Haji dan Revolusi Solidaritas

RAJAMEDIA.CO - SEKITAR dua juta Muslim dari seluruh dunia akan menunaikan ibadah haji tahun ini. Ritual ini merupakan pelaksanaan rukun Islam kelima, Puncak perjalanan spiritual seorang Muslim dalam mendekatkan (taqarrub) diri kepada Sang Pencipta.
Namun seiring dengan gema talbiyah yang dilantunkan, patut kita renungkan kembali makna terdalam dari ibadah haji, khususnya dalam konteks dunia Muslim yang masih diliputi duka dan penderitaan, seperti yang kini dialami saudara-saudara kita di Gaza, Palestina.
Ibadah haji bukanlah sekadar perjalanan fisik ketanah suci. Ia adalah ritual yang sarat dengan nilai-nilai historis, spiritual, dan sosial. Sejarah mencatat, pelaksanaan haji secara institusional baru dimulai setelah Fathu Makkah- kemenangan Rasulullah dan umat Islam atas kekuatan otoriter kaum Quraisy.
Setahun setelah peristiwa itu, pada tahun keseembilan hijriyah, Rasulullah mengutus Abu Bakar sebagai amirul hajj pertama, memimpin umat Islam melaksanakan ibadah haji dalam suasana aman, tanpa intimidasi dan kekerasan. Haji pada saat itu menjadi tanda lahirnya kemerdekaan, kebebasan, dan tegaknya keadilan bagi masyarakat Muslim yang sebelumnya diusir dan ditindas.
Data tahun 2024 mencatat jumlah Jamaah haji mencapai 1.833.164 orang. Tahun ini diperkirakan jumlah orang yang akan menunaikan ibadah haji adalah dua juta. Fenomena ini menunjukkan betapa kuatnya daya Tarik spiritual ibadah haji. Namun kita perlu bertanya : apakah makna haji terbatas pada pengalaman transcendental individual, ataukah juga merupakan momentum kolektif yang dapat melahirkan revolusi kesadaran sosial umat?
Pertanyaan ini menjadi relevan karena tragedy kemanusiaan di Gaza belum juga usai. Hampir dua tahun, rakyat Palestina terus mangalami penderitaan akibat penjajahan brutal dan genosida oleh Israel. Rumah-rumah warga Gaza dihancurkan, tanah dirampas, fasilitas public dibom, dan ratusan jiwa-kebanyakaan anak anak dan perempuan-menjadi korban.
Krisis kemanusiaan ini tidak hanya menyisakan duka, tetapi juga menyakiti Nurani dan kemanusiaan dunia. Ditengah kekhusukan umat Islam mempersiapkan diri untuk haji, suara solidaritas terhadap penderitaan ini harus disuarakan sekuat gema talbiyah.
Hasan Hanafi, seorang pemikir Islam progresif, dalam bukunya Min al- Aqidah ila al-Tsaurah, mengkritik tajam kecenderungan umat Islam yang menekankan aspek ibadah secara individual, tanpa menjadikannya sebagai pijakan bagi perubahan sosial.
Menurutnya, ibadah dalam Islam seharusnya tidak hanya menjadi jalan vertical menuju Tuhan, tetapi juga mendorong transformasi horinzontal dalam masyarakat. Seorang Muslim sejati, bukan hanya bertanggungjawab atas keselamatan jiwanya, tetapi juga atas nasib umat yang tengah tertindas dan terjajah.
Dalam perspektif ini, ibadah haji perlu dilihat sebagai symbol dan praksis dari solidaritas sosial global. Syekh Yusuf al-Qardawi dalam karyanya al-ibadah fil Islam, menjelaskan bahwa haji adalah ibadah multidimensional. Ia tidak hanya mensucikan jiwa, tetapi juga membangkitkan semangat kesetaraan, persatuan, dan perjuangan melawan kezaliman.
Setiap rangkaian ritual haji mengandung symbol sosial yang kuat. Ketika jamaah mengenakan pakaian ihram, mereka menanggalkan identitas duniawi-status sosial, kekayaan, bahkan kebangsaan-untuk berdiri setara dihadapan Allah. Ini adalah symbol radikal dari kesdaran manusia, menolak segala bentuk diskriminasi dan dominasi.
