang sudah terjalin antara Gerindra dengan PKB, maka menduetkan Prabowo dengan Muhaimin sepertinya semudah membalik telapak tangan.
Tapi tunggu dulu, kalau memang semudah itu, kenapa sampai saat ini Koalisi Gerindra-PKB terlihat masih gamang?
Ada beban yang sangat besar yang dibawa oleh Muhaimin, yakni elektabilitas yang sangat rendah.
Serta membawa beban hubungan yang buruk dengan Strutural PBNU dan Kelompok Gusdurian.
Bagaimana bisa berharap suara warga NU bisa mendongkrak Prabowo, jika Muhaimin sendiri memiliki masalah dengan 2 instrumen terbesar di NU tersebut.
Prabowo-Erick Pilihan Paling Rasional
Hitung-hitungan Jokowi jelas, jika ingin Prabowo menang maka wakilnya harus harga mati dari kalangan NU atau yang bisa mewakili NU.
Jika bicara warga NU, pasti itu adalah domainnya PBNU yang saat ini dipimpin oleh Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya.
Ini juga sebuah pilihan, tapi Gus Yahya sudah terlebih dahulu menyatakan tidak akan ikut dalam kontestasi pilpres.
Sebuah komitmen ketika mau maju sebagai Ketum PBNU, yang sampai sekarang masih diulang-ulang.
Ada satu nama yang sangat berpeluang, yaitu Menteri BUMN Erick Thohir.
Walau tidak dikenal sebagai NU Kultural, tapi Erick memiliki kedekatan yang sangat dalam dengan NU, khususnya PBNU dan turunannya seperti GP Ansor dan Banser.
Sebenarnya nama Erick bukanlah nama alternatif, Erick sudah sejak lama diketahui sebagai salah satu menteri kesayangan Jokowi yang juga dipersiapkan untuk melanjutkan kepemimpinannya.
Erick memiliki beberapa kelebihan, yang utama tentunya dukungan langsung dari Presiden Jokowi.
Kemudian Erick sudah menjadi bagian dari keluarga besar NU, bahkan untuk Peringatan Harlah NU 2023, Erick menjadi sosok terpenting yakni sebagai Ketua Pengarah (SC).
Erick juga tidak memiliki resistensi dengan kelompok Gusdurian, bahkan cenderung memiliki sejarah keakraban.
Dan jangan lupa, Erick memiliki sumberdaya 'amunisi' yang kata beberapa pengamat bisa tidak terbatas.
Hanya satu kekurangan yang dimiliki sosok kepercayaan Jokowi itu, yakni tidak memiliki partai pengusung.
Walau beberapa waktu terakhir, kita lihat Erick sudah mencoba menjalin komunikasi dengan beberapa partai, seperti PAN dan PPP.
Tapi jika ingin memaksimalkan suara dari kalangan Nahdliyin, mau tidak mau PKB harus ikut dalam gerbong pengusung.
*Penulis adalah Direktur Eksekutif Center for Strategic on Islamic and International Studies (CSIIS)
Info Haji 4 hari yang lalu
Politik | 6 hari yang lalu
Parlemen | 6 hari yang lalu
Nasional | 6 hari yang lalu
Hukum | 3 hari yang lalu
Nasional | 5 hari yang lalu
Opini | 3 hari yang lalu
Politik | 6 hari yang lalu
Opini | 5 hari yang lalu
Opini | 4 hari yang lalu