Politik

Parlemen

Hukum

Ekbis

Nasional

Peristiwa

Galeri

Calon Dewan

Olahraga

Opini

Daerah

Dunia

Keamanan

Pendidikan

Kesehatan

Gaya Hidup

Otomotif

Indeks

Maraton Pilpres

Oleh: Dahlan Iskan
Jumat, 26 April 2024 | 07:16 WIB
Share:
Dahlan Iskan ---
Dahlan Iskan ---

RAJAMEDIA.CO -  Disway - ANDA sudah hafal cerita ini. Banyak ditulis di medsos. Juga diajarkan di sekolah-sekolah etika. Di pengajian. Di penginjilan. Yakni soal pelari maraton atau pembalap sepeda. 

Pelari dari Afrika selalu di depan. Jauh. Meninggalkan pelari negara-negara lain. Pun yang di urutan nomor dua: jauh tertinggal di belakang si Afrika. 

Mungkin karena kelelahan si pelari Afrika mengira sudah sampai garis finish. Ia berhenti berlari. Duduk. Lalu rebahan. Gemuruh tepuk tangan ia kira merayakannya sebagai juara. 

Ketika pelari urutan kedua mendekati finish ia juga berhenti. Ia raih tangan pelari Afrika. Agar bangkit. Berlari lari. Tinggal beberapa langkah lagi mencapai finish. Maka si Afrika tetap jadi juara. Yang di urutan kedua tetap runner-up –meski kesempatan menjadi juara begitu besarnya. 

"Mengapa Anda lakukan itu?" tanya wartawan ke yang runner-up. "Saya sudah melakukan yang terbaik," jawabnya. 

"Kenapa Anda tidak mau jadi juara?" tanya wartawan lagi. 

"Untuk apa? Ia-lah yang memang layak jadi juara. Bukan saya," jawabnya lagi. 

Banyak versi cerita mirip itu. Anda pun bisa membuat versi Anda sendiri. Intinya: etika harus dijunjung tinggi. Sportivitas harus diutamakan. Juga harus dibiasakan. Bahkan diajarkan secara turun-temurun. 

Beberapa versi cerita serupa banyak muncul lagi belakangan ini. Sebelum dan sesudah putusan mahkamah konstitusi –yang menolak gugatan pasangan Anies Baswedan dan pasangan Ganjar Pranowo. Akibat penolakan itu sahlah sudah: Prabowo Subianto menjadi presiden terpilih Indonesia –dan Gibran sebagai wakil presiden. Tinggal tunggu pelantikannya Oktobet depan. 

Anda pun tahu: apa maksud cerita seperti itu dimunculkan kembali. Intinya: mengapa dalam pemilihan presiden tidak terjadi penegakan etika seperti di cerita maraton tadi. Lalu akan jadi apa bangsa ini ke depan: bangsa tanpa moralitas. 

Tentu Pilpres bukanlah sebuah lomba maraton –meski lelahnya lebih hebat. Menjadi juara maraton merupakan kebanggaan personal. Dampaknya juga lebih banyak personal. 

Beda dengan Pilpres. Juaranya akan menjadi presiden sebuah republik besar. Sang juara menentukan nasib 270 juta rakyat Indonesia. Maka dalam ”lomba balap” presiden menjadi juara bukanlah tujuan utama. Yang terpenting adalah: mau apa setelah jadi juara. 

Para calon presiden punya gagasan besar di balik keinginannya memenangkan maraton. Gagasan besar itu yang terangkum dalam sebuah ambisi. Etika dianggap menghambat ambisi. Bahkan lebih dari etika: hukum pun dilanggar demi ambisi itu. 

Mereka yang punya gagasan besar itu pasti punya alasan pembenar: mengapa etika dikalahkan. Mengapa hukum dilanggar. Alasan itu sering dibungkus dalam kemasan yang indah: demi kepentingan umum. Demi kemajuan. Demi kepentingan yang lebih besar. Demi negara. 

Maka membunuh PKI, bagi mereka, satu keharusan. Membunuh preman dianggap jalan pintas. Melakukan revolusi itu apa boleh buat. Kudeta pun punya pembenarannya sendiri. 

Sial kita saja: kalau semua pelanggaran etika dan hukum itu mereka lakukan ternyata kepentingan umumnya tetap nol. Kemajuan bangsanya tidak nyata.rajamedia

Komentar:
BERITA LAINNYA
Menko PMK, Muhadjir Effendy (Foto: Disway)
Spesialis Permenkes
Minggu, 05 Mei 2024
Donald Trumph ----
Catch Kill
Sabtu, 04 Mei 2024
Tol Meizhou menuju Xiamen yang longsor.--
Viral Longsor
Sabtu, 04 Mei 2024
Kasus korupsi di PT Timah mulai naik ke level lebih tinggi. --
Inisial B
Jumat, 03 Mei 2024
Ilustrasi dokter melakukan transplantasi ginjal-Freepik.com-
Spesialis Trisula
Kamis, 02 Mei 2024
Menkes Budi Gunadi Sadikin-Boy Slamet-Harian Disway-
Dokter Spesialis
Rabu, 01 Mei 2024