Politik

Info Haji

Parlemen

Hukum

Ekbis

Nasional

Peristiwa

Galeri

Otomotif

Olahraga

Opini

Daerah

Dunia

Keamanan

Pendidikan

Kesehatan

Gaya Hidup

Calon Dewan

Indeks

Horor Liburan

Oleh: DR. Tantan Hermansah
Senin, 23 September 2024 | 20:05 WIB
Ilustrasi kemacetan di Puncak. [Foto: Repro]
Ilustrasi kemacetan di Puncak. [Foto: Repro]

RAJAMEDIA.CO - Opini, Sosial - Liburan panjang 14 hingga 16 September lalu menjadi momen yang banyak dinantikan masyarakat. Liburan ini dianggap sebagai kesempatan terakhir di tahun ini untuk merelaksasi diri, mencari hiburan, dan mengisi album kehidupan dengan pengalaman baru. Masyarakat dari berbagai kalangan memanfaatkan waktu ini seoptimal mungkin agar momen tersebut berkesan.


Sebagaimana teori pariwisata, liburan dalam konteks "masyarakat kerja" di Indonesia memiliki makna mendalam. Bagi sebagian orang, liburan adalah kesempatan untuk menambah pengalaman hidup yang akan diabadikan di media sosial. Momen-momen ini kelak menjadi cerita yang dibagikan kepada keluarga dan teman.


Liburan juga menjadi sarana relaksasi bagi pekerja yang lelah dengan rutinitas. Mereka merindukan suasana santai, ceria, dan bahagia setelah menjalani hari-hari yang berat. Namun, momen yang seharusnya menyenangkan ini sering berubah menjadi "horor" akibat berbagai masalah yang muncul, seperti destinasi wisata yang penuh sesak dan overcapacity.


Media dan netizen ramai-ramai memberitakan dan membagikan visualisasi kondisi liburan yang menyesakkan. Misalnya, di destinasi pegunungan yang biasanya indah dan sepi, terjadi kepadatan manusia yang mengalahkan lebatnya pepohonan. Bahkan, ada komentar lucu yang menyamakan suasana tersebut dengan antrean di konser, namun di puncak gunung.


Di kawasan Puncak, misalnya, kepadatan parah menyebabkan kemacetan hingga wisatawan kelelahan dan terpaksa beristirahat di pinggir jalan. Visual ini mengingatkan kita pada suasana mudik saat Lebaran, namun kali ini mereka kelelahan bukan karena mudik, melainkan berwisata.


Peningkatan jumlah wisatawan memang sering dikaitkan dengan membaiknya pendapatan ekonomi. Namun, situasi kemarin tidak sepenuhnya menunjukkan hal tersebut. Banyaknya wisatawan yang menggunakan sepeda motor dan membawa beban berat menandakan bahwa mayoritas pelaku perjalanan berasal dari kelas menengah ke bawah. Ada beberapa alasan di balik fenomena ini.


Pertama, liburan panjang ini dipersepsikan sebagai kesempatan terakhir, karena di akhir tahun mungkin mereka tidak punya waktu dan dana untuk berlibur lagi. Kedua, penggunaan sepeda motor dipilih karena lebih hemat dan praktis dibandingkan kendaraan roda empat. Biaya transportasi yang lebih murah memungkinkan mereka mengalokasikan dana lebih untuk menikmati destinasi wisata, meskipun biaya makanan dan tiket masuk destinasi juga semakin meningkat.


Di kawasan Puncak, setelah adanya penertiban warung-warung kecil, wisatawan roda dua harus mengalokasikan dana lebih untuk makan di restoran atau menginap. Padahal, sebelumnya mereka bisa menikmati Puncak hanya dengan secangkir kopi atau mi instan di warung pinggir jalan.

 

Untuk mengatasi lonjakan wisatawan pada momen-momen tertentu, penggunaan teknologi bisa menjadi solusi. Pemerintah Kabupaten Bogor, misalnya, dapat menerapkan kebijakan pendaftaran online jauh hari sebelum liburan, sehingga jumlah pengunjung ke destinasi wisata bisa diatur dan dipantau.


Aplikasi ini dapat membatasi jumlah wisatawan dan menghitung estimasi waktu perjalanan, sehingga kejadian "horor liburan" bisa diminimalisir. rajamedia

Komentar: