Politik

Info Haji

Parlemen

Hukum

Ekbis

Nasional

Peristiwa

Galeri

Otomotif

Olahraga

Opini

Daerah

Dunia

Keamanan

Pendidikan

Kesehatan

Gaya Hidup

Calon Dewan

Indeks

Keberkahan, Kesederhanaan dan Digitalisasi Pesantren

Oleh: Prof. Dr. Fauzan, MA
Minggu, 22 Oktober 2023 | 22:56 WIB
Ilustrasi santri menggunakan laptop. (Foto: Net)
Ilustrasi santri menggunakan laptop. (Foto: Net)

RAJAMEDIA.CO - Opini - Pesantren identik dengan lembaga pendidikan Islam tradisional yang selalu hidup dan berkembang di tengah masyarakat Indonesia.

Sejak awal kelahirannya, pesantren merupakan lembaga yang fokus mengajarkan nilai-nilai tasawuf, mempertahankan kemurnian ajaran Islam, tujuan utama pendirian lembaga inipun sederhana, yakni menyiapkan generasi muslim Indonesia yang memiliki kemampuan pendidikan agama dan berakhlak al-karimah.

Hal ini sebagaimana ungkapan Manfred Ziemek bahwa “pendidikan pesantren bertujuan untuk mempersiapkan akhlaq dan keagamaan”.  Para santri diharapkan ketika pulang ke masyarakat bisa menjadi pemimpin yang bisa mengayomi dengan kemampuan keagamaan dan akhlak yang baik.

Sebagai lembaga pendidikan sudah dikenal sejak beberapa abad lalu, pesantren sudah mampu menunjukkan eksistensinya sebagai lembaga yang mampu berkontribusi besar dalam Sistem Pendidikan Nasional. Tidak sedikit tokoh Nasional berpengaruh yang lahir dari lembaga pendidikan tradisional ini, sebut saja K.H. Abdurrahman Wahid (Gusdur), Nurkholish Madjid, dan tokoh lainnya yang memiliki andil dalam berbagai sektor.

Tujuan Pendidikan Nasional sendiri berfokus pada pilar "pembentukan manusia Indonesia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, berilmu, sehat jasmani dan rohani, serta cakap/kreatif". Target pencapaian pendidikan yang mengarahkan pada pembentukan pribadi yang santun (al-akhlak al-karimah), dengan penguasaan bidang keilmuan yang komprehenshif.

Disadari atau tidak, sejak kelahirannya pesantren  memiliki program yang sejalan dengan tujuan Sistem Pendidikan Nasional. Melalui ragam kegiatan habituasi kurikulum yang dilakukan pesantren, penguatan ilmu agama dan umum melalui beberapa jalur pendidikan, keberadaannya dipahami sebagai lembaga pendidikan yang telah menjamin terlaksananya penguatan keilmuan dan nilai karakter peserta didik.

Indikator lainnya (sekarang sudah menjadi kenyataan) banyak sekolah/madrasah yang tidak lagi melihat pendidikan secara parsial (sekolah formal), tetapi berusaha memadukan dengan pembiasaan sebagai aktifitas lainnya, termasuk munculnya sekolah berasrama (boarding school), dengan penerapan sistem full days school yang mengadopsi sistem pesantren.

Hal ini menjadi bukti bahwa kelembagaan pendidikan pesantren terus memberikan inspirasi "model" tersendiri bagi keberlangsangsungan pendidikan nasional. Keberadaannya terus diberikan ruang dan legalitas yang pasti, seiring dengan kelahiran Undang-undang Pesantren No. 18 tahun 2019 tentang Pesantren.

Dalam UU tersebut memberikan penegasan bahwa pendidikan pesantren adalah pendidikan yang diselenggarakan oleh Pesantren dan berada di lingkungan Pesantren dengan mengembangkan kurikulum sesuai dengan kekhasan Pesantren dengan berbasis kitab kuning atau dirasah islamiah dengan pola pendidikan muallimin. Keberadaanya harus dipahami sebagai sistem pendidikan nasional yang memiliki peran strategis dalam melahirkan generasi emas sesuai kebutuhan zaman.   

Secara kelembagaan, pesantren sudah memberikan kontribusi dan peran yang tidak sedikit, yaitu (1) sebagai lembaga pendidikan keagamaan (Islam); jika dulu lembaga ini hanya mampu memproduksi ahli-ahli agama dengan target ahir keilmuan Islam semata, tentu tidak pada masa sekarang.  

Pesantren sudah menawarkan gagasan tentang pentingnya integrasi keilmuan, pola yang memadukan keunggulan ilmu keislamanan (tafaqquh fil din) di pondok pesantren dengan konsep pengembangan ilmu pengetahuan yang biasa diajarkan di sekolah/madrasah. (2) secara sosial, pesantren juga sudah berusaha menunjukkan jati dirinya sebaga lembaga pendidikan inklusif dengan menghilangkan skat-skat sosial yg berkembang di masyarakat, hanya ada komponen utama dalam pesantren, yakni Kyai (ustadz) dan Santri.

Kyai berperan sebagai pendidik, pembimbing, pembina, pengasuh, panutan, sekaligus bisa sebagai orang tua. Sementara santri biasanya berposisi sebagai subjek pembelajar yg sedang mencari ilmu pengetahuan, pribadi yg masih butuh bimbingan dan pembinaan dari orang-orang di sekitarnya. Selain pondok (tempat nginap santri) dan kitab kuning, keduanya kerap menjadi unsur utama pesantren yang saling membutuhkan (patron klien) satu sama lain. 

Dari Kesederhanaan hingga Digitalisasi Pesantren

Ada banyak model pendidikan pesantren yang berkembang, dari salafi yang hanya fokus pada pengkajian kitab kuning, pesantren yang memadukan unsur kajian keislaman dan ilmu umum (sekolah/madrasah) yang dilakukan secara terpisah (sparated), hingga pendidikan pesantren yang memadukan antara kajian keilmuan agama Islam dengan ilmu pengetahuan (sains) secara utuh yang diterapkan melalui pola kurikulum terintegrasi (integrated curriculum).

Dari semua pola pesantren yang ada, ada nilai yang tidak pernah hilang dari kehidupan pesantren, yakni budaya keberkahan dan kesederhanaan. Kedua perilaku ini yang menjadi pembeda dari semua lembaga pendidikan yang lain, bahkan selalu menjadi distingsi keberlangsungan kehidupan para alumninya di berbagai lini kehidupan. Keberkahan dan kesederhanaan merupakan dua kata yang identik dengan dunia pesantren.

Konsep berkah sendiri berasal dari kata “barokah” atau berkah yang berarti karunia yang mendatangkan kenikmatan. Dalam tradisi pesantren keberkahan selalu berhubungan dengan aktifitas, perilaku yang dilakukan secara ikhlas dan berdampak pada kenikmatan berlimpah, baik secara material dan spiritual, seperti keamanan, ketenangan, kesehatan, harta, anak, dan usia.

Sementara kesederhanaan dipahami sebagai sikap sederhana, menerima apa adanya (qona’ah), tidak boros, dan memanfaatkan semua benda yang dimiliki dengan kesadaran untuk mensupport kedekatan diri dengan Allah SWT.

Walaupun demikian, pesantren yang lahir dari tengah komunitas masyarakat terus melakukan adaptasi penyesuaian dengan kebutuhan masyarakat global, terutama dalam pengelolaan dan model pengembangan kurikulum.

Sebut saja, Pesantren Al-Hamidiyah Depok yang terus melakukan transformasi pengelolaan secara modern berbasis ISO 9001:2015, memadukan konsep Santri Kitab dengan STEAMMI sebagai penciri kurikulum pesantren. Pesantren Daar el-Qolam Balaraja melakukan inovasi dengan pengembangan Program Excellent Class, Program International Class dengan mengintegrasikan model kurikulum secara terpadu serta menyiapkan lulusannya bisa melanjutkan ke luar negeri.

Pesantren As-Salafie Babakan Ciwaringin Cirebon memiliki keunggulan program tahfidz dengan metode Ilhamqu, metode menghafal al-Quran dengan target pengembangan teori kecerdasan, dan berbagai inovasi yang dilakukan pesantren di wilayah Indonesia.

Pesantren modern dengan model integrated integrated kerapkali dijadikan alternatif bagi masyarakat sebagai model pendidikan yang bisa mengantarkan peserta didik memiliki keutuhan kompetensi. Pembentukan pribadi yang memiliki akhlak al karimah, penguasaan dan pengamalan ilmu agama secara baik, serta penguasaan ilmu pengetahuan umum yang menjadi tuntutan kehidupan global.

Melalui model kurikulum tersebut sangat diharapkan santri dapat dibelakali dengan nilai-nilai kepesantrenan sebagai bekal kehidupan kelak, tetapi dengan tetap memprsiapkan santeri dengan bekal keilmuan umum yang dibutuhkan dalam mengarungi kehidupan di dunia, bahkan ada banyak pesantren yang mengawal para santrinya dapat masuk ke jenjang Pendidikan Tinggi.    

Sistem pendidikan pesantren yang selama ini hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama dan lebih menekankan sisi moralitas, hari ini  terasa sangat kurang jika sistem tersebut tidak membuka diri dengan sistem pendidikan umum yang sarat dengan nilai-nilai rasionalitas, sebagai upaya untuk menghadapi tuntutan zaman. Bagi Malik Fajar (1999; 118), bahwa sudah waktunya dicari usaha ke arah tercapainya suatu sintesa, konvergensi, atau sinergisitas, sehingga dapat dicapai kesatuan antara moralitas dan rasionalitas.

Penggabungan sistem pendidikan pesantren (local genius) sebagai satu sistem pendidikan tradisional yang telah menjadi great tradition dengan sistem pendidikan yang punya corak moderen (pendidikan umum). Lembaga ini bukan saja merupakan sub-culture yang unik, tetapi juga lembaga pendidikan Islam yang cukup relatif tua di Indonesia yang terus survive hingga sekarang, keberadaannya terus eksis sejalan dengan kemauan dan kegigihan  tokoh pendiri (Kyai).

Bagi penulis sendiri, keberadaan lembaga pesantren merupakan lembaga pendidikan keagamaan yang tidak saja menempa para santri menjadi lebih “dewasa”, kreatif, mandiri, paham terhadap ilmu-ilmu keislaman, tetapi yang lebih penting dari itu semua, para santri dibentuk dengan pola pembiasaan positif yang menjadi bekal hidup di kemudian hari.

Pembiasaan baik yang coba diberlakukan pihak pesantren, mulai dari pemanfaatan waktu (kedisplinan) selama 24 jam, salat berjamaan (tahajud dan salat sunah lainnya), mengaji, musyawarah, memasak, istirahat, bahkan dalam mengalokasikan budjet keuangan selama satu bulan.

Pada mulanya, semua aktifitas tersebut terasa berat, tapi setelah dijalankan semua berjalan apa adanya, hingga akhir masa pendidikan. Pengalaman atau tradisi baik itulah yang kemudian melekat menjadi sebuah nilai karakter. Suatu pengalaman pendidikan nilai yang tentu saja tidak didapatkan di bangku “sekolah” tapi justru dari sebuah lembaga pendidikan sederhana, yakni pesantren.

Pada saat yang lain, sebagai lembaga alternatif pendidikan keagamaan keberadaan pesantren juga perlu penyesuaian dan inovasi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sejak masa keemasan Islam (golden age) keberadaan ilmu dipahami sebagai hasil pemikiran yang secara empiris sudah teruji dan dapat bisa dibuktikan.

Oleh karenanya, ilmu sendiri tidak pernah memiliki jenis kelamin, keberadaannya harus dipelajari tanpa ada diskriminasi. Adanya perbedaan cara pandang terhadap ilmu lebih dilihat karena objeknya, bukan pada substansi ilmu sendiri.

Dalam konteks kelembagaan pesantren, semua ilmu harus dilihat sebagai satu kesatuan (integrated) yang saling melengkapi. Pola integrasi kurikulum yang memadukan antara penguatan ilmu agama (tafaqquh fil din) dan ilmu pengetahuan umum (sains) sudah menjadi kebutuhan.

Terlebih di era digital, sudah barang tentu lembaga pendidikan pesantren harus mampu memanfaatkan teknologi informasi sebagai media dan/atau sumber kegiatan pembelajaran. Semoga, pesantren terus menunjukkan eksistensinya sebagai lembaga pendidikan Islam yang terus melahirkan generasi berkualitas.

Penulis: Alumni Pesantren Pesantren As-Salafie Babakan Ciwaringin Cirebon, Pesantren Ali Maksum Krapyak Yogyakarta; Direktur Pendidikan Yayasan Syarif Hidayatullah Jakarta, Guru Besar Bidang Ilmu Pengembangan Kurikulum FITK UIN Jakarta.rajamedia

Komentar:
BERITA LAINNYA