Saat thawaf mengelilingi Ka’bah, hati para jamaah seolah-olah disatukan dalam poros spiritual yang sama, berputar serempak dalam orbit cinta kepada Tuhan yang Maha Esa. Ketika wukuf, Jutaan Muslim berhimpun dalam keadaran kolektif akan fananya dunia dan perlunya pertobatan universal.
Demikian pula dengan lempar jumrah, yang bukan sekedar ritual melempar batu, melainkan symbol perlawanan terhadap setan, hawa nafsu, dan segala bentuk kezaliman. Dalam konteks kekinian, lempar jumrah dapat ditafsirkan sebagai sikap simbolik umat Islam dalam mengutuk penjajahan, kemiskinan structural, dan kedtidkadilan global.
Sementara itu, penyembelihan hewan kurban hanya pengorbanan pribadi, tetapi juga solidaritas sosial, dimana daging yang dibagikan kepada fakir miskin adalah bntuk nyata dari kepedulian dan pemerataan.
Ali Syariati, seorang sosiolog dan cendikiawan Muslim progresif asal Iran dalam bukunya Hajj menegaskan bahwa haji adalah bentuk pembebasan manusia dari segala bentuk keterasingan baik dari Tuhan, sesama manusia, maupun dari diri sendiri.
Baginya, haji bukan hanya ibadah ritual, tetapi juga proses transformasi sosial yang menantang system dehumanisasi yang dibangun oleh kapitalisme, kolonianisme, dan tirani. Dalam perspektif sosiologi agama, Syariati memaknai haji sebagai arena untuk membongkar sekat-sekat soaial yang menindas manusia, mengebalikan martabat kemanusiaan, dan membangun solidaritas global umat.
Maka, dalam konteks kontemporer, haji menjadi kritik terhadap ketimpangan global dan seruan untuk membangun masyarakat yang adil dan egaliter.
Dalam situasi global yang masih diliputi konflik, ketimpangan, dan ketidakadilan, ibadah haji seharusnya menjadi momen untuk membangkitkan keadaran politik dan kemanusiaan umat Islam. Haji bukanlah pelarian dari dunia, melainkan panggilan untuk kembali kedunia dengan semangat baru: semangat empati, keadilan dan perubahan.
Haji sejatinya bukan hanya sebuah perjalanan spiritual, tetapi juga revolusi solidaritas. Rasulullah Saw bersabda bahwa umat Islam ibarat satu tubuh. Bila satu bagian sakit, maka seluruh tubuh akan ikut merasakan sakit. Maka bagaimana mungkin seorang Muslim merasa tenang menunaikan ibadahnya sementara saudaranya dibelahan bumi lain hidup dalam ketakutan, kelaparan, dan penderitaan?
Momentum haji tahun ini semestinya menjadi panggung global untuk kembali komitmen umat Islam terhadap nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan universal. Kita perlu membumikan makna haji sebagi energi pembebas, bukan sekadar ritual simbolik yang berakhir di bandara ketika para jamaah pulang ketanah air. Haji harus menjadi titik balik, bukan hanya bagi indinvidu, tetapi juga bagi kesadaran kolektif umat Islam dalam menghadapi berbagai persoalan global.
Oleh karena itu, mari kita maknai ibadah haji tahun ini tidak hanya sebagai perbersihan diri dari dosa, tetapi juga sebagai janji baru untuk membela yang lemah, menolong yang tertindas, dan membangun dunia yang lebih adil.
Kesalehan sejati bukan hanya dinilai dari jumlah ibadah, tetapi dari seberapa besar kita peduli dan bertindak untuk sesama.
Haji bukanlah perjalanan spiritual. Ia adalah awal dari tanggungjawabab moral. Ia memanggil kita untuk kembali kedunia, bukan hanya sebagai individu yang saleh, tetapi sebagai umat yang sadar, peduli, dan berani bertindak untuk kemanusiaan.
Penulis: Guru Besar Sosiologi Agama Fisip UIN Syarif Hidayatullah Jakarta*
Pendidikan 5 hari yang lalu

Nasional | 5 hari yang lalu
Politik | 4 hari yang lalu
Politik | 4 hari yang lalu
Nasional | 3 hari yang lalu
Opini | 3 hari yang lalu
Info Haji | 3 hari yang lalu
Politik | 2 hari yang lalu
Info Haji | 2 hari yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu