Politik

Info Haji

Parlemen

Hukum

Ekbis

Nasional

Peristiwa

Galeri

Otomotif

Olahraga

Opini

Daerah

Dunia

Keamanan

Pendidikan

Kesehatan

Gaya Hidup

Calon Dewan

Indeks

Kota Yang Kepanasan

Oleh: Tantan Hermansah
Selasa, 17 Oktober 2023 | 21:59 WIB
Foto ilustrasi. (Dok. Antara)
Foto ilustrasi. (Dok. Antara)

RAJAMEDIA.CO - Opini - Minggu atau bulan ini, kota-kota di Indonesia dilanda cuaca panas yang lebih dari biasanya. Secara spontan beberapa orang kemudian membuat istilah-istilah untuk menggambarkan suasana tersebut. Ada yang mengistilahkan dengan neraka bocor, bumi terbakar, serta istilah-istilah lain yang menunjukkan bagaimana situasi kepanasan yang tidak biasanya ini.

Merujuk analisis yang dilakukan Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG) yang menggunakan data dari 116 stasiun pengamatan BMKG, suhu udara rata-rata selama bulan September 2023 mencapai 27.0 °C. Ini melampaui suhu udara rata-rata yang biasanya terjadi pada periode 1991-2020 di Indonesia, yang mencapai 26.6 °C (dalam rentang normal antara 20.1 °C hingga 28.6 °C). Maka melihat angka-angka ini, perbedaan suhu udara rata-rata pada bulan September 2023 menunjukkan peningkatan panas sebesar 0.4 °C. Ini juga, menurut BMKG, merupakan salah satu anomali suhu udara tertinggi yang tercatat dalam sejarah pengamatan sejak tahun 1981 di Indonesia.

Dengan suhu yang demikian panas tersebut, tentu ada beberapa aspek yang perlu dipikirkan oleh bangsa ini, misalnya apakah suhu ini akan terus konstan seperti ini atau justru ini sebagai pertanda kita sedang memasuki krisis iklim di mana situasi akan tidak akan pernah seperti sebelumnya.

Coba bayangkan jika keadaan ini terus berlangsung. Sumber daya manusia maupun lingkungan akan banyak dikorbankan untuk mengatasi situasi. Misalnya hal-hal kecil seperti menyalakan alat pendingin ruangan menjadi jauh lebih lama dari biasanya, yang otomatis akan memakan biaya lebih tinggi. Karena penggunaan alat pendingin ruangan yang lebih lama pasti memerlukan energi listrik yang lebih besar pula.

Dari aspek yang sifatnya budaya, situasi  panas ini bisa memberikan pengaruh kepada kehidupan sehari-hari, baik yang sifatnya hubungan sosial, ekspresi sehari-hari, terlebih ancaman yang sifatnya fisik dan medis.

Lalu apa yang harus dilakukan?

Menurut Teori Ekologi Manusia, dalam menyikapi persoalan perubahan alam ini hanya bisa dikelola menggunakan dua pendekatan, yakni: mitigasi dan adaptasi.  

Mitigasi adalah satu dorongan untuk memperkecil risiko dalam satu tindakan atau keputusan berbasis kesadaran serta untuk membangkitkan kemampuan untuk mengatasi persoalan. Dalam konteks perubahan iklim, mitigasi misalnya dilakukan dengan cara mengatasi supaya perubahan iklim itu tidak terlalu menghasilkan dampak negatif.

Misalnya dengan membangun green building atau bahkan membuat green house dan sebagainya. Intinya mitigasi adalah upaya yang dilakukan oleh manusia dengan memaksimalkan sumber daya yang dimilikinya untuk mengatasi masalah iklim ini.

Sedangkan adaptasi merupakan tahapan untuk mengantisipasi dampak dari persoalan perubahan iklim, yang dilakukan dengan cara mencoba berdamai atau mempelajari dampak dari perubahan tersebut serta mencari cara untuk mengelolanya.

Dengan kata lain adaptasi adalah upaya meningkatkan kualitas sumber daya yang dimiliki untuk ditingkatkan kapasitasnya, sehingga memiliki kemampuan menyesuaikan diri dengan perubahan, terutama perubahan iklim. Hal ini dimaksudkan agar manusia bisa mendapatkan keuntungan dari perubahan tersebut.

Tentu saja kota-kota yang kepanasan akan berhadapan dengan dilema. Memilih melakukan mitigasi atau adaptasi,keduanya sama-sama memerlukan persiapan banyak hal. Terlebih lagi, secara teoritis dan praktis warga kota kita tidak terdidik secara sistematis menghadapi persoalan perubahan iklim.

Maka menghadapi dilema tersebut setidaknya ada beberapa hal yang meski sudah terlambat tetap bisa kita lakukan.

Pertama, mengembangkan kebijakan di seluruh sektor, tidak terkecuali, yang berbasis adaptasi atau mitigasi terhadap persoalan lingkungan dan iklim. Saat ini, persoalan lingkungan dan iklim tidak hanya diserahkan atau dikelola ke Kementerian Lingkungan Hidup semata. Tapi ini harus menjadi kebijakan yang menyeluruh, yang meliputi seluruh kementerian dan non kementerian juga Pemerintah Daerah.

Kedua, segera memasukkan kebijakan adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim ini pada sistem pendidikan, sector bisnis, keuangan, serta beragam ekosistem kehidupan lainnya. Tentu saja hal ini tidak bisa ditawar lagi, mengingat kita sedang menghadapi badai ancaman, yang jika tidak segera disikapi, akan menentukan masa depan umat manusia saat ini dan di masa mendatang.

Ketiga, mengembangkan atau memperkuat kota-kota yang memiliki kesiapan baik secara mitigasi maupun adaptasi terhadap persoalan lingkungan. Sehingga model kota yang ramah ekologi ini kemudian bisa menjadi teladan bagi tata kelola maupun desain kota-kota lain di Indonesia.

Keempat, memberikan penghargaan kepada entitas yang secara sadar, sistematis dan terarah, melakukan tindakan-tindakan yang memiliki dampak positif pada lingkungan maupun masyarakat sehingga memiliki kesadaran lingkungan.

Kesimpulan

Kota yang kepanasan tentu bukan kota yang kita inginkan. Kota yang kepanasan memiliki potensi negatif baik untuk lingkungan tempat mereka tinggal, maupun bagi perilaku masyarakat. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya mengadaptasi dan memitigasi persoalan lingkungan ini dalam setiap lempengan kebijakan yang akan dikeluarkan oleh pemerintah.

Dengan kebijakan yang ramah lingkungan ini kita berharap masa depan bangsa serta peradabannya bukan hanya bisa selamat tetapi juga bisa diwariskan.

*Penulis adalah Pengajar Sosiologi Perkotaan dan Ketua Prodi S2 KPI UIN Jakarta.rajamedia

Komentar:
BERITA LAINNYA