Membaca Legasi Maulana Hasanuddin: Ikhtiar Menghidupkan Ingatan Kolektif

RAJAMEDIA.CO - “Membaca Legasi Maulana Hasanuddin adalah menyelami denyut sejarah yang hidup—karena kepemimpinan sejatinya bukan soal memahat nama di masa lalu, tapi merawat akal sehat dan keberanian untuk menyalakan masa depan.”
Dalam derasnya peradaban modern yang melaju cepat, sejarah kerap terpinggirkan—dipandang sebagai rekaman masa lalu yang kering dan tak relevan bagi kehidupan kontemporer. Namun, buku Legasi Maulana Hasanuddin Banten karya Prof. Mufti Ali, Dr. Moh. Ali Fadillah DEA, dan Brigjen TNI Fierman Sjafirial Agustus hadir sebagai oase pemikiran di tengah arus modernitas yang kerap melupakan akar dan identitas.
Karya ini bukan sekadar catatan historis atau biografi seorang tokoh, melainkan suluh intelektual yang mengajak kita merenungi ulang makna kepemimpinan, kebudayaan, dan warisan kebangsaan melalui tafsir mendalam yang menyala.
Buku ini menempatkan Maulana Hasanuddin bukan sebagai figur mitologis atau tokoh legenda yang dikultuskan, tetapi sebagai ulama-politikus visioner yang berhasil memadukan nilai-nilai keislaman moderat dengan strategi politik dan ekonomi yang cerdas. Ia membangun fondasi peradaban yang kokoh di Banten.
Dengan pendekatan interdisipliner dan kajian kritis atas sumber primer—dari naskah Pegon hingga artefak arkeologis—karya ini menegaskan bahwa warisan Hasanuddin melampaui ranah spiritual dan religius, masuk ke dalam ranah tata kota, pengelolaan pelabuhan, dan jejaring perdagangan internasional yang menghubungkan Banten dengan dunia luas.
Dalam konteks ini, Legasi Maulana Hasanuddin menjadi lebih dari sekadar catatan masa lalu; ia merupakan refleksi atas model kepemimpinan berbasis nilai yang mendesak untuk diaplikasikan dalam tata kelola pemerintahan masa kini. Kepemimpinan bukan semata simbolik, tetapi organisasi peradaban yang menjembatani spiritualitas, ekonomi, dan literasi politik.
Namun, buku ini tidak berhenti pada deskripsi atau pujian. Dengan ketajaman akademik dan integritas metodologis, ia membuka ruang dialog kritis: bagaimana warisan Hasanuddin hidup dan berkembang dalam realitas sosial-politik Banten hari ini? Ia menantang pembaca untuk tidak sekadar membaca sejarah, tetapi menghidupkannya—melalui integrasi nilai-nilai ke dalam pendidikan, kebijakan publik, dan kebudayaan.
Di era yang sarat tantangan dan perubahan, membaca legasi seperti ini adalah keniscayaan. Bukan sekadar untuk mengenang, tetapi untuk merancang masa depan. Sebab, sebagaimana kita pelajari dari Maulana Hasanuddin, kepemimpinan sejati adalah meninggalkan jejak hidup yang memberi arti, bukan sekadar nama yang diukir di batu prasasti.
Ikhtiar Menghidupkan Ingatan Kolektif
Dalam derasnya globalisasi dan modernisasi yang serba cepat, sejarah kerap diperlakukan sebagai hiasan formalitas—dekorasi seremoni tanpa makna nyata. Dalam konteks itu, Legasi Maulana Hasanuddin Banten hadir dengan posisi strategis: menyusun ulang kronik bukan untuk memuja, tetapi untuk menghidupkan kembali ingatan kolektif bangsa melalui narasi sejarah yang kaya dan berlapis.
Buku ini tidak hanya memotret Hasanuddin sebagai pendiri Kesultanan Banten, tetapi sebagai simbol narasi kebangsaan yang relevan bagi tantangan dan peluang masa kini. Ia menawarkan pandangan bahwa kepemimpinan bukan hanya soal suksesi atau kekuasaan, melainkan proses integratif dan visioner yang memadukan nilai-nilai keislaman moderat dengan kecakapan politik dan manajemen ekonomi yang tangguh.
Narasi ini mengungkap bagaimana kepemimpinan Hasanuddin mencakup perencanaan kota, pengelolaan pelabuhan sebagai nadi ekonomi, pengaturan tata ruang kerajaan yang terukur, hingga pembentukan jejaring dagang yang menghubungkan Banten dengan Arab, India, Tiongkok, bahkan Eropa.
Dengan pendekatan kritis terhadap sumber primer dan sekunder, buku ini tidak hanya faktual, tetapi juga reflektif. Ia menyusun narasi yang kaya akan makna sosial-politik dan ekonomi, serta menegaskan pentingnya merawat warisan kepemimpinan yang berorientasi pada peradaban: berbasis nilai, integritas, dan visi.
Membaca Sejarah dengan Perspektif Interdisipliner
Salah satu kekuatan utama buku ini terletak pada struktur penyajiannya yang matang dan konseptual. Empat bab besar—Geohistoria Banten, Zaman Kuno, Kebangkitan Banten, dan Tapak Karya—bukan sekadar susunan kronologis, tetapi kerangka multidimensi untuk memahami Banten sebagai entitas ekologi, politik, dan spiritual yang saling bertaut.
Pendekatan interdisipliner yang diusung—dari naskah Pegon, manuskrip asing, hingga artefak arkeologis—menjadikan narasi ini tak hanya ilmiah, tetapi juga humanistik. Misalnya, dalam bab Geohistoria Banten, sejarah tidak dibaca sebagai deretan tahun dan peristiwa, melainkan sebagai ruang hidup dinamis, tempat alam, manusia, dan ideologi membentuk jalinan kehidupan.
Alih-alih melihat wilayah sebagai bentang kekuasaan semata, buku ini menempatkan ruang dan lingkungan sebagai aktor sejarah. Ini adalah cara pandang yang memperkaya pembacaan sejarah sebagai sesuatu yang hidup, berkembang, dan terus memberi makna.
Dengan struktur yang terencana dan bahasa yang mudah dicerna, buku ini menjembatani antara ketelitian akademik dan pengalaman membaca yang reflektif. Ia menjadi contoh ideal karya sejarah yang bisa dinikmati oleh akademisi, pelajar, hingga pembaca umum yang ingin memahami akar sejarah sebagai bagian dari visi masa depan.
Maulana Hasanuddin Leadership
Dalam kajian kepemimpinan Indonesia, kita sering mengimpor teori dari luar. Namun, dalam sebuah diskusi, Prof. Mufti Ali mengingatkan bahwa kita harus mulai merumuskan teori kepemimpinan yang berakar pada sejarah dan konteks lokal kita sendiri.
Dari sinilah muncul gagasan tentang Maulana Hasanuddin Leadership—bukan sekadar glorifikasi figur masa lalu, tetapi refleksi atas model kepemimpinan integratif dan lintas zaman.
Prof. Mufti menyatakan, Hasanuddin bukan pemimpin simbolik. Ia adalah organisator peradaban yang menyatukan aspek religius, ekonomis, strategis, dan literasi dalam satu bangunan kepemimpinan yang utuh. Ia tidak sekadar membangun pelabuhan sebagai titik transaksi, tetapi sebagai pusat pertukaran budaya, ilmu pengetahuan, dan diplomasi ekonomi global.
Perencanaan kota Banten pun tidak hanya bersifat fisik, melainkan sarat makna spiritual. Kota harus menjadi ruang yang mengikat manusia dengan nilai, sekaligus efisien dari sisi administrasi. Hasanuddin menunjukkan bahwa kepemimpinan sejati bersifat holistik—mencakup manusia, ruang, dan nilai.
Yang paling menarik: Hasanuddin menempatkan ilmu pengetahuan sebagai dasar kekuasaan. Ia menyadari bahwa hanya dengan literasi dan ilmu, masyarakat bisa berdaulat dan bermartabat. Ini pelajaran penting hari ini—bahwa kepemimpinan yang berakar pada ilmu akan melahirkan kemajuan yang berkelanjutan.
Maulana Hasanuddin Leadership memberi inspirasi segar: bahwa kepemimpinan bukan soal kuasa sesaat, tetapi soal meninggalkan warisan peradaban yang hidup dan mengakar. Model ini mengajak kita membangun masa depan dengan pijakan sejarah, tapi pandangan tetap ke depan—visioner, inklusif, dan berdaya saing global.
Merawat Ingatan, Menata Masa Depan
Membaca Legasi Maulana Hasanuddin Banten adalah seperti menelusuri lorong sejarah yang tidak redup oleh waktu, justru menyala sebagai lentera untuk menyusun masa depan. Buku ini bukan sekadar memori tentang masa silam, melainkan pesan kepemimpinan yang relevan—bahkan mendesak—bagi mereka yang hari ini duduk, berdiri, atau berlari di gelanggang kekuasaan.
Ditulis oleh tiga penulis dari latar yang tak lazim disatukan—akademisi, budayawan, dan prajurit—buku ini menolak menjadi sejarah yang beku. Ia menantang kita: apakah kita sekadar pewaris nama besar, atau pembaru yang sanggup menyalakan kembali semangatnya dalam bentuk baru? Di tengah dunia yang gaduh oleh wacana-wacana cepat saji, karya ini adalah ajakan untuk menoleh ke dalam, menggali akar, dan bertanya: masih adakah tempat bagi kepemimpinan yang berbasis akal sehat, nilai, dan visi?
Buku ini pantas dibaca oleh siapa pun yang hari ini berbicara tentang arah bangsa, tentang Banten ke depan, atau tentang moral kekuasaan yang mulai kehilangan cahaya. Kepada politisi muda yang bercita-cita menjadi negarawan: di sini Anda akan temukan lebih dari sekadar narasi sejarah. Anda akan temukan tantangan diam-diam: apakah Anda punya keberanian moral yang sama dengan Maulana Hasanuddin?
Legasi Maulana Hasanuddin Banten tidak selesai dibaca, ia mengendap. Ia menunggu dibaca ulang. Sebab bangsa yang besar tidak hanya menghormati sejarah, tetapi mengolahnya menjadi energi kebaruan. Mari kita buktikan bahwa warisan tidak harus menjadi beban masa lalu, tetapi bisa menjadi bahan bakar bagi langkah-langkah besar ke depan.
Legasi Maulana Hasanuddin Banten adalah ruang tafakur, tempat kita menemukan kembali makna kepemimpinan: bukan sekadar jabatan, tapi amanah. Bukan sekadar kuasa, tapi pengabdian. Ia layak dibaca ulang—bukan untuk dikenang, tetapi untuk dihidupi. Karena dalam setiap ingatan yang dirawat dengan jujur, tersimpan arah masa depan yang lebih teduh dan tercerahkan.***
Tentang Penulis:
BUNG EKO SUPRIATNO
Pembaca buku, penulis pinggiran, dan pemikir yang lebih suka bertanya daripada menjawab.
Politik | 5 hari yang lalu
Parlemen | 3 hari yang lalu
Hukum | 5 hari yang lalu
Peristiwa | 3 hari yang lalu
Politik | 1 hari yang lalu
Hukum | 1 hari yang lalu
Peristiwa | 3 hari yang lalu
Pendidikan | 5 hari yang lalu
Politik | 2 hari yang lalu