Politik

Info Haji

Parlemen

Hukum

Ekbis

Nasional

Peristiwa

Galeri

Otomotif

Olahraga

Opini

Daerah

Dunia

Keamanan

Pendidikan

Kesehatan

Gaya Hidup

Calon Dewan

Indeks

Keyakinan Gibran, Gagalnya Pelabelan Orba Pada Jokowi

Oleh: M Sholeh Basyari
Senin, 13 November 2023 | 08:12 WIB
Presiden Joko Widodo dan anaknya Gibran Rakabuming Raka. (Foto: Dok Anadolu Agency)
Presiden Joko Widodo dan anaknya Gibran Rakabuming Raka. (Foto: Dok Anadolu Agency)

RAJAMEDIA.CO - Opini - Stabilnya posisi Prabowo Gibran dalam sejumlah survei, gagalnya kritik tajam kelompok civil society menggerakkan kesadaran publik tentang bobroknya Jokowi, menyiratkan sejumlah pesan.

Pertama, pemaksaan pelabelan Jokowi sebagai Neo Orde Baru, atau the next Soeharto, bisa dibaca sekedar respon dan pendapat individu.

Kedua, serangkaian cara baca Gunawan Mohammad (GM), Ikrar Nusa Bhakti, Denny Indrayana, serta Jazilul Fawaid dan mayoritas politisi PDIP pada keluarga Jokowi, adalah cara baca lama yang usang.

Ketiga, cara baca usang ini maksudnya adalah, perspektif yang digunakan kelompok civil society ketika menumbangkan rezim Soeharto.

Keempat, cara baca model penumbangan Soeharto, gagal total diterapkan untuk maksud serupa pada Jokowi, tidak kemakan oleh publik, karena hal tersebut lebih merepresentasikan kepentingan pribadi.

Cara baca itu pula sejatinya harus dibaca sebagai sebentuk kegagalan membaca realitas dan perubahan lanskap politik kontemporer.

Aktivis-aktivis senior semacam GM, Panda Nababan dan pada derajat tertentu Rocky Gerung, seakan berpikir di ruang hampa kritisisme.

Ruang hampa kritisisme, menara gading pemikiran yang gagal berdialektika dengan realitas kontemporer.
Memaksakan Jokowi sebagai Soeharto, dalam tempo singkat (paska vonis MK tentang batas usia capres-cawapres) atau setidaknya kurang dari satu semester terakhir, adalah (pinjam istilah Rocky Gerung), serangkaian dari parade kedunguan.

Kenapa? sebab akumulasi "dosa-dosa" Jokowi secara kuantitatif dan secara interval waktu, sangat tidak sebanding dengan dosa-dosa serupa yang dilakukan selama 32 tahun rezim orde baru.

Itulah yang menjadi musabab, kenapa tangis tersedu GM di Kompas TV, sumpah serapah Panda di banyak platform Medsos, atau tajamnya kritik Ikrar Nusa Bhakti di sejumlah talk show TV-TV berita, tumpul sebelum menyentuh Jokowi.

*Penulis: Direktur eksekutif CSIIS, Dosen Pascasarjana Unu Ponorogorajamedia

Komentar: