Istigfar, Taubat, dan Perubahan

RAJAMEDIA.CO - RAMADAN adalah bulan perenungan. Bulan yang memberi kita kesempatan untuk melihat diri sendiri—bukan hanya dari apa yang tampak di luar, tetapi juga dari apa yang tersembunyi di dalam hati.
Namun, apakah kita benar-benar memanfaatkan Ramadan untuk menyucikan hati?
Kita berpuasa, tetapi masih menyimpan dendam. Kita rajin tarawih, tetapi masih gemar menyebar kebencian. Kita beristigfar, tetapi masih mengulang kesalahan yang sama.
Pertanyaannya, apakah istigfar dan taubat kita hanya menjadi ritual tahunan tanpa makna?
Makna Istigfar yang Sebenarnya
Dalam Islam, istigfar bukan hanya tentang mengucapkan Astaghfirullah berulang kali. Istigfar adalah kesadaran bahwa kita manusia yang tidak luput dari kesalahan. Bahwa kita harus terus berbenah.
Hasan Al-Bashri pernah mengingatkan, “Istigfar kita butuh istigfar. Kita meminta ampunan, tetapi masih mengulangi dosa yang sama.”
Fenomena ini tidak hanya terjadi pada individu, tetapi juga pada bangsa.
Pejabat yang tertangkap korupsi selalu meminta maaf, tetapi tetap ada kasus serupa di kemudian hari. Para elite politik berbicara soal kesejahteraan rakyat, tetapi kebijakan mereka justru menyulitkan rakyat kecil.
Jika istigfar tidak disertai perubahan nyata, apakah itu masih bisa disebut istigfar?
Taubat: Jalan Menuju Perubahan
Dalam konteks pribadi, taubat adalah komitmen untuk tidak kembali pada kesalahan yang sama. Dalam konteks bangsa, taubat berarti berani mengubah kebiasaan buruk yang selama ini dibiarkan terjadi.
Umar bin Khattab pernah berkata, “Orang yang bertaubat tetapi masih mengulangi kesalahannya, seperti orang yang mempermainkan Tuhannya.”
Kita sering melihat hal ini dalam kehidupan sosial dan politik.
Setiap tahun, pemimpin negeri ini berbicara tentang komitmen antikorupsi. Tetapi setiap tahun pula kita mendengar kasus-kasus baru.
Setiap bulan Ramadan, kita mendengar janji perbaikan ekonomi. Tetapi setelah lebaran, harga kebutuhan pokok tetap mencekik rakyat kecil.
Lalu, di mana letak taubat kita sebagai bangsa?
Kesempatan yang Tersisa
Ramadan adalah bulan refleksi. Bulan untuk kembali kepada nilai-nilai kejujuran dan keadilan.
Tetapi, apakah kita benar-benar belajar dari Ramadan?
Ali bin Abi Thalib pernah mengingatkan, “Jangan sibuk mengejar dunia hingga lupa menyiapkan bekal akhirat.”
Begitu juga dengan bangsa ini. Jangan sampai kita sibuk mengejar pertumbuhan ekonomi, tetapi mengorbankan kejujuran dan kesejahteraan rakyat.
Jangan sampai kita membangun citra religius, tetapi lupa pada nilai-nilai dasar agama: keadilan, kejujuran, dan kasih sayang.
Ramadan adalah kesempatan. Bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk bangsa.
Karena istigfar yang sesungguhnya adalah perubahan. Dan taubat yang sejati adalah tindakan nyata.
Hukum | 6 hari yang lalu
Ekbis | 4 hari yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu
Ekbis | 6 hari yang lalu
Daerah | 5 hari yang lalu
Parlemen | 6 hari yang lalu
Politik | 6 hari yang lalu
Hukum | 1 hari yang lalu
Hukum | 1 hari yang lalu